Si Kuda Besi



Daftar Isi:

Orang Gila.. 1

Api Pertama.. 1

Aku dan Copet. 1

Api Berdua.. 1

Bodo Amat Pangkal Nikmat. 1

Cipendeuy.. 1

 

 

 

Orang Gila

Pernahkah kau berpikir tentang seseorang yang gila? maksudku benar-benar gila? insane, atau mentally ill dalam kata Inggrisnya. Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu saat di depanmu ada orang gila?

Takut?

Merasa kasihan?

Berpikir akankah dia sembuh?

Atau balik berpikir, sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan? Hahaha...tak usahlah kau menjawabnya. Karena bukankah itu hal yang sangat tidak penting masuk dalam pikiran orang?

                                                               ***

Minggu sore 11 September 2011 kemarin, aku bertolak dari Garut menuju Tasikmalaya. Sebenarnya bukan Tasik kota tujuanku. Aku berniat ke Yogyakarta. Dikarenakan Garut tidak memiliki stasiun yang cukup besar dan ramai untuk berbagai transaksi, aku menuju Tasikmalaya. Di sana barulah ada stasiun yang semua kereta jalur selatan akan berhenti di stasiun besar itu. Dari sana aku hendak berekspedisi mengirimkan sepeda motorku ke Yogya.

Bakda Ashar aku tiba di stasiun Tasik. Kuurus pengiriman sepeda motor sebelum aku masuk peron.

Dengan menenteng kantong di pundak dan menjinjing keresek, aku terlihat seperti orang yang balik mudik. Aku asing dengan diriku sendiri. Terlebih kini aku tengah berada di kota yang asing juga. Aku mati gaya. Aku berpura-pura santai berjalan menuju tempat tunggu kereta. Satu jam setengah lagi kereta akan tiba. Setidaknya itu yang tertulis di tiket. Lumayan lama. Kuayunkan langkahku dengan tenang. Pandanganku larak lirik mencuri suasana sekitar. Akhirnya aku duduk di jajaran kursi belakang bagian tengah. Ada sekitar 6 kursi panjang yang berjejer rapi di stasiun ini. Aku sebelah timur stasiun. Bagian tengah stasiun pun memiliki jumlah kursi yang sama. Juga di bagian barat stasiun pun berjejer kursi dengan model dan jumlah yang sama. Kalau dihitung kira-kira jumlah kursi tunggu itu ada 18. Dan kalau tiap satu kursi memuat 6 - 7 orang. Kalikan saja kursi tersebut muat untuk berapa orang. Semuanya menghadap ke arah rel yang memiliki sekitar 5 jalur. Inilah suasana stasiun Tasik.

Awalnya, aku tak menangkap hal aneh yang sedang terjadi di stasiun ini. Tapi setelah beberapa orang nun jauh melihat ke arahku bahkan sebagian lainnya ada yang saling berbisik. Sebagian ujung sana kulihat menertawakanku (pikirku), ada apa ini? Kunyalakan MP3 playerku. Kupasang kedua headsetku. Semuanya kuacuhkan tanpa rasa penasaran; ada apa ini sebenarnya. Lagi pula aku tipe orang yang tak mau ambil pusing. Semoga kalian tak ambil pusing tentang ini.

Tapi hey!! selang beberapa menit saat aku sedang menikmati alunan Peterpan, kudengar suara teriak-teriak "Seratus ribu!!! Lu semua musti bayar seratus ribu!!! Ini Stasiun milik gue! Seratus ribu, woy!!!".

Ooo My…!!. Akhirnya aku tahu apa yang sedang terjadi. Semua orang di stasiun bukan berbisik tentangku. Tidak juga sedang menertawakanku. Ini semua tentang ibu ini. Ibu yang kebetulan duduk dua meter di sebelahku. Ibu yang rambutnya gimbal. Yang dikerubuti lalat. Yang sendirian di tengah orang ramai. Ibu berusia sekitar 37 tahun ini, orang lain memanggilnya orang gila. Mengapa tadi aku tidak melihatnya? hufftt...

Tak masalah bagiku berdekatan dengan siapa pun selama dia tidak mengganggu. Kini akhirnya aku terganggu dengan lalat-lalat yang mengeroyoknya. Untung saja bau badannya tidak tercium ke sini. Kini dia sedang berulah. Barang dagangan yang berada di sampingnya ia rebut. Di tangannya banyak makanan 'hasil jarahan'. Mulutnya tak henti-henti berucap bahwa stasiun ini miliknya. Semua orang terdiam. Aku tetap dengan MP3ku. Beberapa saat kemudian, security stasiun datang menghampiri. Berusaha membujuknya keluar. Para pedagang lainnya pun ikut membantu memintanya keluar dari stasiun. Tapi nampaknya si ibu merasa terganggu. Ia kembali berteriak dengan teriakan yang sama. Tak ada kata-kata yang dikurangi ataupun dilebih-lebihkan. Semua ucapannya sama. "Seratus ribu!!! Lu semua musti bayar seratus ribu!!! Ini Stasiun milik gue! Seratus ribu, woy!!!" Tak mampu mungkin ia berkata-kata lebih. Tak bisa sejenak ia menyusun kata-katanya. Dan tak mungkin ia bisa bercengkrama dengan orang lain. Maklum, dia sedang berada di luar dunia kita.

Aku sama sekali tidak berpikir tentang pertanyaan-pertanyaanku di atas tadi. Aku tidak bertanya apakah aku takut? Apakah ia akan sembuh? Mengapa ia bisa begini?

Tidak. Justru, aku teringat salah satu puisi Emily Dickinson tentang gila yang berlebihan adalah indera yang paling tajam. Dalam puisi singkat tersebut, kalaulah aku tidak salah mentafsir, orang gila disebut gila karena ia kaum minoritas. Sebut saja orang gila di stasiun tadi. Ia hanya sendirian dan orang-orang di sekelilingnya 'merasa' tidak sakit seperti ia. Itulah sebabnya semua orang memanggilnya gila. Tetapi coba kasusnya terbalik, misalkan kita sendirian berada di kawanan orang gila. Lantas siapakah sebenarnya yang sakit? Ini hanyalah masalah pandangan. Minoritas dan mayoritas. Rasanya tak perlu kita menjauhkan diri dari orang gila (sakit), tentunya selama ia tidak membahayakan kita. Tak perlu juga kita menghinanya bahkan berbuat kriminal terhadapnya. Ini permasalahan situasi. Perputaran waktu bisa saja menghantarkan kita yang 'merasa' sehat akan dikatakan sakit oleh mereka yang 'dikatakan' sakit oleh kita.

Semuanya bisa saja terjadi.


 

Api Pertama

..Kekesalan akan dua orang gendut membuat saya membalikkan pandangan ke belakang. Ke arah jok 2-2. Dua orang lelaki yang masing-masing berhadapan dengan dua orang perempuan. Satu orang pemuda kakinya penuh tato. Saya bisa melihatnya karena pertama dia memakai celana PDL pendek dan kedua, kadang-kadang saya duduk di bawah (lesehan). Mau tidak mau pemandangan yang nampak adalah kaki para penumpang yang sedang duduk. Dan satu penumpang lagi, laki-laki paruh baya berdandah rapi, berkacamata. Di depan mereka, dua orang perempuan: ibu-ibu muda berkerudung putih kumal dan nenek-nenek yang entah ada hubungan kekerabatan dengan ibu-ibu muda tadi atau tidak.

Pemuda bertato usianya kira-kira 30 tahunan, yang pada akhirnya saya tahu dia baru saja pulang dari Bali. Tujuan akhirnya stasiun Bekasi. Saya tahu, karena saat itu...saat ibu penjual pecel yang dibeli oleh si pemuda, kelimpungan mencari uang pecahan 50rb. Si penjual sama sekali tidak mempunyai kembalian uang 50rb pemberian sang pemuda. Wajar sebetulnya kalau belum ada kembalian, para pedagang baru saja meramaikan pagi yang masih buta. Dan sayangnya, si pemuda bertato hanya memiliki satu lembar itu saja. Suasana makin seru karena lontong pecelnya sudah terlanjur dimakan. Apa daya. Stasiun demi stasiun sudah terlewati, ibu penjual pecel bolak-balik antar gerbong namun sering saya dapati ia menggelengkan kepalanya. Tidak ada hasil. Tetap belum ada kembalian. Meskipun sedikit terlambat, disebabkan terhalang rasa cuek, akhirnya saya mengeluarkan uang 4 ribu. Saya terus meluruskan niat: Ini bukan untuk si pemuda, tapi untuk si ibu penjual. Begitulah saya. Berat rasanya untuk ikhlas membantu pemuda bertato dan apalagi merokok. Jangan tanya mengapa. Saya juga tidak mengerti.

Berawal dari sana, dengan malas, percakapan dengan pemuda bertato pun bermula. Mulai dari saya dipersilahkan duduk di tempatnya, sampai janji kalau ada waktu akan mengembalikan uangnya...

Cerita di atas terjadi di pagi hari. Saya akan putar waktu ke enam jam sebelumnya. Tepatnya tengah malam.

Ini cerita tentang lelaki paruh baya berkacamata yang saya jamin dia sudah menikah. Sudah punya anak. Penampilannya sangat rapi dengan kacamata min nangkring di hidungnya. Mirip kutu buku. Persisnya doktor. Tentu menang rapi dengan lelaki di sampingnya. Lelaki urakan yang bertato tadi.

Di saat para penumpang terlelap tidur, saya masih terjaga karena penasaran dengan cerita salah seorang teman yang katanya, sekitar pukul setengah satu nanti, kereta akan melewati pantai di daerah Indramayu. Panorama laut akan terlihat jelas dari dalam kereta. Cahaya lampu pantai akan menyinari tarian-tarian ombak. Indah dan romantis, katanya. Saya sangat tidak sabar ingin melihatnya. Tak berani saya tukar sadar ini untuk berlelap. Saya tetap setia dengan konser lagu yang terus 'manggung' di kuping. Waktu terus berjalan, kereta ekonomi Gaya Baru Malam jurusan Jakarta masih datar dengan nadanya. Sesekali membunyikan klakson pusakanya. Tooott!!! Namun pantai tak kunjung datang. Alih-alih melihat pantai, kini saya tersentak. Kaget bukan kepalang. Tak sengaja saya mengarahkan pandangan ini ke arah mereka. Teman, kini saya disuguhkan pada tontonan yang sangat tidak sopan. Saya serius. Sangat tidak sopan. Saya pura-pura tidak melihat mereka. Karena sekalinya mereka tertangkap dengan indera ini, mereka terpahat: diam.

Sedang apakah mereka? Saya tidak tahu. Saya hanya melihat mereka dari pantulan kaca jendela kereta di hadapan. Penglihatan saya buram. Lelaki berkacamata tadi, tak henti-hentinya menggerakan tangannya di dalam celana perempuan di depannya. Posisi yang begitu nyaman layaknya seorang istri yang dipijat oleh seorang suami. Kaki sang istri berselonjor ke arah depan pangkuan sang suami. Dan tangan suami memijat kaki sang istri. Tapi kalaulah memijat, bukan di dalam celana, tentunya... Dan juga, apakah mereka pasangan suami istri? Seketika saya merunduk, malu. Saya tidak tahu, mengapa saya merasa malu. Mungkin ini urusan mereka dan saya tak perlu ikut campur. Tapi hey, tentu lain cerita kalaulah adzab-Nya mampir ke dalam kereta disebabkan karena ulah mereka. Saya diam sejenak, dan mencoba berpikir positif kalau mereka adalah pasangan suami istri. Saya pindah posisi sedikit, namun mereka cepat bergerak dengan spontan. Setiap kali saya menggerakkan badan ini, seketika itu pula mereka tangkas, berdiam cemas. Entahlah. Penumpang yang lain masih terlelap...

                                                                             ***

Kereta yang pada awalnya sangat penuh hingga saya susah beranjak kemana-mana, kini sedikit demi sedikit sudah mulai longgar. Terlebih peristiwa dengan si pemuda bertato di pagi ini membuat saya dapat tempat duduk.

Kereta sebentar lagi akan mengeluarkan para penumpangnya di stasiun terakhir, stasiun Senen. Obrolan samar nan ramai terdengar dari mulut para penumpang. Tentu berbeda dengan obrolan pasangan misterius tengah malam tadi. Saya bisa mendengarnya karena mereka tepat di hadapan saya.

Hei, nanti kabar-kabari aku, yak? Ini nomor hapeku. Pokoknya kamu sms, ketemuan di mana, aku pasti datang…” Ucap si bapak-bapak dengan menjulurkan secarik kertas lengkap dengan angka-angka dan nama.

Ternyata dugaan saya keliru. Dugaan tentang pasangan halal. Juga dengan dugaan kedua penumpang lelaki tadi.

Bayangkan, sebuah niatan dari dua orang laki-laki yang berada di sekitar saya. Satu lelaki bertato yang dengan serius punya niatan baik kalaulah ada waktu, ia ingin mengganti uangnya. Sedang satu lagi, bapak-bapak yang berniat 'ketemuan' dengan si perempuan yang baru ia kenal di kereta. Baru ia pijat di kereta. Inilah gaya yang baru saya kenal…Gaya Baru Malam.


 

Aku dan Copet

17 Mei, jam 18.15. Jum’at kemarin, jam segini aku masih berada di Malioboro. Padahal jam 20.00 aku berencana pulang ke Garut. Jalan-jalan di Malioboro ini adalah salah satu rentetan acara penutup refreshing di hari itu. Mulai dari demo hasil design untuk jaket kelasku, makan-makan bersama dosen popular literature dan teman-teman sekelas di daerah Timoho dilanjut dengan berbincang santai sambil membetulkan notebooknya teman yang kualitas graphicnya tidak seperti biasanya. Di daerah Pogung sana.

Menjelang Ashar, aku dan tiga orang temanku meluncur ke arah Malioboro menyantap pempek Lenggang. Padahal belum habis dalam ingatan, tadi siang aku menyantap banyak nasi ikan khas suguhan dosen. Dengan perut yang tidak diragukan super kenyangnya, kini kami berjalan sepanjang Malioboro bolak-balik menuju toko buku, naik turun mencari mushola, dan pilah-pilih pasmina untuk ibuku.

Ku bergegas meninggalkan mereka demi mengejar jadwal kereta yang aku berani bersumpah tidak akan bisa ditawar-tawar lagi kedatangannya atau pun keberangkatannya. Jam 20.00 aku harus sudah berada di stasiun Lempuyangan. Stasiun tempat berhentinya kereta-kereta ekonomi.

Jam 20.00 akhirnya aku sudah berada di stasiun. Tentunya sudah dengan sms pembertahuan kepada ibuku. Entah mengapa aku selalu mengabari kegiatanku kepada satu ‘malaikat pendampingku’ itu. Donatur do’a terbanyak untukku, ibuku. Terlebih kalau ingin bepergian seperti ini, tak bisa aku lepas dari sms-an dengan beliau. Menjadi tenang rasanya ketika mengabari aku sudah di sini atau aku belum sampai situ, karena aku yakin do’anya yang menjadikanku tenang.  

Malam itu, tak seperti biasanya petugas tiket memberitahuku kereta Kahuripan penuh. Ngga apa-apa ya mas, keretanya penuh?” dia bertanya dengan mendekatkan mulutnya ke mic yang berada di hadapannya, untuk meyakinkanku. Kubalas dengan anggukan tanda setuju. Kuacungkan telunjuk jariku untuk memesan satu tiket. Pikirku, dalam sejarah aku naik Kahuripan, rasanya memang tidak pernah kosong. Jadi mau ditanya atau pun tidak, tak perlu ragu atau pun bimbang, kereta idaman Kahuripan itu akan penuh.  

Kuberdiri di jalur 2 dari 4 jalur yang ada di stasiun. Larak lirik ke kanan-kiri melihat gelapnya jalur rel yang sebentar lagi akan muncul cahaya lampu tajam menyorot diiringi bunyi klakson khas memekakkan telinga. Seperti biasa, kupasang headset di kuping. Alunan vokalis yang kini di penjara masih senantiasa kurindukan. Angin kemarau Yogya tak henti-hentinya menyubitku dingin. Tibalah ‘teman karibku’ di sini. Dengan bunyi klakson menyapa para calon penumpang, lampu sorot lokomotif pun terang menyinari kami yang berjejer menunggunya. Dalam hitungan detik, kini dia berhenti di hadapanku. Seperti biasa juga, kami calon penumpang kesulitan mencari pintu masuk karena mereka yang sudah berada di dalam, sengaja tidak membukakan pintunya dengan alasan penuh.

Ah come on!  Setelah berlari tak tentu arah, ada juga ternyata pintu yang terbuka. Tapi heyy!! Tunggu dulu. Pintu itu sengaja dibuka karena ada penumpang yang muntah. Ooo my...Tak apalah. Dengan sabar aku menunggu prosesi mengeluarkan kembali makanan dari mulut seorang anak perempuan itu.

Ternyata benar, kini dapat kurasakan peringatan petugas tiket tentang sesaknya kereta ini. Kereta Kahuripan penuh. Sangat penuh. Aku adalah orang pertama yang masuk ke arah pintu ‘muntahan’ tadi. Masih ada puluhan orang yang berada di belakangku. Itu baru satu pintu. Tak terhitung dari arah pintu lainnya. Kahuripan penuh sesak. Kulihat dari sini ke arah lorong (jalur tengah antara kursi-kursi) kereta, sama sekali tidak ada ruang untuk duduk. Semuanya sudah penuh terisi. Kuputuskan untuk berdiri disambungan gerbong. Dengan jejalan penumpang yang terus bertambah, kupasang kupluk spidermanku. Di tempat umum seperti ini, penampilan harus dirubah layaknya anak bengal, hoho. Kini penampilanku seperti vokalis Jamrud atau mungkin hmmSlipKnot. Aduilee..                                                                           

                                                                                                  ***  

Aku tidak bisa duduk. Sama sekali tidak ada ruang untuk sekedar jongkok. Di hadapanku, kudengarkan dari logatnya berdiri sejumlah anak-anak Bandung. Di sebelah kiriku berdiri perempuan cantik ditemani ‘monyetnya’ alias pacarnya. Kini, jelaslah di depanku berdiri dua atau tiga orang penumpang yang baru masuk. Penumpang asal Yogya, dan satu penumpang yang sudah duduk sedari aku masuk, menduduki tasnya. Mungkin penumpang sebelum Yogya.  

Kereta pun berangkat dan selang setengah jam, kabar gembira datang. Bagai menemukan oase di padang pasir, gerbong ujung yang seharusnya dikosongkan kini dibuka. Para penumpang berebutan pergi ke sana. Termasuk mereka yang berada di hadapanku. Tapi tidak untukku. Aku tetap diam disambungan gerbong ini. Malas untuk pergi ke ujung gerbong dengan iringan ucap “permisi pak, permisi bu…” melewati penumpang lainnya. Aku tetap di sini dengan satu penumpang berjenggot yang sedari tadi duduk di atas tasnya. Dan akhirnya, kini aku dapat duduk, lega rasanya…

Kantuk tak bisa kutangkis lagi. Seharian jalan-jalan, perut sudah dimanjakan, tak heran kini aku diserang kantuk yang sangat. Aku terlelap tidur. Sesekali setengah sadarku melihat penumpang masih bersliweran pergi ke gerbong belakang. Jangan tanya kalau masalah pedagang, yang satu ini sudah biasa ‘mengganggu’ para penumpang.

Ibu, sungguh aku tak kuasa menahan kantuk ini. Laju kereta semakin jelas terdengar di setengah sadarku. Alunan Nazril pun kini sudah aku kecilkan volumenya. Aku dijajah kantuk. Ke kiri ke kanan dan bahkan sempat terjatuh dari tidurku terbawa arus runduk. Tiba-tiba aku terhenyak bangun setelah kurasakan kepalan tangan menyenggol isi saku sweaterku. Aku terbangun! Kuyakin mataku masih merah. Tidurku belum sempurna. Kini aku jamin, aku tidak akan bisa tidur lagi. Tangan siapakah itu…?

Sesaat setelah aku terbangun, masih setengah sadar, si empunya tangan langsung menariknya ke tempat semula. Dia langsung berdiri. Orang itu kini kaget sekaget-kagetnya. Aku pun gemetar. Kini aku merasa berada di tempat yang asing. Bukan kereta Kahuripan yang aku kenal. Orang itu masih berdiri, tambah cuek. Dengan tinggi hampir mengenai atap gerbong sambungan, semakin kentara orang itu tinggi besar, sekitar 175cm. Umurnya aku bisa pastikan kelahiran antara tahun 82 atau 83-an.

Gemetar tubuhku tak bisa kuhentikan. Namun gerakan kereta secara sempurna menyembunyikan grogiku. Orang itu ternyata penumpang yang sedari tadi duduk di atas tasnya. Aku tak berani melihat ke arah wajahnya. Kulihat sekelilingku, ternyata para penumpang lain juga melihat ke arahku. Entah melihat apa. Tapi aku bisa pastikan mereka juga melihat tangan si Tinggi masuk ke saku sweaterku. Kupikir mereka adalah teman-temannya. Aku masih didera gemetar. Takut. Kulihat jam di tanganku. Waktu menunjukkan pukul 22.15. Ternyata baru sekitar dua jam aku berada di dalam kereta. Aku sudah tak ‘paham’ aku berada di mana. Ini bukan ‘teman karibku’. Ini bukan Kahuripan yang aku kenal.  

Setelah mengedipkan beberapa kali pandanganku, kuatur ritme gemetar tubuh ke arah tenang. Aku mulai berani melihat wajahnya. Dia memakai sweater hoody persis seperti tentara Rusia yang kedinginan ketika berperang di salju. Jaket tebal. Tangannya masih dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Aku tetap lurus sinis memandangi wajahnya. Setelah akhirnya ia duduk, kucolek lututnya. Sontak ia kaget. Matanya yang besar melihatku cemas. Entahlah aku menjadi berani seperti ini, hanya saja aku yakin pandangan mataku lebih tajam dari padanya.

"Turun dimana, mas?" Tanyaku tegas sambil mengangkat kepalaku.

"di Ciamis, mas…" jawabnya.

"Oh, urang Sunda?" Lanjutku tambah sinis. Sambil menarik ingusku, kubertingkah layaknya seorang junkies. Ah tidak ada yang tahu aku mahasiswa S2 UGM yang sedang menyusun tesis.

"Iya…" jawabnya singkat.

"Urang Ciamis asli, euy?/ Asli dari Ciamis, yak?  Sudah kurubah bahasaku, memang sedikit kurang sopan untuk orang yang baru dikenal.

"Henteu. Asli Kuningan." Jawabnya masih sopan. Masih diambang cemas dan takut.

"Geus timana ari sia?" / Lu dah dari mana?Kali ini benar-benar tidak sopan. Aku mulai berani.

 "Klaten, mas."

"SING HADE HIRUP, BEUL!!" / YANG BENER LU HIDUP!! Mataku lurus tajam memandang ke arahnya. Kini dia tersenyum, tersipu…aku masih sinis. Memberi sedikit saran layaknya orang tua membentak anaknya.

"Sia geus kawin?" / Lu udah nikah?sampailah bahasa sundaku memasuki bahasa terminal, begitu kasar.

"Tos…boga anak 1 awewe. Umur 4 taun / udah...punya anak 1 cewe, umur 4 tahun."

Ibu, kalaulah aku bisa menggambarkan wajahnya yang begitu polos, setengah merunduk, rasanya sungguh sangat tidak wajar aku ‘menghajar’nya. Lagi pula aku tidak berani kalau menghajar wajahnya.

"Gawe naon di Klaten? / ngapain di Klaten?"

"Tukang Kredit …geus 7 tahun.."

Setelah sekian lama aku interogasi dan pembicaraan kami mulai sedikit membuat masing-masing kami tenang, kini aku berbisik kearah kupingnya.

"Tadi lengeun sia keur naon na saku aing??!" /tadi tangan luw ngapain di saku gw? Tanyaku kembali menaikkan atmosfir.

"Henteu, tadi roko urang murag kadinya…" / Engga, tadi rokok saya jatuh ke sana. Jawabnya langsung tanpa pikir. Mungkin selama berdiri tadi ia berpikir keras untuk sebuah alasan. Tak kuhiraukan jawabannya. Sempat ia menawarkan minuman coca-cola, apalagi itu. Kuabaikan. Kini aku berani untuk tidur pulas setelah mengatakan: "Gue pernah ribut sama tukang dagang gara-gara sendalnya ngotorin celana gw!" setidaknya ucapan ini menguatkan aku, membuatku berasa seperti jagoan. Menekankan bahwa aku penghuni sejati Kahuripan. Ini keretaku, teman karibku.  

Malam terus berlanjut, kini kereta sudah sampai Ciamis, si Tinggi turun dengan senyuman sinis, aku tak paham... dan tidak ingin paham.

Api Berdua

Malam itu, tanggal 13 Juni 2011, aku membulatkan tekad untuk kembali ke Yogyakarta dari Garut demi menyelesaikan ujian-ujian tulis yang berceceran di hari-hari terakhir bulan Juni. Kalaulah hanya mengumpulkan makalah, mana mau aku pergi ke Yogya. Tapi... sekarang ini mau tak mau aku harus ke Yogya.

Udara kota Garut begitu dingin menyumsum. Apalagi di sini, kawan, tepatnya di stasiun Leles. Pukul 21.30 dinginnya semakin menjadi. Daerah ini di kelilingi pegunungan. Aku gelap akan nama gunung-gunungnya segelap ruang tunggu stasiun ini. Yang dari waktu ke waktu, tidak ada perubahan, tetap tidak ada penerangan. Tapi sebentar lagi, dalam kereta yang aku tunggu ini, walaupun kereta Ekonomi, penerangan cukup lumayan. Tiap gerbong sudah terpasang lampu-lampu.

Yang ditunggu pun akhirnya datang. Sorot cahaya lampu Kahuripan mulai menyapa stasiun kecil kami. Seperti biasa, tidak ada pintu kereta yang dibuka. Penumpang yang di dalam sudah keenakan duduk berdesakan di dekat pintu. Tidak akan ada yang ‘berani’ membukanya sampai petugas stasiun berseragam rapih dengan membawa lampu senter datang menyorot muka-muka arogan mereka.

“Buka woy!” hanya dengan teriakan petugas seperti itu, pintu pun akhirnya terbuka. Kami pun satu persatu masuk ke dalam kereta, tentunya sudah melewati ruang paling bau sedunia. The toilet!! Aku langsung duduk lesehan di samping kursi nenek-nenek. Setidaknya aku merasa lega kalau duduk di samping nenek-nenek. Ia tidak akan banyak bertanya atau pun bercerita. Nenek itu berada di samping kananku. Tapi sungguh aku tidak memperhatikan kalau di depan kiriku duduk dua orang gadis asal Bandung yang menurutku: mau tidak mau mereka harus memperhatikanku. Seorang pemuda aneh yang sedari tadi sibuk sendiri mengoleskan minyak angin aromatherapy-nya ke leher, perut, tangan dan kaki. Aku pasang headset Mp3 memilih lagu. Kereta pun sedari 5 menit yang lalu meninggalkan stasiun Leles.

 “Gerbong paling belakang sudah dibuka! Hayoo…sudah dibuka…sudah dibuka…!!” teriak para pedagang memberikan kabar gembira bagi kami yang duduk di lorong-lorong.

Sudah biasa pengumuman seperti itu dan aku pun tak pernah menggubrisnya. Aku tidak begitu tertarik untuk pindah ke sana. Motto naik keretaku: Sekali duduk, duduk di situ terus sampai turun. Begitu mantap ternyata mottoku. Saking mantapnya ketika saku sweaterku diraba copet tempo hari itu, bukannya pindah, lebih baik ada darah dari pada harus kalah. Tapi motto itu tidak mantap, teman…aku malu dipandangi terus-terusan dua orang gadis itu. Akhirnya aku ikuti saran para pedagang. Aku harus melewati tiga gerbong agar sampai ke gerbong kosong paling belakang. Baru kali ini aku melewati para penumpang dan bergumam: “Permisi pak, permisi bu, maaf mba, maaf mas…” aku harus ramah. Masa iya harus marah. Akhirnya gerbong belakang pun kelihatan.

Mulut pintunya gelap bak tak ada kehidupan. Sang pedagang yang berjaga di depan gerbong itu mulai menyalakan lampu senternya. Tidak seperti lampu senter yang dibawa petugas stasiun Leles tadi. Ini lebih kecil. Tangan kirinya membawa tumpukan koran.

Ayo mas sini…masih kosong, kok. Ini korannya buat tidur. 1000-an.” Ternyata aku kalah ramah sama dia. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak membeli kertas-kertas koran itu. Aku lurus langsung masuk ke dalam gerbong buangan ini. Gerbong gelap tanpa penerangan, seperti ruang tunggu stasiunku. Namun lebih kelam ini. Bagai lembah kegelapan, jurang kenistaan….Aneh, bisikan buruk seperti itu terus ada dalam pikiranku. Tapi lama kelamaan pikiran itu hilang tepat setelah aku duduk bersender ke pinggiran gerbong.

Tidak ada kursi satu pun di gerbong ini. Ada puluhan orang bergeletakan seperti korban perang tidur di atas koran seribuan. Aku memilih duduk di sini. Di sampingku pak tua berpeci putih. Menurutku, di kegelapan manapun, carilah penerangan sesegera mungkin. Kini aku yakin dengan peci putihnya, tidak hanya mataku yang dapat 'penerangan', harapan hati ini pun akan tercerahkan…tapi, peci tinggallah peci...ketika tengah malam, datang seorang pemuda dengan gadis 21 tahunan yang wangi parfumnya seperti campuran antara parfum murah dan paling murahan. Sungguh amat sangat memuakkan. Menusuk hidungku. Terlebih mereka menghampiri ke arahku.

Semua orang tertidur lelap. Aku dapat pastikan itu. Aku juga sebetulnya sudah diambang lelapku. Namun segera aku tersadar setelah tusukan wangi parfum gadis itu menghampiriku. Alunan laguku masih terdengar di headset. Tapi mata ini, kucoba meyakinkan diri ini dan semoga kalian pun merasa teryakinkan, aku tidak salah melihat hal ini. Sungguh aku tidak sedang bermimpi. Gadis itu duduk menghampiri bapak berpeci putih itu. Setelah berbicara sekian menit dan memberikan entahlah kepada sang pemuda yang mengantarnya. Gadis itu akhirnya tidur dengan bapak tadi. Aku tidak bisa melihatnya. Mataku tertutup punggung bapak "haji" itu.

Aku penasaran apa yang sedang mereka lakukan. Kubuka headsetku dengan perlahan. Laju kereta seketika keras menghalau pendengaranku. Volume mp3-ku ternyata memang terlalu keras. Akhirnya malam itu sangat sunyi terkecuali suara gilasan kereta di atas rel yang sangat berirama.

Suara genit gadis tadi mulai terdengar. Sesaat setelah tangan bapak busuk itu bergerak, pasti suara pelan genit gadis itu muncul. Entah apa yang mereka lakukan. Aku hanya berdo'a semoga kereta ini selamat sampai tujuan. Dan kalaulah aku harus binasa dalam kereta ini, maka janganlah Tuhanku membinasakanku gara-gara ulah bapak tua dan gadis kampungan ini. Kupasang kembali headsetku dan kubalikkan badanku ke arah lainnya. Aku mencium bau ketek dari bapak-bapak yang wajahnya ditutupi topi. Namun, aku lebih 'nyaman' dengan bau ketek bapak ini ketimbang wangi parfum norak gadis tadi. Kupaksakan tidur dan aku pun terlelap dalam kegelapan mata dan dunia.


 

Bodo Amat Pangkal Nikmat

Jum'at 5 November kemaren, gue sedikit Senen. Pasalnya kampus gue yang di Jogja libur. Pigimana tidak, Merapi udah kaga mau diajak kompromi lagi. Setelah 'kesepakatan' warga ditolak sang Gunung, warga mengungsi ke daerah yang tidak terjamah segala perabotan yang disemburkan sang Gunung pas lagi sensi itu. Termasuk warganya mengungsi ke kampus ini. Syukurlah, kampus gue aga gedean. Sang pembuat kebijakan pun mengeluarkan kebijakan terbarunya: Kampus diliburkan selama seminggu.

Langsung cabut, gue ajak temen kelas, Yudi namanya, ke stasiun untuk langsung keluar dari Jogja. Dengan keyakinan 100%, kali ini gue akan sembunyi ke tempat yang tidak terlihat Merapi barang sedikit pun, gue akan ke Garut, Jawa Barat sekitaran 300 km jauhnya dari kota gudeg. Garut, kampung halaman gue, rumah dengan orang-orang yang paling ramah seluruh dunia, yaa, setidaknya menurut pengamatan pribadi gue (sampai paragraf ini ditulis).

Bedeeuuhh...stasiun Lempuyangan penuh. Tak usah ditebak kenapa stasiun ini penuh. Gue langsung pesen tiket KA ke Bandung, kebetulan lewat Garut, sih. Tapi, umm... boleh deh ditebak kenapa stasiunnya penuh: Tuuh kaan tebakan loe semua bener, yaa karena mereka juga pengen bermaen 'petak umpet' sama sang Gunung. Ada yang ngumpet ke Solo, Jakarta, Bandung, Surabaya, pokoknya yang ga ketauan sama Merapi.

Setelah menunggu beberapa jam, kereta Kahuripan dari arah Timur dateng. Dari Kediri tujuan Bandung. Semua penumpang bergegas masuk kereta, padahal petak umpet belum dimulai. Mereka berlarian, buru-buru sekali. Kalau gw tenang siiih, karena sekarang gw sudah di dalem kereta. Kalau tadi pas lagi cerita orang-orang bergegas masuk kereta, gue sangat buru-buru sekali. Minal Aidzin...hehe fyuuhh...dapet tempat duduk juga akhirnya tapi Yudi engga....gue kasih deh tempat duduk gue.

Ada pemandangan yang ganjil. Gue lihat ke belakang tempat duduk kita, ada ibu-ibu tidur dengan mata terbuka dan mulut senyum. Kedip, matanya berkedip. Melihat gue. Ternyata gue salah duga. Dia ga tidur. Dia tiduran di kursi yang harusnya tu kursi buat 2 orang..."maaf bu, boleh saya duduk di sini...?" pinta gue sambil nyosor. "Oowwhh, maaf yak, saya udah pesen untuk 2 kursi kok..." jawab si Ibu senyum. Dua kursi?? kaya banget dia. Kenapa ga sekalian pesen satu gerbong aja? biar bisa pindah-pindah tidur meleknya....dalam hati gue terus kesal, suudzon.

Ni pengalaman kedua gue naek KA Ekonomi. Kayanya semua orang yang naek KA Ekonomi hampir sama deh sifatnya. Rakus. Termasuk gue. Motto yang mereka anut hampir sama: Bodo Amat pangkal Nikmat. Mereka cuek aja tidur dalam 1 kursi tanpa menghiraukan yang berdiri. Satpam juga kemana ni, ah?!! Padahal ada kesamaan antara penumpang 1 dan yang lainnya: sama-sama kere' alias ga punya duit. Kok ada yak ibu yang seperti ini? Bagaimana kalau nanti ada anaknya? Atau siapalah yang 'diginiin' sama orang lain. Diginiin tuh dianiaya terselubung. Gue berdiri bukan untuk 1 ato 2 jam. Tapi 10 jam, brother mother pakdee budeee! Jogja - Garut. Kereta ini akan berhenti di belasan stasiun sepanjang Jogja - Bandung. Jadi pengen tau si ibu mau ke mana. Ko wataknya gini-gini amat...stok orang kaya gini, di Garut sudah punah semenjak zaman dinosaurus...

Tak lama Petugas Tiket datang. Memeriksa tiket. Tak putus asa agar gue bisa duduk. Jangan mentang-mentang ibu itu naek lebih dulu dari kota sebelum Jogja, dia bisa seenaknya berprilaku aneh di KA Umat ini. Gue sedikit berbisik ke petugasnya: "Pak, mohon ibu yang ini ditertibkan, dong..." dan selang beberapa detik, akhirnyaaa...taraaattt, yipiiee, syakalakabumbum gue duduk!! Muka si ibu yang tadinya mesam mesem senyum, sekarang cemberut. Semoga gue ga sedang menyiksa ibu-ibu yang sedang 'tidur'. Toh dia masih duduk, kan?. Berhubung gue orangnya suka ngobrol, suka sekali, gue bertanya sesuatu yang sangat mewakili rasa penasaran gue, "Si ibu ini teh mau ke mana..?" sembari senyum gue bertanya kepada ibu yang mungkin kesal karena singgasananya dibagi dua bareng gue...." saya turun di stasiun Leles." Jawab si ibu simple...."OOwwhh..." stasiun ini terus ada dalam ingatan gue selama beberapa detik, dan bagai disambar petikemas: Aaaaaarrggg GUE JUGA TURUN DISANAAAAA...!!!


 

Cipendeuy

28 Desember pagi, aku dan temanku sudah bersiap ingin berangkat ke daerah Cibatu, salah satu kecamatan di kota Garut. Ada dua hal memalukan di perjalanan kali ini. Pertama, aku sebagai orang Garut, selama hampir 25 tahun hidup di Garut, aku belum pernah menginjakkan kaki di daerah Garut utara agak ke timur itu. Aku tidak tahu arah ke Cibatu. Hal memalukan ke dua. Nanti di akhir note ini kalian akan mengetahuinya.

Tujuan utama ke Cibatu adalah bertandang ke stasiun yang ketika aku pergi ke Yogyakarta atau pun sebaliknya dari arah Yogya menuju Bandung selalu dan pasti terlewati. Tetapi tidak pernah berhenti di stasiun itu. Padahal stasiun Cibatu tercatat sebagai stasiun terbesar di Garut dibanding dengan stasiun-stasiun lainnya yang ada di Garut. Akan tetapi itu baru dugaanku. Karena setiap kereta yang aku naiki, pasti tidak berhenti. Untuk meyakinkan, benarkah tidak ada kereta yang berhenti/berangkat dari stasiun Cibatu menuju arah timur (Jawa tangah dan Timur)? Kali ini aku akan memastikannya.

Cuaca cukup sejuk pagi tadi. Tidak panas juga tidak mendung. Level yakinku di perjalananku kali ini menurun sesampainya di daerah Wanaraja. Karena pengetahuanku tentang Garut utara hanya sebatas ujung daerah Wanaraja. Selebihnya aku mengikuti papan arah jalan. Kini aku berada di Jl. Raya Cibatu. Jalan lurus nan bagus ini akan berujung di Cibatu. Kalian tidak perlu belok kanan atau kiri untuk menuju Cibatu ternyata. Ikuti jalan raya itu. Dari tempatku ke Wanaraja kira-kira menghabiskan setengah jam perjalanan dan dari Wanaraja menuju Cibatu pun tak jauh berbeda dari itu: setengah jam perjalanan.

Aku sudah berada di Cibatu. Di stasiun Cibatu, aku menanyakan ini itu perihal keberangkatan kereta api dari stasiun yang terletak dekat alun-alun kecamatan ini. Ternyata untuk arah ke Jawa, dan perubahan jadwal yang akhir-akhir ini diterapkan, kereta api ekonomi Kahuripan dan Pasundan berhenti di sini namun sayang sejuta sayang, tiketnya sudah habis terjual.

Setelah membaca beberapa informasi di papan pengumuman stasiun, kutanya kepada penjaga loket berjilbab berwajah jutek namun tetap ramah dalam menjawab, jadi teringat pepatah, jangan melihat buku dari covernya, jangan lihat orang dari luarnya saja. Apakah ada kereta api Bisnis atau Eksekutif yang berhenti di Cibatu? karena memang niatku akan menaiki kereta Bisnis. Alhasil, tidak ada satupun kereta Bisnis atau Eksekutif yang berhenti atau pun berangkat dari stasiun ini. Petunjuk dari si penjaga loket, kita (aku dan temanku) harus ke stasiun Cipendeuy. Aku tahu stasiun itu, tapi di manakah itu? Hatiku bertanya. Setengah jam lagi kata satpam yang berjaga di stasiun.

Tak pikir panjang, meski jauh dan kini aku bertambah malas, aku bergegas menuju stasiun Cipendeuy. Aku ingin tahu letak pasti stasiun kecil namun semua kereta dari ekonomi sampai eksekutif wajib berhenti di stasiun itu. Aku penasaran lokasinya berada di mana. Yang perlu dicatat, Cipendeuy masih Garut.

Dan ternyata petunjuk dari satpam stasiun Cibatu kurang tepat. Lebih dari setengah jam aku berada di atas motor menuju stasiun Cipendeuy. Perjalanan kali ini bercampur aduk antara menyedihkan dan menyenangkan. Menyedihkan karena perjalanan Cibatu - Cipendeuy tidak berlandaskan niat yang kokoh dan menyenangkan karena selain jalannya mulus, gunung-gunung hijau yang seksi tanpa tertutup awan ikhlas mencuci pandanganku. Udara bersih polos pun rela menjadi bagian hirupan napasku.

Keluar dari jalan kecil dan mulus, aku tersadar ketika motor masuk di jalan raya Malangbong. Jalan besar yang wajib dilewati semua kendaraan yang hendak menuju timur dari arah barat. Ini dinamakan jalur selatan. Ini Jl. Raya Malangbong, jalan pinggiran kota Garut ini begitu ramai dilewati bis dan truk-truk besar. Rumah makan dan rumah peristirahatan pun tak luput dari perhatian mataku. Maklum, ini jalur utama menuju Jawa. Tak bisa kubayangkan jalur ini ketika arus mudik. Hari-hari seperti ini pun jalanan begitu ramai.

Setelah satu jam perjalanan dari Cibatu menuju Cipendeuy, kini aku berada di stasiun kecil yang sangat fenomenal ini. Semua penumpang, pedagang, atau pun pegawai kereta api, pasti mengetahui stasiun Cipendeuy. Stasiun ini memiliki peranan penting dalam perjalanan kereta api jalur selatan. Penting karena semua kereta api yang melintas di jalur selatan baik ekonomi dan bahkan sampai eksekutif, wajib berhenti di sini. Bukan karena stasiun ini ramai penumpang, bukan karena stasiun ini berada di lintasan strategis keramaian kota, akan tetapi semua kereta wajib berhenti untuk melakukan pengecekan rutin. Hal ini dilakukan untuk menghindari terulangnya kembali kecelakaan maut yang terjadi pada tahun 1995.

Kecelakaan tragis itu terjadi pada tengah malam, rem kereta gabungan Galuh dan Kahuripan blong sesaat setelah melintas stasiun Cipendeuy ini. Menurut informasi, baik setelah atau pun sebelum stasiun Cipendeuy ini, jalur kereta berada di atas tanjakan dan turunan yang sangat tajam. Melayang tepat di atas jurang yang sangat curam. Korban kecelakaan tahun 1995 bertambah banyak karena penumpang meloncat keluar tanpa menyadari posisi kereta berada di atas jurang yang sangat tinggi. Setelah kejadian itu, kereta yang melintas baik menuju timur atau pun barat, rutin menjalani proses pemeriksaan di stasiun kecil ini. Tak heran, kereta berhenti begitu lama di sini.

Sejauh mata memandang dari stasiun ini, hanya terdapat bukit dan pegunungan.

Aku dan temanku akhirnya mendapatkan tiket bisnis dan rencananya akan naik dari Tasik. Tidak dari Cipendeuy. Kuabadikan stasiun kecil penuh sejarah ini. Kini perjalanan kembali menuju Garut kota akan terasa sangat membosankan, pertama karena satu jam setengah lagi aku akan sampai di Garut kota. Dan kedua papan pengumuman yang kubaca di stasiun Cibatu membuatku muak (malu) dengan diriku sendiri. Papan pengumuman bertuliskan: Pemesanan tiket dapat diproses di Kantor Pos, Indomaret dan Alfamart terdekat....

 

 

 

 

0 comments:

Post a Comment

Back to top