Showing posts with label Memoar. Show all posts
Showing posts with label Memoar. Show all posts

Bus

 

Nusyuz On The Bus. 1

Calon Sopir Tembak.. 4

Mios: Sebuah Mesin Waktu.. 7

The Messenger. 10

 

 

Nusyuz On The Bus

...Gelap sudah menyelimuti langit Bandung. Bus Primajasa yang berangkat dari Garut jam lima sore tadi, sekarang melintas cepat di tol Cileunyi. Kira-kira sampai Jakarta jam 9 malam kalau tidak banyak berhenti atau ditambah hal yang melanggar rambu lalu lintas. Memang, tidak semua sopir bus mematuhi rambu-rambu. Seperti sopir kami misalnya, menaikkan penumpang sudah dilakukannya dua kali di sepanjang tol ini. Mungkin mereka berpikir lebih baik main kucing-kucingan dengan para Petugas PJR (Patroli Jalan Raya) ketimbang tidak mendapatkan uang sewa tambahan. Padahal tanpa dikejar pun harusnya sudah paham dengan papan rambu: Dilarang menaikkan dan menurunkan penumpang sepanjang jalan tol.

Lagi, bus berhenti di tengah-tengah tol. Entahlah, aku tidak terlalu memperhatikan bus kami berhenti di mana dan menaikkan siapa sedari tadi. Namun, pandanganku tertuju pada para penumpang yang baru saja naik. Dua orang lelaki, yang satu berpenampilan sederhana dengan hanya menyelendangkan tas kecil di bahunya. Sedang yang satunya lagi, yang lebih tua, berpenampilan ramai. Dia bertopi koboi dan berpakaian ala vokalis band Rock asal Bandung: Andi RIF. Walau kaca mata hitam menutupi raut mukanya, aku bisa melihatnya terbebani dengan kotak kayu hitam yang dibawanya. Letih. Mereka berdua baru saja lewat tempat dudukku. Semua penumpang akan menduga mereka sebagai personil dangdut jalanan atau mungkin dangdut spesial hajatan. Itu mesti. Tebakan itu mungkin mendadak benar setelah melihat satu penumpang lagi. Seorang perempuan berdandan bak biduan dangdut. Wajahnya menor, rambut panjang kemerahan terurai, pakaiannya ketat dipadani sepatu hak tinggi. Tak dipungkiri, parasnya cantik nan menarik. Satu tangannya memegang dompet panjang beserta sisir rambut. Sedang genggaman yang lain membawa kantong plastik minimarket berisi aneka snack. Tidak sampai di sana fokusku memperhatikannya. Beralih ke wangi parfumnya, ugh!! Sangat menyengat!. Menyeruak menyelinap di sela-sela udara AC bus. Aku dapat pastikan, seluruh penumpang dalam bus mencium wanginya.

 

                                                                        _ ______  __

                                                                        I-o= = = o =I

 

Anak perempuan kecil itu tak henti-hentinya memperhatikanku. Wajahnya yang cantik hilang timbul di balik jok depan tempat dudukku. Seolah bermain Cilukba. Umurnya sekitar dua tahun. Kata-katanya masih belum jelas. Di pipinya ada sedikit luka. Mungkin bekas jatuh, bukan memar. Luka yang sudah mengering. Buruk sangkaku dia tidak cukup mendapatkan perhatian dari orang tuanya hingga ke sana kemari, turun dari ini naik ke itu, tanpa pengawasan hingga sering terjatuh. Baik sangkaku anak itu terlalu aktif dengan berbagai kegiatan sampai-sampai konsekuensi terburuk pun sudah ia kenali bagaimana rasanya. Aku suka anak itu. Orang tua zaman dulu sering berkata, anak kecil aktif yang sering bertanya dan banyak tingkah menandakan daya imajinasinya sangat tinggi. Menembus batas rata-rata tingkat kreativitas. Terlepas dari luka besarnya itu, dia tetap cantik. Malah aku sempat berpikir orang tuanya pasti pasangan yang serasi, cantik dan tampan. Semenjak aku naik di Garut tadi, aku tidak melihat ibunya. Anak perempuan itu hanya berdua dengan ayahnya di jok 3 kursi. Ayahnya memang tampan. Setidaknya di atas rata-rata. Perawakannya tinggi tegap. Dengan boot hitam dan kaos oblong abu-abu rapi dimasukkan. Memberi kesan dia seorang anggota kepolisian.

Bus Primajasa AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) tujuan Lebak Bulus melaju kian cepat. Batas akhir kota Kembang pun tertinggal beberapa menit yang lalu. Lagu barat tahun 70-80an dilingkup remang lampu bus membuat suasana semakin romantis. Aku pun heran, biasanya tembang kenangan Pance F. Pondah yang sering kudengar dalam bus langganan kuliah S1-ku dulu. Diawali dengan lagu Imagine karya Lennon, aku tersenyum sambil melihat speaker sekeliling bus dan aku mulai tersadar, aku bangga dengan selera sopirku kali ini. Senyumku semakin melebar setelah anak kecil itu bermain hp nokia tipe lawas sambil berucap halo...halo...halo. Ayahnya tak banyak bicara. Si anak merengek, diberi makan. Merengek lagi, dikasih susu kemasan. Banyak caranya untuk membuat buah hati diam anteng. Aku bahkan sempat tadi melihatnya diberikan iPad. Namun sekarang hp nokia. Sedang ayahnya santai bermain dengan hp yang satunya lagi, BB-an.

Bus yang kami tumpangi memang tidak terlalu penuh. Aku di jok kursi tiga hanya berdua dengan ABG yang sedari tadi mengotak-atik pesan di hp Chinanya. Tangannya sibuk antara mengetik dan membetulkan posisi jack audio yang mungkin macet dari hp-nya. Jok di depanku, si anak kecil dengan ayahnya. Di samping kiriku, jok kursi dua, ada nenek berkerudung putih yang percaya tidak percaya asik BBM-an entah dengan siapa. Ia tidak sendiri, teman di sampingnya pun seumuran dengannya yang jauh lebih technosexual lagi. Ia menggenggam iPad bermain Fruit Ninja. Sedang di jok depan mereka, samping kiri pak polisi, duduk seorang lelaki keriting paro baya yang sedari tadi gundah gulana, duduk tidur, bolak balik ke belakang, ke ruang rokok. Di jok kursi 2-nya dia hanya sendiri.

Musik di dalam bus kini mengalun suara Glenn Medeiros menyanyikan tembang andalannya Nothing gonna change my love for you. Lampu dalam bus pun dimatikan setengahnya. Kalau boleh aku ungkapkan ini adalah momen paling romantis sejagat bus. Lelaki keriting kembali ke ruang belakang. Nampaknya mulutnya kangen dengan segelintir filter. Joknya kini kosong. Yang tertinggal hanyalah sampah lontong bekas makan ia tadi. Sang polisi pendiam sedang makan nasi bungkus. Kali ini ia berbagi dengan buah hatinya. Suap tiga kali untuknya, satu kali untuk anaknya. Begitu seterusnya. Di sela-sela suasana adem kami, kembali terusik dengan wangi parfum yang sangat menyengat. Biduan dangdut itu pindah tempat duduk. Ia kini pindah ke jok samping pak polisi, menempati jok pemuda keriting.

Tak lama setelah duduk di tempat yang baru, ia menyudut ke samping jendela tersedu pilu mengangkat telepon. Pelan memang suaranya, apalagi bus masih mengalun santai suara Medeiros. Tapi tak dinyana, isaknya membengkak. Kesalnya membludak. Suaranya pun meledak hingga akhirnya keluar bahasa pribuminya, dia menggunakan bahasa Padang. Aku sedikit mengerti kalau ia sedang bertengkar dengan pasangannya dan meninggalkan rumah serta anaknya tanpa pesan. Ia kesal. Beradu argumen kalau ia yakin pergi dengan izin anaknya. Memang ia tidak pamit kepada suaminya, tapi tidak kepada anaknya. Suaranya berhenti. Telepon ditutup.

Aku hanya terdiam, pura-pura tidak mendengar apapun. ABG di sampingku membuka headset bututnya, ia tak yakin kalau ia sudah mendengar suara perempuan setengah teriak. Telinganya kembali ditutup busa berkabel dan kepalanya ditutup kupluk sweaternya. Kembali cuek.

Suasana kembali sepi. Tak ada yang bersuara, sekalipun itu batuk.

Namun, pak polisi diam-diam memberikan sesuatu kepada si biduan cantik...


 

Calon Sopir Tembak

Pagi, 27 Januari 2016, saya sudah tampil dendi di Jatibening. Duduk biasa di pembatas jalan menanti bus jurusan Garut, tapi pagi ini tujuan saya adalah Cileunyi - Bandung. Artinya saya punya dua pilihan naik bus: arah Garut atau arah Tasik. Karena untuk ke Cileunyi, tidak hanya bus Garut, bus Tasik pun sama via Cileunyi. Atau mungkin juga ada bus-bus yang lain lewat sana? Ah itu tidak penting. Singkatnya saya tidak akan berlama-lama diam di tempat yang banyak orang menyebutnya sebagai terminal bayangan ini. Sebagai informasi, Jatibening yang saya maksud adalah gerbang tol tempat bus umum lalu-lalang dari dan ke arah Jakarta. Bus bandara, destinasi Jawa Barat, Jawa Tengah, mobil Preman dan mobil di atas mobil pun juga banyak lewat sini. Ramai bukan main pokoknya suasana pagi hari di Jatibening.

Benar saja, hanya perlu waktu 10 menit untuk saya dapat tumpangan. Bus yang ditunggu akhirnya datang juga. Bus yang beruntung membawa saya adalah bus arah Tasik. Beruntung karena sudah membawa saya. Atau mungkin sebaliknya, saya yang beruntung naik bus ini?

Saya dapat tempat duduk di barisan jok 2. Tidak terlalu depan juga tidak terlalu belakang. Yang jelas saya dapat melihat jalanan di depan. Jalanan ramai lancar. Mungkin karena hari ini hari Rabu. Biasanya saya berangkat dari Jatibening hari Senin dan kalau berbicara hari Senin, saya teringat teman pernah berucap, "Barang siapa yang kebelet lahiran di Senin pagi, niscaya anaknya akan diberi nama Macet bin Sangat". Macetnya bukan dongeng. Benar-benar macet. Wahai ibu-ibu lihatlah hari ini! Lancar! Lahirkanlah anak-anakmu di Rabu pagi!! Atau saya harus berkata tauhid, macet itu sepert kiamat, kehadirannya tidak bisa diprediksi. Barang siapa yang beriman pada hari kiamat, maka ia tidak akan mengeluh di kemacetan. Dan barang siapa yang tidak merasakan macet, maka bersyukurlah karena kalian sedang naik kereta api. Jadi ngawur kemana-mana, maklum senang bukan kepalang karena hari ini tidak macet.

Terlihat dari sini di kaca spion sopir bus berkacamata hitam tampil perlente. Sesuai namanya kaca spion, kaca ini dibuat untuk memata-matai siapa saja yang terlihat di kaca tersebut. Adalah sang sopir yang dapat melihat semua penumpang dari kaca spion. Pastinya melihat penumpang di samping saya juga yang sedang tertidur pulas sejak saya naik tadi. Ya dia tidak sendirian, semenjak 20 menitan saya berada di bus ini, di sekeliling saya sebagian besar penumpang tertidur. Satu orang di seberang sana masih serius ngobrol di telepon. Dan juga, ada dua orang di depan saya masih anteng ngobrol tidak penting: mau kemana? dari mana? kerja di mana? Saya juga punya saudara di sana, dan bla...bla...bla...seper sekian detik keduanya berubah menjadi pengamat politik sekaligus ekonomi sekaligus sosial dan pengamat semua umat manusia. Mereka adalah tuhan kecil saya menyebutnya. Sik...sik...sik...Sampai mana cerita saya tadi??

Semuanya tertidur. Lebih baik tidur sebetulnya daripada mengambil tugas tuhan. Saya masih mendengarkan lagu-lagu Andien album Let it Be My Way yang konser di telinga ini. Saya tidak bisa tidur. Sedikit pun saya tidak mengantuk. Laju bus semakin melesat memanfaatkan jalanan yang ramai lancar. Saya terkagum karena sopir ini tidak mengambil penumpang di jalan tol. Setidaknya ia tidak banyak berulah di jalan bebas hambatan ini. Kekaguman saya ternyata harus pupus sesaat ketika sang sopir mendapati di depannya ada bus jurusan Tasik - Lb. Bulus. Sebagai informasi tidak penting, bus yang saya tumpangi adalah bus Tasik - Jakarta. Kedua bus ini serupa tapi tak sama. Terbukti ketika sang sopir ingin menyalip bus Lb. Bulus dengan kumpulan jurus tangan dan kakinya. Rem, gas, banting kanan, banting kiri seolah doi sedang membawa pepes burung nasar.

Dua kilometer lagi akan terlihat gerbang tol Cikarang Utama. Kami masih berada di belakang bus sialan itu. Entah mengapa saya merasa kalau sopir kami adalah seorang hero, lebih tepatnya tragic hero. Pahlawan yang tidak bisa dibanggakan. Bagaimanapun dia adalah sopir kami, dan bagaimanapun juga salip-menyalip mencari posisi pertama di jalanan tol adalah tindakan konyol. Dua bus ini masih salip-menyalip tak mau kalah. Cikarang Utama semakin mendekat, terlihat antrian kendaraan yang sebetulnya pemandangan seperti ini adalah fenomena azali di sini. 99% dipastikan macet ketika mendekat gerbang tol ini. Kejar-kejaran antar bus ini harus berakhir di kemacetan.

Bus Tasik-Lb. Bulus masuk manis di kemacetan, sedang bus kami masih mencari celah untuk bisa menjadi paling depan. Akhirnya sang sopir menemukan celah dan bisa berada di depan bus Lb. Bulus, tapi hey!!...ini bukan jalur biasanya!! Saya melihat bus Lb. Bulus tertinggal jauh di belakang di kemacetan. Bus kami berbelok ke arah kiri dan lancar memang, sampai akhirnya keluar di Cikarang Barat. Hey! Hey! Entah mengapa sebagian penumpang riuh dan akhirnya banyak yang terbangun. Sang sopir tetap tenang karena ia tahu ia sedang berbuat apa. Sesaat setelah keluar di Cikarang Barat, bus diputar balik memasuki Cikampek lagi. Dan taraaat...akhirnya kami berada di jalur yang semestinya. ‘Selamat tinggal bus Lb. Bulus, sopirmu kurang kreatif’. Mungkin ada yang berucap seperti itu.

Para penumpang kembali tenang. Sebagian ada yang melanjutkan tidurnya. Orang yang sedang serius ngobrol via telepon seberang sana terdengar sangat cemas ketika ia mengakhiri teleponnya sampai-sampai ia pindah ke ruang rokok di belakang. Mungkin untuk menenangkan. Dua tuhan kecil di depan saya masih meliput semua orang di Indonesia. Berkomentar ini itu, kasihan. Saya hanya berpikir sopir kami adalah benar-benar seorang pahlawan. Bus kembali melaju cepat seolah tidak ada lagi saingan. Tapi tiba-tiba, mataku melihat ke arah depan, sebuah mobil isuzu panther menyalip dari belakang dan mencoba menghalangi bus kami. Tangan pengendaranya melambai tak biasa, terlihat aneh tangannya dalam melambai. Benar saja!! Tangannya membawa pistol!! Di depan ada yang membawa pistol!!!. Headset di kuping saya lepas. Mata ini tajam menatap ke depan. Sang sopir memperlambat laju busnya dan akhirnya berhenti di tengah tol. Berhenti di tengah-tengah tol Cikampek km 40. Sebagian besar penumpang berdiri penasaran, ada apa ini? Saya curiga pada orang yang pindah ke ruang rokok tadi. Wajahnya tampak ketakutan terlihat dari sini. Jangan-jangan ia buronan polisi?? Ah yang benar saja.

Pengendara isuzu panther turun sambil membawa pistol. Ia mengetuk pintu sang sopir sambil menodongkan pistol. "Buka anj*ing!!" teriak laki-laki itu. Usianya sekitaran 40 tahunan. Mukanya memerah. Sang sopir kami membuka pintu. Ia ditarik paksa untuk turun dari bus. Wajahnya ditodong pistol.

"Anj*ing, lu, yak!! Mo jadi jagoan lu??!! Ngebut di jalanan seenaknya! Mau ngejago, lu??!!" pistolnya masih menempel di wajah sang sopir. Ia terpaksa harus membuka kacamata hitamnya. Para penumpang semua ketakutan. "Dia bawa pistol. Dia bawa pistol." bisik penumpang di ujung sana. Wajah sang sopir terlihat santai. Ia terdiam tidak melawan. Entah takut. Kernetnya pun bolak-balik salah tingkah, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sang sopir dibawa keluar dan percakapan mereka pun sudah tidak terdengar lagi setelah pintu bus ditutup. Sekitar 8 menit adegan menegangkan itu terjadi, sang sopir kembali masuk ke dalam bus. Penumpang masih cemas. Tidak terkecuali seseorang di ruang rokok tadi. Saya pikir ini semua gara-gara kamu, bisik saya dalam hati.

Pengendara isuzu panther menjalankan mobilnya lagi dan mempersilahkan bus kami untuk maju terlebih dahulu. Kami para penumpang di jok dua melihat ke arah kiri, kami penasaran dengan sopir panther tadi. Apa ia polisi atau Steven Seagal atau Chow Yun Fat sampai berani-beraninya ia membawa pistol. Terlihat ia tidak sendirian. Di sampingnya ada seorang perempuan. Mungkin itu istrinya. Anggap saja itu istrinya. Istrinya hanya terdiam. Ia pasti sudah tahu watak suaminya seperti itu. Jantung ini berlari cepat tidak keruan entah ingin ke mana. Ini kali pertama saya melihat orang menodongkan pistol. Mungkin juga ini pengalaman pertama bagi sang sopir. Saya memata-matai sang sopir dari sini lewat spion, ia terdiam. Para penumpang yang baru terbangun sibuk bertanya ada apa sebenarnya, doi masih diam tidak menjawab. Mungkin soak.

Dua orang di depan saya seolah paling tahu, mereka melayani semua orang yang penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Bus kembali ramai. Riuh sekali. Sayup-sayup terdengar seseorang berteriak Cileunyi!! Persiapan yang Cileunyi...yang Cileunyi...!! Saya pun segera terbangun...

Dua orang di depan saya tertidur pulas. Sang sopir masih terdiam.


 

Mios: Sebuah Mesin Waktu

 Sekarang tahun 2014. Di mana dunia android sudah mewabah. Mak Halimah, tetangga saya, mungkin tidak akan mengerti tentang apa itu android. Si Mak hanya tahu rambutnya sudah memutih dan anak-anak kecil yang dulu digendong, sekarang sudah menggendong anak. Itu saja. Saya sering berpikir tentang dua hal paling penting di dunia ini. Dua hal yang paling dicari oleh manusia sekarang ini, dan bahkan manusia zaman dulu. Entahlah dua hal ini sudah diciptakan atau belum. Yakni mesin uang, dan mesin waktu. Perihal mesin uang, sudah ada. Namun tidak sembarang orang dapat memilikinya. Soal mesin waktu, saya hanya mendengar dari cerita-cerita film.

Bukan itu sebetulnya yang ingin saya ceritakan dalam catatan kali ini. Sudah beberapa hari ini, karena satu dan lain hal, saya pulang pergi  Bandung menggunakan transportasi umum. Tapi tidak beberapa hari ini juga saya menggunakan angkutan umum. Selama saya di Jakarta atau Yogyakarta, saya selalu menempuhnya dengan angkutan umum. Ada hal berbeda terekam tentang Garut - Bandung via angkutan umum. Saya naik Mios. Bus yang sudah ada sejak zaman azali. Boleh dikatakan seperti itu. Beberapa menit setelah saya naik bus biru putih itu, seketika itu juga muncul memori zaman dulu yang masih kental terasa. Mesin waktu kini ditemukan. Bisik saya dalam hati.

22 tahun ke belakang.

Sekarang tahun 1992. Saya masih ingat, kita akan berangkat ke Bandung. Wisata ke kebun binatang dan mampir ke rumah saudara di daerah Elang. Entah di mana itu. Tidak naik mobil pribadi. Kita akan mencoba naik angkutan umum. Tidak ada satu bus pun yang beroperasi antara Garut - Bandung kecuali bus Mios yang berjejer di terminal Ciawitali. Suara riuh para pedagang sudah mulai terdengar. Cang-Ci-Men...kacang, kwaci dan permen. Tahu Sumedang dan aqua masih jadi tren. Bacang panas juga masih hangat pembeli. Uli bakar masih wangi tercium. Selain jarak yang jauh, Garut - Bandung itu adalah jarak yang sangat ramai dengan hal-hal sedemikian. Terutama para pedagang yang ingin membantu melengkapi perbekalan kami. Perbekalan adalah nomor satu. Bahkan sampai yang terkecil pun harus sudah disiapkan. Seperti kantong keresek, misalnya. Bisa sampai tiga jam kita sampai Bandung. Belum termasuk ngetem. Dan bisa dua kali saya meminta kantong keresek. Kemungkinan besar itu disebabkan oleh kondisi bus yang di dalamnya ada suara ayam, bau asap rokok, pedagang jeruk yang memaksa sepanjang jalan, dan saya tidak memegang jimbot. 

 

Ternyata memang jauh Garut - Bandung. Siang-siang baru sampai Kebun Binatang dan sorenya harus pulang ke Garut. Kami tidak menemukan bus apapun selain bus biru putih lagi. Bus Mios di terminal Cicaheum. Hujan sore kota Bandung menjadi panorama tersendiri. Terlebih hampir semua pedagang berteduh di dalam Mios. Bus itu penuh sesak. Saya diam lesu di sudut jok. Kangen kantong keresek. Air hujan membasahi bus Mios. Air meresap lewat jendela yang selalu berbunyi saat bus melewati jalan berlobang. Tidak ada lobang pun, masih bunyi, sebetulnya. Saya berada dalam bus, namun seperti berada di luar bus. Itulah Mios. Hanya nyanyian para pengamen yang menghibur kami, yang hampir sama dengan para peyanyi aslinya. Mereka menyanyikan tembang-tembang Sunda...

22 tahun kemudian.

Sekarang tahun 2014. Nyanyian itu masih terdengar. Jok di depan saya masih ada yang sobek. Jendela di samping masih sering berbunyi. Para pedagang masih berjualan benda-benda antik lainnya, seperi kacang, kwaci dan permen. Namun saya tidak menjumpai pedagang bacang panas. Penjual tahu Sumedang masih sering naik turun. Penjual yang memaksa para penumpang, saya temukan. Semuanya masih sama seperti saya berangkat ke Kebun Binatang dulu. Hanya saja, kali ini tidak perlu kantong keresek. Sisa-sisa kejayaan Mios masih terlihat di depan kaca mobil paling depan. Speaker AIWA yang kabelnya bergelantungan entah harus nyolok kemana masih terlihat. Stiker-stiker zaman dulu masih ramai menghiasi kaca bus. Kata WOWW!! kata KECE, kata BOMBASTIS... dan atau sticker wanita bahenol pun masih ada. Sesekali tertutup asap rokok tebal dari sang sopir. Di saat beberapa bus sudah ramai-ramai memasang AC dan stiker dilarang merokok, atau ramai-ramai memanfaatkan kata PATAS, Mios masih seperti itu. Bus ini memang jangan dilihat dari segi apapun selain dari nilai historis.

Bagi mereka yang tidak tahu, masih ada tawar menawar harga. Zaman dulu sekali. Hanya saja, saya tersadar ini bukan zaman dulu. Ini tahun 2014. Saya memegang android. Bukan jimbot.


 

The Messenger

 Merasakan kembali naik bus Primajasa Garut - Lb. Bulus itu berjuta rasanya. Bagaimana tidak, hampir lima tahun sekolah di Ciputat, saya tidak menemukan bus yang sekeren, seindah dan senyaman Primajasa. Umm, sepertinya berkata jujur akan lebih menenangkan: Sebetulnya tidak ada bus lagi. Satu-satunya trayek terdekat dari Garut ke Ciputat ya ... hanya Primajasa.

Oke, tepatnya hari Sabtu kemarin, saat semuanya serba tidak jelas, saat di mana hari Sabtu adalah waktu saya untuk istirahat, sesaat setelah saya terbangun dari tidur di pagi hari, entahlah, terbesit keinginan saya untuk ikut mengantar Ibu dan adik ke Bogor. Ada yang aneh? Tidak usah khawatir, kita tidak ikut manut ke Lb. Bulus. Kita turun manis di Pasar Rebo, dan dilanjut semangat ke Cileungsi.

Sabtu pagi kota Garut sangat cerah. Tidak terlihat guratan putih titik-titik air mengelompok di atas langit sana. Garut biru sangat merdu. Adik menggendong anaknya yang berusia 6 bulan. Untuk Ibu, saya bawakan dua tas yang penuh terisi; satu berisi pakaian keponakan selama liburan seminggu lalu, sedang satu lagi berisi oleh-oleh untuk Bogor dari Garut. 

Kami pun tiba di terminal Guntur, Garut. Jangan ingin berlama-lama tinggal di terminal. Di terminal manapun itu. Apalagi di Garut, suasana terminal tidak sebersih dan sehening kantor pemda. Percayalah.

Satu alasan yang mewajibkan saya untuk masuk lagi ke terminal ini adalah memberikan kebahagiaan untuk adik dan ibu. Tidak ada hal yang membuat bahagia mereka selain mendapatkan kursi terdepan di dalam bus. Setidaknya untuk saat ini. Alasannya cukup sederhana, bukan? Saya harus bergegas mencari tempat duduk paling depan. Ini pekerjaan susah-susah gampang, sebetulnya. Mari kita bayangkan, kalau bus Primajasa itu warisan milik keluarga kami, tentu itu akan menjadi mudah. Sangat mudah. Masalahnya adalah ketika yang mengaku ahli waris Primajasa bukan hanya kami. Terbukti, sering kali tidak hanya kami yang sigap berburu kursi jajaran terdepan. 

Namun hari itu, Sabtu biru merdu saya menyebutnya, semuanya terasa sangat mudah. Saya mendapatkan jok paling depan tanpa beradu sikut. Saya menandai kursi paling depan tepat di belakang bapak sopir dengan tas besar tertempel wajah Hello Kitty yang selalu tersenyum. Jika ada yang ingin menempatinya lagi: Say Hello to Kitty. Segera saya menjemput ibu beserta adik di ruang tunggu terminal dengan senyuman lebar dan acungan jempol. Misi terselesaikan.

 

Bermain dengan keponakan berusia 6 bulan sambil menunggu keberangkatan Primajasa 15 menit ke depan adalah saat-saat terindah. Selain berpikir akankah saya mempunyai anak selucu dan sepintar ia, juga terlintas pikiran tentang semua hal mudah yang terlewati sedari tadi adalah kemungkinan tentang kasih sayang berlebih Tuhan untuk anak cantik ini. Saya menunjuk keponakan. Dua jok di samping kiri kami kini duduk seorang wanita warga keturunan bercelana sangat pendek membawa jinjingan pink yang sudah duduk sedari tadi, sebelum kami naik. Ditambah wanita berjilbab yang duduk setelah bertanya apakah jok tersebut kosong atau tidak. Wanita bercelana pendek kini ditemani wanita yang saya dapat melihat jelas rok panjangnya menyapu alas bus yang bercorak marmer saat naik barusan. Saya hanya tersenyum. Melihat keponakan saya, tentunya.

Saya sempat menduga, kadang kala mereka yang satu bus dengan kita adalah orang-orang pilihan. Orang betulan yang masuk dalam lingkaran kebetulan. Seperti misalkan saya harus satu bus dengan mantan calon mertua, atau mungkin saya harus salaman dengan guru SMP yang mengeluarkan saya dari kelas, atau mungkin juga saya harus menganggukkan kepala kepada pedagang minuman berenergi yang beberapa tahun silam sempat berurusan dengan saya. Menjalin silaturahmi dengan cara ekstrem, katakanlah seperti itu. Juga seperti wanita yang lewat beberapa menit lalu, kebetulan ia pernah operasi plastik, mudah-mudahan prediksi saya tidak berlebihan karena sudah menilainya dari bentuk hidungnya yang terlihat spesial yang kebetulan juga menjadi pembuka obrolan adik:

Ga, gue baru baca berita di medsos tentang satu keluarga di China yang operasi plastik dan ternyata tidak berpengaruh pada keturunan...” ucap adik nyaring ingin membuka obrolan. Saya tidak menjawab. Pura-pura tidak mendengar. Ternyata dugaan saya tidak jauh berbeda dengan adik. Saya yakin adik juga melihat wanita tadi. Sambil mengerlingkan mata ke samping, saya meminta untuk menutup obrolan. Tidak enak terdengar oleh tetangga jok sebelah kiri yang bercelana sangat pendek. Apalagi, wanita rok panjang di sampingnya bermain-main dengan mulut AC di atas tempat duduk mereka. Ia merasa kalau ia menggunakan AC, rekannya yang memakai celana pendek jelas tidak akan nyaman. Sebaliknya kalau ia tidak membuka ACnya, ia sendiri mungkin yang akan tersiksa. Sampai sini, tentang kebetulan itu mulai tergambar? Ya! Semuanya serba kebetulan. Tidak terlalu lama, 15 menit berlalu, bus Primajasa berangkat meninggalkan terminal yang panas dingin.

Para peminta-minta mulai masuk ke dalam bus. Ada yang menjual suara khasnya, ada yang menjual suara beonya sontekan nada mengaji di surau seberang terminal, semuanya biasa. Baik yang meminta dengan sungguh-sungguh ataupun yang sungguh-sungguh hanya meminta, semuanya biasa. Pemandangan seperti ini sudahlah biasa.

 

Bus Primajasa penuh sesak tepat melewati bundaran alun-alun Tarogong. Percaya tidak percaya, saking penuhnya, tiga orang duduk lesehan di samping bapak sopir dan kernet. Di depan kami. “Maaf, Pak...maaf. Rok saya terinjak bapak.” Rekan wanita bercelana pendek berucap. 

Diiringi para pengamen menyanyikan lagu Sunda yang tidak masuk dapur rekaman, bus Primajasa pun melaju. Sopir dan sang kernet bahagia bukan kepalang. Di luar dugaan mereka, bus terisi penuh sebelum keluar kota Garut.

Masih dengan suasana ramai dalam bus, saya bermain dengan keponakan sambil menikmati bus langganan zaman sekolah dulu. Terlihat wanita rok panjang masih berurusan dengan mulut AC. Ia menutup dengan kertas tisu yang dilipat. Memastikan arah angin hanya untuknya. Tidak mengganggu wanita bercelana pendek, rekan di sampingnya. Tetapi bukankah usaha tidak selalu berujung sukses? Alhasil, AC mati. Wanita bercelana pendek mungkin gembira. Setidaknya itu yang tersirat dari pepatah Sunda “Kalau gerah: mandi, dan kalau dingin: berjemur”. Jika memakai celana sangat pendek terasa dingin, cobalah untuk memakai rok sangat panjang. Dan jika memakai rok sangat panjang terasa panas, cobalah cara yang lain.

Tapi kini masalahnya adalah bukan tentang AC mereka. Ini tentang semua AC dalam bus. Semua AC dalam bus mati. Terdengar teriakan dari belakang agar ACnya dihidupkan. Sang sopir pun merasa heran, ia tidak mematikan AC. Lagi pula AC dalam bus tidak akan bisa dimatikan selama mesin bus menyala. Merasa ada yang tidak beres. Sopir bus membawa bus ke arah kiri menapaki bahu jalan. Berhenti sejenak memeriksa semua hal yang bisa diperiksa. Kami tidak tahu apa-apa. Yang kami tahu, kami berhenti di daerah Leles, Garut. Tidak lebih dari lima menit para penumpang menunggu, sang sopir segera naik ke dalam bus. Namun, ia tidak langsung mencekik setirnya. Ia berdiri di hadapan kami dan berucap di hari Sabtu biru yang merdu ... “Maaf, kalian pindah ke kendaraan yang lain.”

Saya hanya tersenyum. Saya yakin semua penumpang berpikiran ini tentang kasih sayang berlebih Tuhan untuk mereka. Mereka sadar akan itu dari cerita-cerita klasik tentang orang-orang yang memaksakan naik bus dan perasaan tidak enak mereka ketika keluar rumah. Saya tidak peduli dan tidak berurusan dengan para penumpang di dalam bus. Saya bangga karena saya adalah seseorang yang baru bangun tidur yang diutus Tuhan untuk membawa dua tas penuh sesak ini. Itu saja. Hello Kitty! 

 

 

Memoar



Saat-saat latsar (dulu prajab), sebelum bertugas menjadi abdi negara, adalah saat yang akan berkesan. Saya tidak ingin kehilangan momen singkat tersebut sampai akhirnya saya abadikan dalam sebuah memoar. Selamat menikmati.
Back to top