Ini... Untukku, Untukmu
Jangan ‘Tidak Siap’ karena
Ini dan Itu.. 1
Jangan ‘Tidak
Siap’ karena Ini dan Itu
Subhanallah, keren sekali orang ini. Tertera di layar kaca namanya Ippho Santosa. Jujur saya baru pertama kali mendengar nama
ini. Barulah di akhir acara saya tahu kalau dia adalah seorang motivator
islami. Acaranya pun baru pertama kali saya tonton. Dan kebetulan di pagi ini,
di saat semua stasiun TV menayangkan kuliah shubuh,
dia berbicara tentang pernikahan. Saya kutip beberapa poin yang bagi saya
pribadi, itu cukup menarik karena mungkin dikemas dalam bahasa motivasi.
Mencari pasangan untuk dinikahi adalah hal yang
terpenting dalam proses penyempurnaan agama (khususnya Islam), karena tak
dipungkiri, menikah adalah proses menyempurnakan sebagian agama.
Dalam menuju pernikahan, hal yang paling
mengenaskan adalah ucapan 'terima aku apa adanya'. Carilah pasangan yang mau
berubah, bukan yang 'terima aku apa adanya', karena ucapan ini menandakan
pasangan tersebut tidak mau berubah.
Carilah pasanganmu berdasarkan bibit, bebet dan bobotnya (akhlaknya). Atau dalam Islam kita
dianjurkan untuk mencari pasangan dari parasnya, hartanya, keturunannya tapi
lebih dari itu semua, carilah pasangan karena agamanya.
Carilah pasangan yang bisa menentukan waktu
tepat untuk melamar, jangan berlama-lama pacaran/ta'aruf.
Orang yang menunda pernikahan dan berlama-lama
dalam pacaran/ta'aruf dengan
alasan belum mempunyai modal, sama dengan mereka yang ketika sholat ingin memakai sajadah mahal, mukena bagus, mesjid
indah. Menunda ibadah dengan hal-hal sepele; ingin pesta yang besar, undangan
yang mahal, tempat yang mewah tidak diajarkan dalam Islam.
Tentang pernikahan, Islam hanya menganjurkan
untuk sekedar memberitahu para kerabat. Memberitahu saja. Karena dengan memberitahu,
itu bisa menghindari fitnah ketika kalian terlihat sering berduaan.
Garut, 2 Mei 2012
Ini Statusmu
Walaupun belum pernah merasakan bagaimana
rasanya mengikat/diikat oleh tali khitbah, tapi saya
seolah ikut merasakannya ketika saya mendengarkan curhatan
teman-teman dekat atau kerabat.
Kalau boleh saya meminjam kata-kata Profesor
saya, status dikhitbah sama halnya dengan status di
penjara. Tidak bebas. Katanya, tidak begitu sulit untuk membedakan seseorang
yang sudah 'di penjara' atau belum. Yang sangat lazim digunakan oleh masyarakat
Indonesia dan bahkan masyarakat dunia adalah menyematkan cincin di jari manis.
Sedikit bercerita tentang asal muasal kenapa para kaum hawa lazimnya diikat oleh cincin,
sebenarnya, istilah pertunangan atau lamaran atau mungkin dalam Islam dikenal
dengan istilah khitbah sudah terlacak dalam sejarah.
Menyarungkan cincin di jari bermula dari kebiasaan manusia pra-sejarah
yang selalu membuat anyaman dari rumput berbentuk ikatan dan mengalungkannya
pada lengan, kaki dan leher pasangannya.
Berkembangnya pola pikir dan zaman menjadikan
rumput tergantikan oleh bahan-bahan logam. Bermula dari bentuk rantai sampai
akhirnya diperhalus lagi menjadi cincin. Masyarakat mesir
kuno tercatat sebagai masyarakat pertama yang menyematkan cincin yang terbuat
dari emas ataupun perak sebagai tanda sebuah ikatan. Tapi tentu ini bukanlah
cara satu-satunya dan juga tidak menjadi suatu
keharusan dalam mengikat seorang pasangan.
Terlepas dari cerita di atas, bukan itu yang
ingin saya ceritakan dalam catatan ini. Di awal sudah saya kemukakan arah
tulisan ini adalah untuk mendengarkan kesan-kesan apa saja yang muncul setelah
proses khitbah, setelah status teman-teman sudah
"tidak bebas" lagi.
Walaupun sebetulnya lamaran tidak mesti harus
berakhir di pernikahan, karena itu masih tahapan seleksi, bukan berarti status
lamaran menjadi status main-main. Bagi sebagian orang, khitbah
menjadi status pemacu untuk terus memupuk kepercayaan diri demi persiapan
menuju jenjang pernikahan. Kedua belah pihak keluarga ikut dilibatkan dalam
acara lamaran tersebut karena biasanya ada penentuan kapan waktu nikah akan
digelar. Singkatnya kalau niatan seperti itu bisa
dikatakan baik.
Yang saya tangkap ketika teman-teman bercerita
adalah banyaknya godaan yang begitu dahsyat ketika sudah dilamar. Mulai dari
kepercayaan diri yang menurun drastis menghadapi pernikahan: "Apakah
pasangan ini benar-benar cocok untuk saya?". "Benarkah dia orang yang
baik?" dan ratusan pertanyaan memutar bergelayut dalam pikiran yang
mungkin akan bisa hilang ketika sudah yakin hidup bersama pasangannya.
Belum selesai masalah kriteria pasangan idaman,
muncul lagi masalah 'mantan'/cinta lama. Godaan kembali muncul ketika sang
mantan ingin kembali. Tambah lagi, ketika teman-teman yang sudah menikah
mengatakan: "Kalau boleh saya nyaranin, mending nyari kerja dulu deh...nikah mah gampang. Apalagi kamu masih muda, lho".
Sebegitu banyakkah godaan ketika status kita
mau atau sudah dikhitbah/nikah? Bolehkah khitbah dibatalkan dengan alasan-alasan sepele seperti di
atas? Saya pikir alasan yang akan merusak keluarga dan agamalah yang pantas
untuk membatalkan status khitbah, misalnya ketika
dalam persiapan nikah, pasangan kita menjadi pezina/kriminal
atau baru ketauan dia keturunan dari ahli syirik,
dsb.
Sederhananya, anggaplah serius acara khitbah dan atau kedepannya
nikah, seserius keluarga lelaki datang ke rumah keluarga perempuan untuk
melamar. Inilah yang ingin saya tekankan dalam catatan ini, berbicara tentang
keluarga, kelompok kecil inilah yang terpenting dalam kehidupan. Umumnya,
masyarakat menilai sebuah keluarga dari tingkah laku anggota keluarganya di
lingkungan luar. Dari itu, posisikan nama keluarga di atas segalanya, karena
sejauh apapun kita bertindak, tentunya akan kembali membawa nama keluarga.
Jagalah nama keluarga kita. Utamakan status khitbah/nikah
seutama status kalian dalam sebuah keluarga. Minimalnya itu.
Wallahua'lam
Garut, 14 Februari 2011
Itu Takdirmu
Sambil tiduran di mesjid dekat rumah menunggu sholat Isya, saya dan seorang teman dekat, Nana, berbicara
tentang yang tak biasa. Biasanya kami berbicara tentang lingkungan pekerjaan,
perkuliahan atau mungkin situasi perantauan karena dia sudah lumayan lama
merantau ke luar pulau, tapi kali ini lain. Sudah hampir 20 tahun lebih kami
berteman. Berbicara ke sana kemari, semuanya terasa nyaman, nyambung.
"Ga, apakah
jodoh kita nanti adalah benar-benar takdir kita? Apakah kita bisa menghindari
takdir kita sendiri?" ucapnya membuka pembicaraan.
Saya terdiam sejenak, "hmm...setauku
ketika kita lari dari takdir kita, kita masuk ke dalam goresan takdir yang
lain, dan jelas itu masih takdir kita. Tapi ga tau juga, Na..." ucapku datar.
Matanya melihat ke atap mesjid. Tak lama dia
menjawab sendiri pertanyaanya, "Takdir itu ada
dua, Ga." Dia mengisahkan dua cerita, pertama
tentang seseorang yang ingin berpergian, ia mendapati
sopirnya dalam keadaan mabuk, sedang ia tidak ingin keluar dari bus tersebut
dengan alasan: Ah tawakal saja kepada Tuhan, kalaupun celaka, mungkin itu sudah
takdir saya...dan benar, ia pun meninggal dalam
perjalanan tersebut akibat terjadi kecelakaan.
Cerita lainnya, masih seseorang yang hendak berpergian dengan naik bus dan kebetulan ia juga mendapati
sopir yang mabuk, tetapi ia berpikir ia lebih baik keluar untuk menghindari
kecelakaan. Ia pun berhenti dan berniat mengganti busnya dengan yang lain.
Namun malang, ketika ia turun dari bus tersebut, ia tertabrak oleh kendaraan
yang sedang melaju kencang, dan akhirnya ia pun meninggal.
Dari dua kisah di atas, kedua orang itu
sama-sama meninggal tentu dengan takdir mereka masing-masing.
"Kisah yang pertama biasa disebut dengan
Takdir Muallaq, takdir yang ada campur tangan dari
manusia itu sendiri dan kemungkinan bisa dirubah
dengan doa ataupun usaha". Tutur Nana. "Ia tahu sopir mabuk, tapi ia
tetap memaksakan untuk tetap tinggal dalam bus tersebut. Dengan usaha untuk
keluar dari kondisi seperti itu, bisa saja Allah memberikan takdir yang lebih
baik".
"Kalau kisah yang kedua?" Tanya saya
penasaran. "Sedang kisah yang kedua, adalah Takdir Mubram,
takdir yang sudah pasti, tidak ada turut campur manusia, seperti kita terlahir
ke dunia tidak bisa memilih ingin jadi laki-laki atau perempuan, atau ingin
lahir dari orang kaya, atau ingin mati disini dan pas
waktu ini, kita tidak bisa memilih. Sekalipun orang tadi sudah berusaha untuk
keluar dari bus tersebut tapi apa daya...ia meninggal
dalam takdir Mubram yang sudah menunggunya."
Papar Nana panjang lebar.
"Termasuk jodoh kita berarti, Na... Jodoh
adalah takdir kita. Sudah usaha kemana-mana, beberapa
orang gugur dan tumbuh dalam tahapan seleksi, sudah memilih siapapun,
dan akhirnya berujung pada satu orang. Itulah takdir Muallaq...atau
boleh jadi takdir Mubram." Saya sedikit
menyimpulkan.
"Lantas, apakah kedua takdir tersebut
sudah tercatat di Lauhul Mahfudz?
Takdir yang bisa diubah dengan usaha dan doa pun sudah tercatat?" Ia mulai
bingung.
"Semua takdir kita sudah tercatat di Lauhul Mahfudz, Na. Namun, ketika
seseorang ditakdirkan sakit, tentu saja usaha berobat harus tetap dilakukan.
Bukankah dituntut untuk mencari takdir yang baik? Adapun nanti hasilnya, takdir
sembuh ataupun takdir lainnya harus kita sikapi dengan dua cara: syukur kalau
sembuh dan sabar kalau tidak".
"Bukankah kewajiban kita hanya satu?
mengimani semua takdir dengan berpegang pada al-Qur'an
dan al-Hadits?". Lanjut saya sedikit
mengingatkan.
Mendengar suara di luaran
sana, kita berdua bergegas mengakhiri pembicaraan. Nana pun menyalakan saklar di mihrab mesjid, mengumandangkan adzan isya.
Wallahua'lam...
Garut, 3 September 2011
Ini Itu
Tetap Bersama
Bulan depan, banyak dari teman dekat saya yang
akan melangsungkan pernikahan. Seperti dugaan saya sebelumnya, kebanyakan dari
calon pengantin akan bertanya - awalnya pada diri mereka sendiri - tentang
apakah ini benar-benar jodoh saya atau bukan? Dan ternyata benar. Cerita yang
keluar dari mulut teman-teman saya pun tak jauh dari hal-hal demikian.
Bagi saya, wajar kalau mereka bertanya seperti
itu. Dan sudah sepantasnya mereka menyerahkan segala urusan hanya pada Allah
yang maha meliput dalam tiap gerak dan bisik makhluk. Pertemuan beda suku, beda
keyakinan, beda usia, beda kedudukan, semuanya sudah ada yang mengaturnya.
Bukankah tidak ada satu pun hal yang terjadi di dunia ini secara sia-sia?
semuanya akan berujung pada kemaslahatan makhluk. Baik dengan proses yang
biasa, ataupun kejadian di luar kebiasaan alias tidak sama dengan yang kita
bayangkan. Pandai-pandai makhluk saja memetik hikmah dari tiap-tiap kejadian.
Saya di sini tidak akan bercerita tentang
memilih calon pasangan menurut Islam, karena mungkin itu sudah sering kalian
dengar. Kita keluar sejenak dari topik yang ghaib.
Jodoh adalah urusan ghaib. Kita melihat sejenak
kepada hal-hal yang inderawi. Seperti kemarin
misalnya, saya menyimak berita dari seorang pemuda yang nekad
bunuh diri karena shock mengetahui pacarnya tengah
berbadan dua. Atau pemberitaan dari para tetangga tentang si Fulan yang akal sehatnya habis karena ditipu dan didzolimi oleh pasangan 'kebanggaan'nya
di luar pulau sana. Atau berita tentang hilangnya seorang anak gadis beserta kegadisannya
akibat pergaulan dunia maya dan masih banyak lagi berita-cerita
yang membuat kita menggelengkan kepala: tak habis pikir.
Pada akhirnya berita dan cerita semacam itu
bermuara pada pertanyaan: Apakah benar Allah menuliskan si Fulan
ini untukku, apakah Dia tidak salah 'menulis'? Terkait dengan urusan menulis,
seperti halnya sebuah bacaan yang tak lepas dari puluhan ide dan ribuan kata
yang digabungkan hanya untuk membuat bacaan semakin mudah dipahami ternyata
masih kurang kalau bacaan tersebut tidak memiliki paragraf (alinea) dalam
tiap-tiap catatan.
Banyak kesamaan ide antara kamu dengan pasangan
kamu, banyak kecocokan gagasan antara kalian, singkatnya kesamaan topik hidup
kalian tidak ada yang berbeda satu dengan yang lainnya. Tapi ternyata kesamaan
ide, gagasan ataupun tema hidup kalian harus terpotong-potong dengan adanya
alinea. Menurut saya, seperti halnya dalam tulisan, alinea ini mau tidak mau
harus ada dalam setiap perkembangan kehidupan. Ada peralihan atau mungkin
loncatan gagasan.
Kalian akan berbeda dalam visi misi hidup, itu
pasti. Namun, itulah alinea baru kalian. Beratus-ratus
persamaan ide yang ada diantara kamu dan pasanganmu,
berjuta-juta persamaan gagasan antara kamu dan pasanganmu, ternyata mau tidak
mau akan ada perubahan visi dan misi. Mungkin akan menimbulkan selisih paham
satu episode dengan episode lainnya. Tak usah bersedih apalagi menyesal.
Semuanya untuk sebuah perkembangan ke arah yang lebih baik. Menurut saya.
Bukankah tak ada alinea tak indah? Tak ada
alinea sulit terlihat topiknya? Tak ada alinea sulit dipahami maksudnya? Lebih
jauh, dengan adanya alinea akan mudah untuk mengambil pesan moral (hikmah).
Kalian yang sudah berjodoh (dengan ikatan pernikahan) adalah berjuta kesamaan
dalam kata, beribu kesamaan rasa dalam qalbu. Demi
perkembangan kemaslahatan hidup kalian, ikhlaskan alinea baru yang Allah
titipkan dalam episode kehidupan kalian. Jadikan alinea baru sebagai alat bantu
memahami perbedaan visi misi hidup kalian sehingga tidak akan terdengar
kalimat: kami sudah tidak sepaham lagi.
Wallahua'lam
Garut, 25 Agustus 2012
Siapkan Ini!
Bermula saat mendengar rekaman Ust. Aam Amiruddin
dan istrinya, Teh Sasa yang mencoba menjelaskan
tentang situasi qobla dan ba'da
nikah. Dalam ceramah - sesi tanya jawab - tersebut, Teh Sasa
begitu asik menjawab tentang problematika rumah
tangga yang sangat umum, yakni bagaimana kalau kita tidak menemukan sesuatu
yang kita dambakan pada pasangan yang kita nikahi?
Hmm, walaupun saya belum berkeluarga, materi Teh Sasa
tersebut sangat menarik untuk disimak. Terlebih dengan catatan singkat ini
mudah-mudahan dapat mengingatkan kembali bagi rekan-rekan yang sudah ataupun
belum mengarungi bahtera rumah tangga. Dengan menyuguhkan beberapa ayat al-Qur'an, materi tersebut tidak terkesan menggurui. Karena
jelas bagi yang mengimani kitabullah, al-Qur'an lebih dari guru yang tahu segala hal, ini
petunjuk hidup dari yang Maha Mengetahui: Allah Azza
Wa Jalla.
Situasi qobla dan ba'da nikah tentu berbeda. Kalau qobla
nikah, perilaku dari pasangan kita hampir semuanya bahkan 100% akan tergolong
baik. Sedang ba'da nikah Teh Sasa
menjelaskan bagaikan permen Nano-Nano, manis asam
asin rame rasanya, tetapi nikmat. Kalau ada yang
tidak kuat, nikmati saja dengan bersabar. Teh Sasa
menjadikan surat an-Nisaa ayat 19 sebagai rumusan
dalam berumah tangga: "...Ketika kalian tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak."
Ayat ini juga memberikan kepastian bahwa ketika
kalian ingin mencari pasangan yang sempurna, demi Allah, kalian tidak akan
menemukannya. Karena pasangan yang sempurna Allah siapkan kelak di syurga, itu juga kalau kalian masuk syurga.
Jangan mencari pasangan yang sempurna. Carilah pasangan yang ingin berbuat
baik, terus berbuat baik, tetap dalam kebaikannya untuk menjadi sempurna.
Dalam mempersiapkan mahligai rumah tangga,
tidak ada larangan yang dahsyat kecuali larangan untuk menikahi para pezina. Bagaimana kalau tidak tahu pasangan kita seorang pezina?? Berarti itu ujian. Itu Musibah. Tetapi tidak ada
perintah yang terdahsyat pula dalam menghadapi ujian hidup kecuali untuk terus
bersabar. Bersabarlah dalam menghadapi ujian. Allah maha tahu, kita tidak tahu,
dan kita jangan sok tahu.
Sangat wajar bagi mereka yang belum menikah
mempunyai cita-cita yang sangat indah dalam memandang pernikahan, tetapi
padahal sebenarnya pernikahan itu sendiri adalah fitnah (ujian). Pasangan
kalian ujian, anak-anak kalian ujian, harta juga adalah ujian. Jadi mental yang
harus ditonjolkan adalah prepare (kesiapan), face the best
and the worst
things. Hadapi apapun yang terbaik dan terburuk
sekalipun.
Wallahua'lam
Yogyakarta, 11 Januari 2013
Bukan Itu
Saja, Ini Juga!
Obrolan saya dengan Ibu di atas motor pagi itu
sungguh masuk di akal. Awalnya saya tidak percaya, bahkan sempat beberapa kali
pikiran ini diputar untuk membuktikan apa yang dikatakannya tidak tergolong ke
dalam mitos. Karena sungguh, bagi saya hidup ini tidak dibangun di atas pondasi mitos semata.
Pagi itu, saya dan Ibu berencana pergi ke acara
nikahan salah satu saudara kami di daerah utara kota
Garut. Perjalananya cukup memakan waktu karena selain
jauh, kami juga lama mencari alamat pastinya, maklum Ibu dan saya adalah
rombongan yang tertinggal seserahan.
Cuaca hari itu cukup cerah, dan udara pun masih
terhirup sejuk. Percakapan ringan pun mengalir:
"Bu, bulan ini ada dua teman Engga (saya biasa menyebut Engga
ketika dengan orang tua) yang nikah..." Saya membuka pembicaraan itu bukan
karena saya ingin segera mencetak buku nikah, bukan. Pembicaraan itu
dimaksudkan untuk meminta izin agar di saat nanti saya di Yogyakarta (tempat
kuliah), beliau berkenan memberikan izin untuk pulang kembali ke Garut. Akan sangat
sulit memang untuk mendapatkan izin itu, karena sudah hampir dua minggu saya berada di Garut. Mungkin beliau akan bertanya,
"Mau ngapain lagi ke Garuut?!"
Tapi ibu menjawab lain, mungkin dia mencoba
mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh anaknya yang sudah berumur 25 tahun.
"Ga, ada satu hal yang penting ketika dua insan
bersatu di atas janji pernikahan, yakni Allah sangat maha Mengetahui dan maha
Penyayang ternyata..." tuturnya keluar dari maksud saya.
"Lha, kok
Bu..." saya mencoba menyela. Belum sempat keluar interupsi itu, beliau
kembali berucap.
"Dua orang yang menikah itu tidak hanya
sudah mendapat izin dari orang tuanya. Tetapi mereka juga sudah mendapat izin
dari yang maha Pengasih dan Penyayang, Allah SWT." Ucapnya sedikit
menjelaskan. "Kalau diperhatikan ya, Ga,
walaupun restu sudah dikantongi dari orang tua kedua belah pihak, tak sedikit
yang gagal ke pernikahan dengan alasan satu dan lain hal. Tahu kenapa? Ya
karena Allah belum mengizinkan. Pasti ada hal yang lebih buruk yang akan
terjadi pada rumah tangga mereka kalau pernikahan itu tetap
berlangsung..." Beliau bertutur cukup panjang.
Saya diam saja mengikuti alur pembicaraanya ke arah manapun, karena sebagai informasi
saja, sangat sulit sekali untuk berdiskusi tentang pernikahan dengan beliau.
Mungkin inilah momen yang paling tepat untuk terus mengorek konsep pernikahan
menurut perempuan yang sudah melahirkan saya.
"Di manapun kita berada, Ga, kedewasaan adalah hal yang paling penting. Di manapun
itu. Dan dalam hal apapun. Pasti harus ada yang namanya dewasa. Dewasa dalam
berpikir, dewasa dalam bertindak, dewasa dalam mengambil keputusan, dewasa
dalam menghadapi permasalahan, terlebih dewasa dalam memahami satu sama lain.
Begitu juga dalam pernikahan, harus sangat dewasa". Saya hanya menjawab Ooh sambil sibuk melihat kiri kanan mencari alamat pasti
seolah tidak mendengarkannya.
"Jadi kalau menurut Ibu Ga, kalau ada seseorang yang sudah cukup mapan dalam hal
ekonomi, sudah cukup matang dalam hal usia, pokonya
sudah semuanya deh Ga yang mendukung untuk menikah,
terus tau-tau belum menikah juga. Pasti ada satu hal
dari dirinya yang belum dewasa. Pasti itu Ga, menurut
Ibu sih yah, ya itu mah
menurut pengalaman dari yang ibu dapat, pengalaman dari teman-teman
Ibu..." ucapnya mencoba meyakinkan.
Awalnya menurut saya beliau menjelaskan itu
terlalu subjektif. "Ah Ibu, yaa ngga gitu juga kali Bu, siapa
tahu karena dia atau mereka mementingkan urusan lain, karir
mungkin atau apa sajalah..."
"Ya itu dia. Berarti dia belum dewasa. Dia
merasa tidak cukup dewasa untuk berbagi dengan pasangannya; membina kehidupan
di bawah payung pernikahan. Dia belum dewasa". Jawabnya sangat yakin.
"Dan itulah juga mengapa Allah belum mendekatkan jodoh untuknya, karena
Allah lebih sayang kepadanya dan tentu juga calon pasanganya.
Masa gara-gara dia yang katakanlah egois (tidak dewasa) dan bersikeras untuk
menikah, pasangan lainnya atau mungkin pihak lain harus menderita. Bukan
begitu, Ga?" sejenak beliau bertanya. "Kan
salah satu hikmah nikah itu untuk menentramkan hati
satu dan yang lainnya...ya memang tidak dipungkiri
juga ada beberapa orang yang mendapatkan pasangan di luar harapan, cobaan itu mah, semuanya sudah ada yang mengatur dan mengukur"
lanjutnya. Kini saya sadar, beliau ternyata tidak subjektif. Ada faktor X yang
turut dan harus mengatur faktor Y (makhluk bumi).
"Naah, kalau
sudah semuanya lancar, halangan halangannya pun begitu mudah untuk dilewati,
sampai janji suci terucap di pelaminan, berarti Allah sudah memberikan lampu
hijau, Allah sudah mengizinkan. Insya Allah kasih
sayang Allah akan tetap terus mengalir, kan katanya
kalau niatan baik pasti aksesnya dimudahkan, gitu bukan, Gaa? Diem aja nih" beliau
meyakinkan sambil mencolek saya. Saya pun mengangguk.
Ibu memang seperti itu, butuh pemikiran yang
mendalam untuk mencerna perkataannya. Menurut saya, mungkin yang ingin
disampaikan beliau dari obrolan itu adalah Allah masih sayang menjaga saya dan
calon pasangannya, saya belum cukup dewasa, belum seperti teman-teman yang
sudah menikah, yang sudah 'dianggap' dewasa oleh Dzat
yang maha rahmaan rahiim.
Akhirnya kami pun sampai di tempat tujuan.
Belum begitu ramai acara pernikahanya. Maklum tadinya
kami ingin ikut bergabung dengan rombongan seserahan, jadi kami berangkat cukup
pagi. Ijab qabul nikah akan dilaksanakan. Obrolan di
motor pun masih segar dalam ingatan. Ternyata benar, saya melihat sang mempelai
pria begitu yakin mengucapkan qabul, mengucapkan
penerimaan bahwasannya ia akan bertanggung jawab atas
istrinya, tentunya itu tindakan yang cukup dewasa.
Saya bisa melihat itu, mereka tentu bahagia
karena mereka sudah merasakan sebagian rahmat yang sudah diberikan Allah di
dunia. Dan mereka pun yakin dengan pernikahan ini, kelak mereka akan meraih
rahmat Allah di akhirat: syurga.
Pagi yang sangat indah.
____________
Mungkin, kasus perselingkuhan, kekerasan dalam
rumah tangga, atau mungkin kasus perceraian, adalah karena masing-masing mereka
sudah mengkhianati rahmat Allah, atau mungkin ingin mencari rahmat Allah dengan
cara yang berbeda dari sebelumnya.
Wallahua'lam
Garut, 26 Februari 2012
Ini Akhirnya
Pernah sekali saya mendengar ucapan:
Ada orang yang tahu kalau dirinya tahu
Ada orang yang tahu kalau dirinya tidak tahu
Ada orang yang tidak tahu kalau dirinya tahu
Ada orang yang tidak tahu kalau dirinya tidak
tahu
Nampaknya tipe orang yang tahu kalau dirinya
tahu lebih baik dari tipe-tipe setelahnya. Kalau kau
membenci seseorang, kau harus tahu mengapa kau membencinya dan begitu juga
ketika kau mencinta, kau harus tahu mengapa kau mencintainya. Karena itulah
satu-satunya cara untuk bisa memaafkan.
Ketika rasa cinta dan benci mulai berbaur,
ketika kasih sayang mulai merangkak pergi, ketika saya tak ingin kehilangan
rahman rahiim dari Dia yang telah memilihkan pasangan
terbaik, ketika alasan-alasan itulah, ingatlah kalau kau benar-benar mengetahui
alasan mengapa kau mencintai pasanganmu. Sengaja di akhir tulisan ini saya
cantumkan catatan ringkas ini, catatan yang mengawali tumbuhnya mahabbah untuknya.
Saya berharap untaian kata-kata ini mampu
menambahkan porsi mahabbah dengan ramuan mawaddah ketika kelak menikah dengannya. Karena konsep mawaddah adalah mencintai apa yang tidak disukai dari
pasanganmu. Allah maha Terpuji dan Pengasih, kiranya Dia tidak marah ketika
saya tuliskan ini untukmu:
Kiranya tak berlebihan kalau aku terpikat
dengan kata-kata yang singkat...kau begitu hemat
dalam bertutur.
Kiranya tak tergolong "norak" kalau
aku dibuat resah dengan pribadi yang acuh...kau
begitu acuh: yang perlu kita bicarakan, yang tidak perlu jangan diada-adakan.
Kiranya tak tercatat munafik, kalau aku hidup
dengan harapan...kau berharap dengan paketan reward dan punishment, tak hanya doa.
Kiranya tak disebut menghamba, kalau aku
mengidamkan kehadiranmu...kau pintar keluar dari
kebiasaan, menerbitkan rasa penasaran
Kiranya tak disamakan dengan penguntit, kalau
aku diam-diam memperhatikanmu... kau bukan pusat perhatian orang-orang, tidak
bagiku.
Kiranya tak berbual kalau aku berusaha
menyayangimu lahir dan batin...karena kau tidak tahu.
Cukup aku dan Tuhan yang tahu.
Garut, 10 November 2012
Memoar
0 comments:
Post a Comment