Pesan Istri
Pagi hari, ketika hendak keluar rumah mencari nafkah, ada satu permintaan sang Istri yang masih teringat dan menjadi tantangan terbesar abad ini. Bukan tantangan untuk balik bertanya pada penjaga swalayan apakah mereka mau menyumbangkan 300 rupiahnya ketika pembeli tidak ada uang kecil dalam membayar. Masa mereka berani (baca: tidak malu) bertanya kepada para pembeli apakah uang 400 rupiahnya mau disumbangkan ketika mereka tidak ada kembalian. Hufft.
Sesaat setelah sang Istri berkata “Neng ada permintaan, sekaligus juga tantangan buat Aa...”, napas sang Suami terhela, dan sempat terpikir dalam benaknya: Pasti bakal disuruh berbicara bahasa Perancis selama satu hari ini sebagai tanda berkabung atas teror negara Carrefour itu. Pasalnya, bulan-bulan kemarin ketika beberapa negara berbahasa Arab terkena aksi teror, sang Istri meminta suaminya untuk memakai gamis dan usahakan perbanyak kosakata Arab selama bekerja sebagai tanda berkabung.
Memang sudah seperti itu seharusnya. Sang Suami dan sang Istri itu tidak setengah-setengah dalam bertindak. Kalau mereka sedang berkabung atas satu negara, mereka tidak sekadar memasang panji negara tersebut, tetapi mereka harus seolah-seolah menjadi warga negaranya selama satu hari kerja. Tujuh kebudayaan universal yang terkenal itu tidak hanya berbicara soal agama/keyakinan, tandas sang Istri. Ada bahasa, sistem ekonominya, keseniannya dan seterusnya. Sang istri panjang lebar menjelaskan.
Sebentar, atau jangan-jangan itu kode harus belanja sebanyak-banyaknya di Carrefour? pikir sang Suami. Wadezig!
“Iyaa, sudah...sudah... terus tantangannya apa, say?” sang Suami bertanya.
“Begini suamiku, dunia ini semakin tua dan bodoh, begitu pun dengan kita. Kalau Pesan Ibu kemarin jangan gampang marah dan harus ikhlas. Neng setuju dengan itu. Ibu sebetulnya ingin mengatakan pada kita kalau urusan di dunia ini banyak sekali. Banyak sekali. Kita bisa fokus pada satu masalah atau banyak itu tidak penting, seberapa ikhlas kita dalam menyelesaikan permasalahan itu. Kalau tidak ikhlas, carilah permasalahan yang kita akan ikhlas dalam menghadapinya.”
“Iya, Neng cantik. Terus intinya apa? Sudah kesiangan ini...”, sang Suami tidak sabar.
Kalau para nabi zaman dahulu dibekali gadget/handphone sebagai mukjizat, entahlah sekarang kita masih ada atau tidak akan pernah ada, ya, A?. Para nabi dibekali mukjizat seperti tongkat, kekuatan bertahan hidup dalam api, atau membuat bahtera mega raksasa untuk melemahkan beberapa umatnya yang membuat kerusakan sistem di muka bumi. Setelah mereka lemah, barulah mereka bisa melihat dan memilih tentang keyakinan mereka.
Mereka bebas memilih soal keyakinan. Tidak dipaksa. Dengan syarat penindasan dan kerusakan di muka bumi harus dihentikan. Semua para nabi diutus itu bukan berawal karena keyakinan manusia yang sesat, kan, A? Tapi karena bumi dan permasalahan sosiallah yang mengawali untuk didatangkannya para utusan. Berawal dari kerusakan sosial itulah akhirnya manusia tersesat dalam keyakinan. Seperti Syuaib yang diutus pada kaum Madyan, bukan berawal dari kaum Madyan yang tersesat dengan keyakinan mereka. Tetapi sebelumnya, kaum tersebut sudah merusak sistem kehidupan dengan jual beli licik dalam hal timbangan. Banyak makhluk hidup yang disakiti. Nabi yang lain pun sama, mereka diutus pertama kali untuk merapikan tatanan sosial yang sudah lama dirusak.”
Lantas sekarang kita, entah dibekali atau membekali diri dengan gadget/handphone sebagai mukjizat satu-satunya, kita gunakan peralatan tersebut sebagai mukjizat (alat melemahkan) bagi makhluk lainnya. Sayangnya mukjizat yang kita miliki, orang lain juga memilikinya. Kita berniat melemahkan, saudara kita dilemahkan. Saudara kita melemahkan, orang tua kita dilemahkan. Orang yang kita sayangi melemahkan, orang yang kita sayangi pula akan dilemahkan. Satu perusahaan bernama Kantor Berita melemahkan kantor yang lain, maka kantor yang lain juga mampu melemahkan. Karena mukjizatnya dijual seperti kacang goreng. Sistem kehidupan dirusak oleh kita sendiri dan sim salabim taraaat jadilah keyakinan kita.
...Dan pada akhirnya Aa adalah seseorang yang diutus untuk Neng. Untuk membimbing Eneng. Bukan ikut-ikutan merusak sistem kehidupan di dunia dengan saling melemahkan satu dengan yang lainnya. Kita tidak perlu banyak tahu. Banyak tahu tidak menjadikan kita ikhlas, A. Kita tidak perlu keranjingan dengan urusan yang tidak kita hadapi. Masih banyak urusan yang kita hadapi, real kita hadapi dalam kehidupan kita. Kalau Aa berpikir itu demi urusan kemanusiaan, Aa pergi mencari nafkah juga, itu hablumminan naas yang tidak terhitung, karena Neng juga manusia.
Dan sekarang, tantangannya adalah bisakah Aa tidak menggunakan gadget/handphone selama satu hari kerja? Fokus saja pada masalah yang sedang aa hadapi?
Sang Suami bergumam: Untung tadi pagi ia meminta istrinya untuk mengirimkan semua tantangannya via SMS, jadi tidak kesiangan.
Sang Suami tersenyum melihat isi SMSnya. Handphonenya di non-aktifkan selama satu hari.
Sore hari, sang Istri meminta untuk dijemput di Carrefour, handphone sang Suami masih mati.
Blog
0 comments:
Post a Comment