Garut - Jakarta
BAGIAN 1
"Ssstt..." kang Bardin meminta kami untuk diam tak bersuara. Matanya mencoba mengeker di satu titik. Ia mengarahkan moncong senapannya dari semak-semak pohon jantra. Tidak terlalu menganga tinggi.
Salah seorang dari kami menirukan suara-suara tertentu. Kami anak kelas 5 SD tidak tahu apa yang sedang kami lakukan. Tak lama, salah seorang mengingatkan, memberikan isyarat: jangan ganggu kang Bardin.
Tidak ada gerakan sama sekali. Bahkan yang biasa sengaja batuk-batuk kecil saat solat pun diatur halus dan senyap supaya tidak bersuara. Ini bukan waktu yang tepat.
Kang Bardin semakin serius dan fokus dengan bidikannya. Beriak derasnya sungai di bawah memberikan irama tertentu. Bunyi-bunyi gesekan bambu hanya beberapa menit sekali menghampiri indera kami. Bunyi kelepit pun terdengar dari beberapa pohon di sekitar. Angin di hutan Pasir Sereh tidak terlalu kencang. Daun-daun kering bambu bertaburan di tempat kami mematung. Aku dan empat orang teman SD menunggu apa yang akan terjadi dengan keseriusan kang Bardin.
Kami bahkan harus pelan menggaruk kaki yang gatal digigit nyamuk belang hutan. Kang Bardin tidak bergerak sama sekali. Apalagi sekarang ini ia sedikit pincang, ada mata ikan di betisnya. Entah bisul. Tapi ia setia dengan kebiasaannya untuk turun bermain bersama kami. Bahkan di antara kami masih ada yang masih memakai seragam SD. Ada juga yang memakai celana boxer dan memakai kaos singlet. Kami biasa mengikuti kang Bardin. Anak-anak kecil di kampung Cibunar selalu penasaran dengan pemuda 30 tahunan yang sering membawa senapan angin tersebut. Pemuda ini paling suka membawa garam. Aku dapat pastikan di saku celananya sekarang ada garam. Dia sesekali memasukkan tangannya dan lantas menjilati jari-jari tangannya. Sibu, panggilan sayang untuk Ibuku dan semua orang tua di Cibunar tidak suka dengan kang Bardin. Dia menjadi pembicaraan ibu-ibu dan juga orang tuanya sendiri, karena di usianya yang harusnya sudah mempunyai anak, malah tingkahnya semakin kekanak-kanakan.
Kami tidak memperdulikan itu semua.
Kang Bardin tidak banyak bicara dan selalu terlihat keren di mata kami. Dengan memakai topi fedora jerami dan berselendang tas keresek ia selalu berkeliaran di pesawahan dan seperti siang ini ia berniat pergi ke Cipulus. Kami sangat senang sekali. Sehabis bubaran sekolah kami langsung pergi ke hutan yang tak jauh jaraknya dari pemukiman. Tanpa orang dewasa, kami tidak akan berani untuk bermain ke hutan Pasir Sereh. Masih ada meong congkok, katanya. Tapi Pasir Sereh satu-satunya hutan yang harus dilewati untuk sampai di tempat berenang. Tempatnya memiliki sumber mata air yang sangat indah, airnya jernih. Warga sekitar memberi nama Cipulus. Mata air yang terletak di pinggiran sungai terpanjang di Jawa Barat: Cimanuk. Banyak anak-anak berenang di kolam buatan sekitaran mata air dan lebih ekstrim lagi biasanya ada yang meloncat salto dari ketinggian menceburkan diri ke Cimanuk. Permainan anak kampung.
Air Cipulus beradu jernih dengan cokelatnya warna air Cimanuk.
Kini tangan kanan kang Bardin perlahan mulai menarik pelatuk senapan. Mata kirinya tertutup, mata kanan yang berfokus. Senapan angin yang sudah mengkilap itu katanya didapat dari daerah Rancaekek Bandung. Ia kembali dari pekerjaannya di Bandung dengan membawa senapan angin yang ia ukir pada batang senapan dengan tulisan HADE. Kang Bardin pokoknya tidak ada duanya di kampung kami. Kereen. Matanya semakin serius. Kami semua kompak menutup telinga seolah tak ingin mendengar letusan senapan. Aku bahkan memejamkan mata. Tidak terdengar dan tidak terlihat apa-apa. Beberapa gerakan teman-teman yang membuatku tersadar kalau bidikannya sudah ditembak. Aku membuka mataku perlahan, semuanya semakin tidak jelas. Kang Bardin berjalan lambat dan pincang di hadapanku memompa kembali senapannya.
Yang lain, berlarian ke bawah menuju sesuatu yang ditembak oleh kang Bardin.
***
Jakarta, 28 Agustus 2004.
Aku tersenyum mengingat pengalaman indah 7 tahun silam itu.
Namaku Ibro. Hari ini akan menjadi sejarah bagiku. Setidaknya untuk kedua orang tuaku. Khususnya Sibapa yang rela bolos dari sekolahnya demi mengantar anaknya daftar ulang di perguruan tinggi daerah Ciputat. Aku akan menjadi mahasiswa baru di sana. Mulai dari sekarang, akan kutuliskan semua cerita hijrah ke Jakarta dalam catatan harian ini. Termasuk sekarang ini, dalam bus Primajasa, perjalanan Garut Jakarta yang katanya mengalami perubahan jarak tempuh.
Garut - Jakarta sekarang bisa ditempuh tujuh jam dan bahkan rencana ke depannya bisa ditempuh lebih singkat lagi, 5 jam!. Begitulah kata si Amang, pamanku yang selalu memiliki pandangan visioner dan kadang berpandangan misioner. Omongannya mungkin saja benar kalau melihat beberapa spanduk yang dipasang antar pohon sepanjang jalan Cikalong Wetan - Purwakarta. Terlihat juga pembangunan tol Purbaleunyi yang sekitar 1 tahun ke depan rencananya akan diresmikan. Tol yang menghubungkan Cikampek, Purwakarta, Bandung sampai Cileunyi ini menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hebat. Hanya perlu waktu 2 tahun bagi Indonesia untuk menyelesaikan tol yang nantinya dinobatkan sebagai tol terpanjang di Indonesia ini: 250km. Begitu ucap sopir bus Primajasa yang mungkin tidak sok tahu. Sekalipun mereka tidak resmi mendapatkan info itu dari berita atau perusahaan tempat mereka bekerja, tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa tol ini dibangun dalam rangka mengejar deadline peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika yang akan diselenggarakan di kota Bandung tahun depan.
Keindahan panorama sepanjang tol ini akan menjadi daya tarik tersendiri dan dinikmati langsung oleh pak Presiden juga rombongan kepala negara lainnya. Aku sama sekali tidak menghiraukan masalah tersebut. Aku dan mungkin kami para penumpang bus tujuan Jakarta ini hanya ingin merasakan nyaman dan aman di perjalanan saja. Masalah jarak tempuh yang lebih cepat, tentu kami juga mengharapkannya. Tapi bukankah jarak yang cepat biasanya harus dibayar dengan harga yang sebanding? Hari ini sekitar 7 jam perjalanan dengan biaya yang kami sepakati, dan tahun besok dengan jarak tempuh 5 atau 4 jam juga dengan ongkos yang akan disepakati kembali lengkap dengan biaya ini dan itu.
Sama saja.
Di sepanjang perjalanan yang berkelak-kelok sekitaran Cikalong Wetan, terhampar hijau perkebunan teh. Tidak terlalu luas, hanya nampak sebagian. Mungkin juga perkebunan kecil. Ada juga terlihat truk pengangkut pasir yang berjejer di tepi jalan sedang dibersihkan atau sekedar mengaso mendinginkan radiator, beberapa terlihat sangat kotor dengan tanah kuning menempel di ban-ban raksasa. Nun di kejauhan sana, nampak dari kaca jendela bus ada bukit putih, gundul, tempat penggalian pasir ataupun bebatuan di sana. Sumur nafkah bagi sebagian orang, ladang serakah bagi sebagian lainnya.
Laju kecepatan bus diturunkan. Jalan yang berkelak-kelok dan papan rambu hati-hati yang sering terlihat langsung menyadarkan para sopir untuk menurunkan kecepatan kendaraannya dan menjadi sebab aku menundukkan penglihatan. Dipejam lagi. Buka lagi. Kepalaku pusing. Satu demi satu pepohonan mendekat dan menjauh. Perutku mulai mual. Ah... Tolong, jangan keluar. Jangan muntah sekarang. Sibapa di belakang terlihat sedang tidur. Sedari Garut, bus memang sudah penuh. Tempat duduk kami terpisah. Aku duduk di jok tiga, posisi dihimpit dua orang. Sedang Sibapa duduk di jok 2 penumpang hampir belakang dekat ruang rokok. Awalnya dari Garut aku hanya duduk berdua dengan bapak gendut botak yang bau badannya tercium sangat enek di hidungku yang pesek, bau sekali badannya. Walaupun bau, tapi di daerah Rancaekek ia sempat menawarkan tahu Sumedang. Aku dengan halus menolaknya. Tahu itu disimpan di tengah-tengah tempat duduk antara kami. Aku menjauh darinya. Tidak tahan dengan aroma badannya. Tapi di daerah Cileunyi, bungkusan tahu itu harus disingkirkan. Bus menaikkan beberapa penumpang yang berasal dari Bandung sampai akhirnya seseorang ikut bergabung duduk di jok yang masih tersisa. Nasib sial menimpaku, ia menyuruhku -mungkin karena aku masih terlihat sangat muda dan kecil- untuk bergeser tempat duduk mendekat bapak gendut itu.
Aku kembali coba memejamkan mata. Perut ini serasa sudah ingin mengeluarkan segalanya. Bubur ayam terminal Garut tadi pagi tentu tidak akan di daur ulang di sini. Semua barang termasuk kantong keresek dipegang Sibapa. Sebetulnya Sibu sudah mempersiapkan kantong keresek kosong untuk ...Ahhh!! Kini dudukku sedikit bergeser. Kepala kusandarkan pada jok depan. Kadang kuangkat, kurundukkan Lagi. Mirip sedang solat ruku dan sujud. Aku yakin kedua penumpang di sampingku melihat kaifiat aneh ini. Keringat garib mulai keluar dari antah berantah. Di saat-saat seperti ini, sendawa tak kunjung hadir. Aku mempunyai sejarah buruk tentang mabuk darat ini. Mabuk yang dihalalkan.
"Dari Garut?" seseorang di sebelahku tiba-tiba bertanya. Seseorang yang naik di Cileunyi tadi. Pertanyaan tidak penting yang kerap dilakukan oleh orang sini, khususnya di saat-saat seperti ini. Kalau aku menjawab iya, pasti akan bertanya daerah mana, kenal dengan ini kenal dengan itu, atau saya juga punya saudara daerah sana. Terakhir ke Garut tahun sekian dan dulu tempatnya masih bla-bla-bla, membuat perut semakin tidak keruan. Kalau aku menjawab bukan, jelas sekali bus ini berangkat dari Garut. Berat rasanya untuk aku menjawab. Kepalaku masih merunduk. Tapi sebisa mungkin aku melihat ke arahnya dan menjawabnya walau hanya dengan anggukan.
"Mau ke Jakarta, ya?" ia melanjutkan pertanyaannya. Ternyata tebakanku salah. Sama sekali tidak bertanya tentang Garut. Tapi tebakanku setidaknya tentang orang Sunda semakin mendekati benar. Saat-saat seperti ini, pikiranku menjadi sensitif. Bus ini dari Garut arah Jakarta, 90% dari penumpang ini dapat dipastikan berakhir di Jakarta. Pertanyaan macam apa itu. Aku semakin malas untuk menjawab. Malu rasanya kalau aku harus berbagi 'bubur sumsum' dengan penumpang asing di sampingku ini. Pasti ia akan terus bertanya kalau aku tidak pindah. Tapi pindah ke mana? Setidaknya aku harus berdiri untuk membuat perut kembali nyaman. Aku tidak menemukan bahasa terbaik untuk mengungkapkan "Maaf jangan dulu bertanya, saya sedang mual ingin muntah". Orang Indonesia itu ramah. Mungkin orang di sampingku ini ingin membuat suasana menjadi tidak asing. Usianya masih muda, mungkin juga mahasiswa. Tapi kok bisa-bisanya usia muda sudah bisa ramah? Usiaku akan menginjak 18 tahun. Aku merasa berat untuk bersikap ramah, bahkan untuk sekadar bertanya dari mana, mau ke mana, kerja di mana, apalagi gaji berapa, cara masuk ke sana bagaimana, aku tidak pandai untuk bertanya lebih dalam tentang sesuatu yang menurutku .....
"Ke Lebak Bulus, ya?".
"Iya, dari Garut, kampung Cibunar. Berangkat dari rumah tadi jam 4 shubuh, sampai terminal jam 5. Sampai Cileunyi jam setengah 7. Arah tujuan Lebak Bulus. Saya mahasiswa baru Teknik Informatika yang akan registrasi ulang di kampus UIN Jakarta..." aku jawab lebih lengkap dari pertanyaannya. Besar harapan supaya ia tidak bertanya lebih lanjut. Benar saja, ternyata usiaku baru 18 tahun. Saat-saat seperti ini aku masih bertingkah tidak jelas.
"Waah kebetulan, kenalin, Faki, mahasiswa..."
Aku tidak tahan. Kini asam, manis, asin, sudah mulai terasa di tenggorokan.
Aku berdiri. Minta maaf pada Faki untuk memberiku jalan.
Pemuda bertahi lalat di hidung itu pasti melihatku aneh.
Aku melihat semuanya seperti mata air jernih Cipulus bertemu dengan derasnya sungai Cimanuk yang kotor...
* * *
Bandung, 2014
"Iyuuh. Jorok!!!...Buku harian apaan awalnya udah jorok gini?!! pasti ke sananya ga jelas, deh." Alimi menutup laptopnya. Alimi tidak tahan membacanya. Anehnya, sampai sini, sedikit pun ia tidak merasa bersalah dengan apa yang sedang dilakukannya. Dalam pikirannya ia hanya senang bisa membobol data laptop milik dosennya secara jauh. Dosen paling digital di jurusan Sains dan Teknologi. Ini akan menjadi prestasi terbesarnya tahu lebih dalam tentang sosok dosen sombong si paling serba tahu.