Syahadat Moyan
Daftar Isi:
Syahadat Moyan
Pagi ini terasa dingin. Sangat dingin. Garut
sudah mulai masuk musim kemarau. Maklum, musim seperti ini, malam dan pagi hari
akan terasa sangat dingin, sedang waktu siang akan terasa sangat panas. Dan
seperti biasa, pasokan air akan berkurang. Terbukti, ikan-ikan di kolam pun
sudah diamankan di atas kuali. Kolam kering tak menyisakan air.
Ditemani hangatnya temperatur notebook, sedari tadi saya tak beranjak dari
tempat di mana biasanya cahaya matahari merayap mengeringkan jemuran-jemuran.
Saya sedang di sini, di tempat ini. Menanti belaian hangat sang mentari.
Pantulan cahaya orange di awan sudah mulai
terlihat di ufuk timur kota Garut. Pertanda matahari sudah siap berpatroli.
Sempat berfikir sejenak, sudah berapa hari ia muncul
seperti itu? menghibur langit timur dan menggerawat
ufuk barat. Sudah berapa hari? Mungkin bukan hari? Bulan? Tahun? Abad? Milyaran abad, atau berapa? Entahlah. Kita baru datang
kemarin sore. Bahkan bercengkrama dengan matahari pun
tak kuat berlama-lama. Panas dan pusing rasanya bila berjemur lebih dari dua
jam.
Pastinya suasana seperti ini tidak akan
berkelanjutan terus menerus. Saya berpikir, pasti akan datang satu hari di mana
matahari yang sudah mulai menerobos jendela rumah ini berkata kepada yang
menciptanya:
"Yaa Aziz yaa Jabbar, Engkau
yang telah menciptaku. Engkau pula yang telah mengaturku. Semua planet yang
dikenal manusia bahkan dengan tertib mengelilingiku. Seolah aku adalah pusat
dari segalanya. Berapa milyar orang yang telah
memanfaatkan panasnya suhuku ini? Berapa triliyunan
makhluk di alam semesta ini yang tiap waktu merasakan manfaatnya panasku ini?
Sebagian dari mereka mungkin ada yang tidak tahu bahwasannya
aku adalah yang dicipta. Dan Engkau adalah yang mencipta. Sebagian orang bahkan
ada yang mengagungkan menyembahku, padahal aku sendiri taat dan patuh
menyembah-Mu.
Wahai Allah dzul jalaali wal ikraam,
sekarang dan memang sudah seperti biasanya aku terserah Engkau. Ketika Engkau
menyuruhku untuk berhenti bersinar, jangankan sedetik, sepermili
detik pun aku akan langsung berhenti bersinar. Ketika Engkau menyuruhku untuk
menghancurkan jutaan benda langit termasuk planet hunian makhluk di
sekelilingku ini, segera aku akan menghancurkannya. Semuanya tentu atas
izin-Mu. Kini aku hanya menunggu hari itu ya Allah, hari di mana semuanya akan diluluhlantahkan. Dan izinkanlah aku untuk turut serta
menjadi bala tentara penghancur penutup usia alam semesta ini".
Percakapan seperti itu mungkin ada. Hanya saja
saya tidak tahu persisnya seperti apa.
Dan hari itu pasti terjadi. Hanya saja saya,
kalian dan bahkan para nabi terdahulu pun tidak ada yang tahu kapan waktu
pastinya. Namun hari itu pasti terjadi. Pasti.
Saya pribadi hanya akan taat dan patuh pada
pencipta matahari dan semua benda di alam semesta ini. Saya akan takut dan
tunduk pada-Nya. Tidak mustahil bagi-Nya untuk menghancurkan dunia ini hanya
dalam hitungan detik dengan hanya menugaskan satu makhluk saja seperti matahari
ini, makhluk yang dengan ikhlas memberikan hangatnya ke arah saya ini. Sedari
itu, mudah-mudahan saya, teman-teman, tetangga, kerabat, keluarga, dan kalian
dijadikan umat yang hanya beriman kepada tuhan Muhammad dan Ibrahim,
Allah subhanahu wa ta'ala. Aamiin
Aah, laptop sudah terbuka. Saya mencoba
mengingat tentang apa yang akan saya kerjakan di hangatnya sinaran ini, dengan laptop ini? Saya coba tuliskan beberapa cerita kemarin
tentang sobat yang kepanasan gara-gara istrinya mengatakan "tua itu
pasti, dan ternyata dewasa itu pilihan". ...saya tersenyum dan pasti
matahari itu pun tersenyum.
Moyan (bhs. Sunda) artinya berjemur.
Dewasa: Plagiat
Karya Nabi
Katanya dewasa itu sudah tidak menyusahkan
orang tua. Tidak minta uang lagi dari mereka. Makanya
harus kreatif, pinter, cerdas, cari uang
sebanyak-banyaknya tanpa peduli menyusahkan orang lain atau bahkan negara
sendiri, yang penting tidak menyusahkan orang tua sendiri.
Katanya dewasa itu sudah matang. Mampu
mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya pada orang lain. Berencana
sebanyak-banyaknya, berfikir sematang-matangnya tanpa
peduli apakah keputusan kita merugikan orang lain atau bahkan rakyat banyak.
Yang penting keputusan sendiri, tidak bertanya lagi kepada orang lain.
Katanya dewasa itu dapat memecahkan
masalah. Hebat betul semua solusinya. Jitu tenan
semua usulannya. Tak peduli apakah solusinya untuk jangka pendek atau jangka
panjang. Yang penting masalahnya selesai detik itu juga.
Katanya dewasa itu dapat bertanggung
jawab dengan apa yang kita ucapkan dan apa yang kita perbuat. Serius sekali apa
yang kita ucapkan, bagus sekali apa yang kita lakukan karena takut kalau ucapan
kita buruk, dapat membahayakan diri sendiri atau mungkin jabatan diri sendiri.
Tak peduli ucapan atau perbuatan kita membahayakan orang lain, yang penting
nanti saya "tanggung jawab".
Katanya dewasa itu mampu memberikan
kepastian kepada seseorang yang tengah menunggu, yang terus dan selalu peduli.
Semua barang dipertontonkan, semua orang diyakinkan, dipastikan semuanya akan
baik-baik saja. Tak peduli di satu sisi ada orang yang sudah menunggu lebih
lama dan juga sudah lebih lama peduli dengan kita. Tidak apa-apa lah, toh mereka akan faham,
mereka kan sudah lama.
Katanya dewasa itu tidak egois. Tidak
mementingkan diri sendiri. Dirapihkan semua maksud
dan tujuan agar tidak egois. Orang lain diminta ini, dibantu itu, sampai tak
sadar orang lain dibuat ketergantungan kepada kita. Dan kita pun dengan tidak
egoisnya menyuruh ini memaksakan itu. Tak apalah, yang penting awalnya tidak
egois.
Begitu katanya...
Alangkah indahnya kalau dewasa itu,
1. Tidak
menyusahkan orang tua, orang lain dan negara sekalipun.
Seorang Muhammad tidak berkesempatan hidup lama
dengan orang tuanya, tetapi tidak tercatat sekalipun menyakiti orang tua yang
lain. Pernah sekali datang kepada beliau seorang nenek-nenek memastikan apakah
kelak di syurga ada nenek-nenek atau tidak? Muhammad
menjawab tegas: Tidak ada. Mendengar jawaban itu sang nenek menangis.
Tak membiarkan sang nenek sakit hati lebih lama, nabi menjawab: Semua di syurga tidak ada nenek-nenek namun dengan izin Allah, semua
nenek-nenek akan dikembalikan ke usia muda mereka. Dan nabi
Muhammad pun mendoakannya.
Nabi Muhammad memang serius. Namun bukan
berarti tidak bisa menghibur atau bercanda dengan orang tua. Lepas dari orang
tua bukan berarti lepas untuk mendoakannya. Doakanlah mereka.
Muhammad seorang pedagang, tetapi tidak
tercatat sekalipun menyusahkan orang lain atau para konsumennya kecuali hanya
dengan ucapan dan perbuatan jujurnya. Beliau jujur kalau barangnya akan awet
atau tidak, jujur dengan besar modal dan keuntungannya. Pernah sekali nabi
memberikan nasihat: “Hindarilah banyak bersumpah ketika melakukan
transaksi dagang, sebab itu dapat menghasilkan penjualan yang cepat, lalu
menghapuskan berkah.” Di satu ucapan / perbuatannya
tergambar "tidaklah nabi berdagang kecuali saling menguntungkan kedua
belah pihak".
Muhammad juga seorang kepala negara. Tetapi
tidak tercatat sekalipun beliau menyusahkan negara. Tercatat dalam sejarah,
Nabi diberi waktu dua puluh tiga (23) tahun oleh Allah untuk menjadi pemimpin.
Ketika berhenti menjadi pemimpin karena sudah saatnya, beliau tetap seperti
Muhammad sebelum menjadi pemimpin negara. Tidak kaya raya seperti umumnya para
penguasa. Kalaupun punya warisan, semuanya dihibahkan menjadi wakaf bagi
umatnya/rakyatnya.
2. Mampu mengambil keputusan sendiri dan juga
sering-sering bertanya pada diri sendiri ataupun orang lain apakah keputusan
ini akan menyakiti orang lain atau tidak.
Pernah mendengar kisah kisruh posisi hajar aswad? antara beberapa suku yang mengklaim bahwa hajar aswad adalah milik mereka masing-masing? Datanglah pemuda al-Amin bertanya ke suku ini, ke suku itu, memastikan tidak
akan ada yang tersakiti atau tersinggung. Akhirnya pemuda itu menyimpan hajar aswad di kain yang digelar dan setiap perwakilan dari tiap
suku diminta untuk memegang ujung kain hingga akhirnya mereka memboyongnya ke
tiap sudut dari tempat mereka masing-masing sampai akhirnya hajar aswad diletakan di tempat semula.
Bukan di tempat salah satu suku.
Semuanya menerima. Lega. Tidak ada yang
tersakiti. Dan untuk jangka waktu yang lama, tidak pernah sampai detik sekarang
terdengar hajar aswad akan dipugar kembali.
3. Mampu memprioritaskan mana yang lebih dahulu
berurusan dengan kita bukan mendahulukan urusan atau kesukaan kita.
Ada juga kisah tentang kehidupan Muhammad
dengan istri-istrinya. Tahukah kalian bahwa dari sembilan istrinya yang paling
cantik nan muda hanya satu orang? yaitu siti Aisyah?
Normalnya naluri lelaki akan senantiasa mendekat pada yang lebih muda dan
cantik. Tidak demikian dengan Muhammad. Semuanya diperhatikan, diperlakukan
penuh kasih dan sayang yang sama. Saking baik dan jujurnya Muhammad, semua
istri tuanya mempersilahkan dengan ikhlas bagi
Muhammad untuk sering bermalam dengan Aisyah. Perempuan cantik dan muda
dikhawatirkan akan selalu dihinggapi rasa cemburu, begitulah pikir para istri tuanya.
Dan memang sangat layak bila Aisyah mencemburui seorang Muhammad.
Bukan itu yang ingin saya sampaikan di catatan
ini, dari sembilan orang istrinya, ternyata Muhammad tidak pilih kasih atau menomorduakan yang lain demi kesukaan dirinya sendiri.
4. Mampu selaras antara ucapan, perbuatan dan
tanggung jawabnya.
Tanggung jawab untuk ucapan dan perbuatannya
sendiri bukan ucapan/perbuatan orang lain. Sebagai pemimpin negara, pemuka
agama dan panglima perang, contoh berikut ini mungkin akan menambah wawasan
kita. Pernahkah kalian mendengar istilah mubahalah?
Mubahalah adalah dua pihak yang saling memohon dan berdoa kepada Allah
supaya Allah melaknat dan membinasakan pihak yang batil atau menyalahi pihak
yang benar. Dikisahkan Muhammad bermubahalah dengan
kaum Nasrani, mereka adalah rakyat negara nabi, sekaligus tetangganya dan
sekaligus juga -kala itu- lawan perang nabi. Singkat kisah, mubahalah akhirnya dimenangkan pihak
Muhammad.
Dengan tidak egois, tidak arogan dan tidak
penuh murka, nabi Muhammad memberikan pilihan untuk keselamatan hidup mereka
karena kekalahan dari mubahalah mereka.
Apakah mereka mau masuk Islam? Mau diperangi? atau membayar jizyah (pajak)? Mereka tidak dipaksa masuk
Islam dan apalagi serta merta diperangi. Akhirnya
mereka memilih untuk membayar pajak. Akhirnya, keselematan
hidup mereka pun dijamin nabi. Tidak boleh ada yang memerangi kaum Nasrani dan
tercatat Nabi hidup rukun dengan tetangga-tetangga yang non-Muslim
bahkan kaum Muslim bebas bermuamalah (bersosialisasi)
dengan non-Muslim.
Itulah tanggung jawab seorang pemimpin, pemuka
agama dan panglima perang yang tidak mengedepankan egoisme dan bahkan
memberikan ketenangan bagi pihak yang lain.
Dewasa itu tidak sulit. Juga tidak mudah.
Bukankah menjiplak atau plagiat itu paling mudah? Jiplaklah Muhammad. Plagiat
semua ucapan dan perilakunya.
Saya jadi teringat akan cerita lucu sahabat
kecil saya yang tentunya belum dewasa. Ia enak betul menunjuk orang ini salah
dan orang itu benar. Laki-laki ini baik, dan perempuan itu jahat. Ah, dasar masih
kecil. Mudah-mudahan ia akan dewasa dengan segenap apa yang ia tengah pelajari.
Bermain Belajar
Usianya kini akan menginjak enam (6) tahun.
Sebentar lagi ingin masuk SD, katanya. Sering memperhatikanku yang tak jauh
dari mengotak-atik, klak-klik komputer, di usianya
kini yang masih TK, tak heran ia mampu mengoperasikan komputer yang mungkin
tidak semua orang dewasa mampu melakukannya. Dari mulai menyalakan komputer,
berselancar di dunia maya, sampai mendownload file-file video kesukaannya sudah tidak perlu diajarkan
lagi. Walaupun sebetulnya ia belum bisa membaca. Ia memanfaatkan tombol riwayat dan
tautan-tautan lainnya. Sejauh ini aku tidak terlalu khawatir akan konten-konten yang tidak pantas untuk anak kecil. Aku lebih
tahu tentang hal itu.
Imajinasi menurutku hal paling penting dalam
kehidupannya dan kehidupanku. Semenjak bayi sampai sekarang, ia sering berada
di rumahku. Dari situlah kita kenal. Aku ingin terus menemaninya bersama-sama
berbagi cara untuk terus meningkatkan daya imajinasi kita. Dan menurutku, media
komputer sudah lebih dari cukup untuk mengasah tingkat imajinasinya.
Mempertontonkan bagaimana caranya menggambar, bagaimana caranya mendengarkan
lagu Burung Kutilang kesukaannya, menonton video Ultraman Nexius yang
sudah didownloadnya atau masuk
markas besarnya Friv.com untuk bermain ratusan game online adalah aktivitas kesehariaanya.
Tentu diselingi rasa kesalnya akan waktu-waktu tertentu mengapa komputernya
harus adzan sendiri?, mengapa video yang sedang
ditontonnya harus terganggu dengan aplikasi sholat?
Mengapa tiap-tiap waktu tertentu Burung Kutilangnya harus hilang
diganti murotal al-Qur'an. Itu komputerku. Aku yang menyetingnya. Berawal dari rasa kesal itu, urusan kita pun
menjadi panjang. Untuk jangka panjang.
***
Satu malam, ia menginap di rumahku. Setelah
bosan menonton video-video, dia mulai bercerita. Aku sebenarnya yang
mengajaknya bercerita terlebih dahulu sebelum ia tidur. Seperti biasanya,
seolah hanya cerita itu yang ia punya, ia menceritakan kembali ulah teman-teman
di sekolahnya yang menurutnya sangat kriminil. Waduh.
Sebut saja namanya Jizay.
Jizay memang tidak baik, menurutnya. Aku sendiri bahkan tidak tahu
bagaimana cara membedakan mana yang baik dan jahat dalam hal ini. Tapi sedikit
yang aku bisa membaca dari cerita-ceritanya, siapapun
seseorang yang mampu membuat anak lain menangis, dialah yang jahat. Sedang di
TK, anak kecil yang masih ditunggu ibu-ibu mereka, menganut keyakinan yang
sama, yakni bisa menangis kapanpun, di manapun, tanpa
sebab apapun, dan apalagi kalau sering berinteraksi dengan teman-teman yang
sebetulnya menganut keyakinan yang sama itu. Sampai sini, orang tua sebaiknya
tidak boleh memihak untuk menentukan mana yang baik dan yang jahat.
Tapi Jizay,
menurutnya tidak pernah menangis. Justru ia yang kerap membuat anak-anak lain
menangis. Tadi siang juga, Sonia menangis karena dipukul
Jizay. Jizay jahat,
tuturnya. Aku tersenyum dan sejujurnya sedikit mulai khawatir. Aku ingin
menawarkan beberapa pilihan menarik untuk ikut nimbrung dalam memori
ingatannya, dibandingkan hanya cerita Jizay dan
ulahnya itu. Aku mengambil pulpen dan secarik kertas.
"Tolong gambarkan Jizay
dan Sonia untuk Aa?" pintaku sambil tiduran. Dengan percaya diri dan senang hati ia
menggambar Jizay beserta Sonia.
Seadanya tentunya. Tapi aku bukan ingin menilai
gambarnya. Aku hanya ingin tahu seberapa jauh ia mengingat sosok Jizay dan Sonia.
Dan tahukah kalian? Walapun
tidak keruan pola garis gambarnya, satu yang membuat aku tersenyum adalah
ketika ia menggambar bagian bawah mata Jizay. Ia
menggambar satu titik hitam yang sangat kentara.
"Ini apa? ko ada
item di bawah mata Jizay?" tanyaku penasaran.
"Itu tahi lalatnya, gede banget, A." Aku terdiam.
"Lantas mengapa Sonia
kok kecil? Jizaynya gede banget?" sambungku masih penasaran.
"Ih, A. Si Jizay
tuh badannya tinggi." Aku mengerutkan kening
dan tersenyum.
Sejauh ini, sebetulnya dia tidak merasa benci
pada Jizay. Terbukti dari besarnya perhatian yang ia
gambarkan tentang sosok 'teman jahat'nya itu. Lantas
aku pun meminta izin untuk ikut menggambar di antara Jizay
dan Sonia. Aku menggambar Ultraman Nexius kesukaannya dengan gambar yang jauh
lebih raksasa daripada teman-temannya itu. Ia pun tertawa terbahak girang bukan
kepalang mengetahui aku menggambar tokoh idamannya dan menambahkan helm pada
kedua temannya. Seolah mereka bersama-sama menjadi pasukan yang ingin menyelamatkan
bumi.
Belum selesai aku menggambar, ia tak
sabar ingin mengoreksi "mengapa Ultramannya
ada rambutnya?" tanyanya.
Wajar kalau ia bertanya. Tokoh favoritnya dirusak tak keruan olehku. Aku menggambarkannya mempunyai
rambut keriting sama dengan rambutnya. Aku pun menyelesaikannya.
"Ultraman ini
kamu, Dik." Ia pun senang bukan main. Senang
sekali.
"Terus mana monsternya?" akhirnya imajinasinya mulai sama dengan imajinasiku.
Aku menggambar objek yang tidak jelas wujudnya
seperti apa, namun aku hanya menuliskan kata "S-Y-E-T-A-N"
pada objek tersebut. Ia penasaran monster apa itu. Semua monster disebutnya.
Monster karet? Monster api? Monster buaya? Monster landak? Monster naga? Aku
tertawa sambil menggelengkan kepala menandakan 'bukan' dan aku hanya diam tak perlu
menjawab.
Akhirnya, ia pun harus puas dengan gambar
tersebut walau dengan monster tanpa nama. Tapi ia masih tetap senang dengan
gambar itu. Besok ia akan bawa ke sekolah, katanya. Mungkin baginya ada Jizay, Sonia, dan dirinya dalam
gambar itu sudahlah cukup. Sedang bagiku, setidaknya ia tahu ada sosok yang
harus dilawannya. Bukan Jizay dan ataupun teman
lainnya. Ada objek yang ia tidak tahu itu monster apa namun tetap harus
dilawannya. Untuk saat ini, ia hanya tahu huruf-hurufnya saja.
Ini untuk jangka panjang. Panjang
urusannya.
Ia sudah tertidur. Aku pun mulai mengantuk. Dan
oh, aku teringat, aku belum shalat Isya.
Sidak Waktu
Berduaan
Pernahkah kalian mendapati orang shalat terjatuh karena ia tertidur? Saya pernah.
Pernahkah kalian mendapati orang shalat tidak bangun dari sujudnya di saat semua orang sudah
berganti rakaat? Saya pernah.
Pernahkah kalian mendapati orang shalat tidak kunjung salam karena ia tertidur di saat semua
jama'ah sudah mengucapkan salam dan wirid?? Saya
pernah.
Dan pernahkah kalian mendapati hadits tentang larangan shalat
dalam keadaan mengantuk?? saya dapatkan:
Jikalau kamu sedang mengantuk, dan ingin
melaksanakan shalat, maka tidurlah dahulu sampai
hilang kantuknya. Karena jika seseorang shalat dalam
keadaan sangat mengantuk, (dikhawatirkan) ia tidak sadar jikalau ia
meminta ampunan (istighfar) tetapi memaki-maki
dirinya. HR. Bukhari Muslim
Ternyata tidak hanya tertera di papan
informasi sepanjang tol: "Kalau Anda Mengantuk Hendaklah Istirahat".
Dalam hal shalat pun dianjurkan untuk tidur terlebih
dulu kalau kondisinya mengantuk.
Tidak bermaksud menyamakan antara jalur
tol dan alur shalat, akan tetapi kalau kantuk dapat
menyebabkan manusia celaka di jalan tol, tak salah juga -dengan melihat
penjelasan hadits di atas- ketika shalat
dalam keadaan mengantuk pun seseorang dapat celaka.
Bagaimana tidak, shalat
adalah media satu-satunya manusia untuk 'bercengkrama'
dengan sang khaliq. Dalam shalat,
kalian curhat dengan Allah sang maha Mendengar dan
sang maha Mengabulkan. Bayangkan kalian hanya punya satu media untuk berduaan
dengan Allah di dunia ini. Waktu shalat! Kalau shalat kalian tidak benar, segala aktivitas kalian pun
-saya jamin- tidak akan benar. Karena hadiah yang ditawarkan Allah dalam Qur'an tidak akan pernah salah: Shalat adalah
penangkal dari kejahatan yang keji dan kemunkaran
yang durjana.
“…aqimush sholah, innash sholata tanha ‘anil fahsya iwal
munkar” | ... dirikanlah sholat, sesungguhnya sholat itu
mencegah perbuatan keji dan munkar”. (Q.S. Al-Ankabut: 45)
Selama kalian mengantuk dalam shalat, selama itu pula kalian tidak akan pernah tersadar
dalam segala aktivitas. Selama kalian tidak khusyu
dalam shalat, selama itu pula kalian tidak
sungguh-sungguh menjalani aktivitas kalian.
Katanya shalat tapi
kok korupsi,
katanya shalat tapi
kok maling,
katanya shalat tapi
kok mengumpat,
katanya shalat tapi
kok munafik.
katanya shalat tapi
kok tidak tercegah dari perbuatan keji dan munkar.
KATANYA SHALAT
TAPI KOK TIDUR...
De Javu
Entah mengapa, akhir-akhir ini saya senang
sekali mengungkit masa-masa pesantren. Bukan masa-masa kuliah di Jakarta, atau
masa-masa kuliah di Yogyakarta yang alhamdulillah
baru kemarin sudah terselesaikan. Saya merasakan seperti ada ‘ruang kosong’
pernah tertinggal ketika hati dan pikiran yang kian kemari kian sibuk
menghadapi tantangan hidup. Tak dipungkiri, hidup itu ternyata tidak mudah.
Tapi juga tidak sulit. Ketika satu waktu saya dihadapkan pada permasalahan yang
menurut saya benar-benar pelik selama saya menghadapi persoalan hidup, saya
uring-uringan tersesak memikirkan apa sebenarnya yang kurang dari diri hingga
hampir menyerah menghadapi masalah itu?.
Padahal, persoalan materi alhamdulillah tidak pernah kekurangan.
Kesehatan pun alhamdulillah masih diberikan
ke'afiatan. Begitu juga dengan waktu, alhamdulillah senantiasa diberikan
kelonggaran. Saya tak punya musuh. Justru orang-orang yang mencintai saya silih
berganti mendo'akan untuk kesehatan dan kesukesan saya. Saya bisa rasakan itu. Tapi aneh, mengapa
saat itu, saat masalah yang membuat hidup serasa akan segera tertutup, membuat
langit seperti menularkan sakit, membuat langkah kian tak terarah, membuat
bangun tidur pun serasa ingin berjuang untuk gugur. Berminggu-minggu
seperti itu. Saya simpan semua itu. Sendiri saja.
Tak tinggal diam, saya akhirnya mencoba membuka
referensi dari sumber-sumber selama saya hidup di Yogya.
Baca ilmu ini, telaah ilmu itu, dan bahkan bergaul dengan orang yang
berpengalaman mengarungi hidup. Tapi itu tidak membantu. Hanya sedikit mungkin
yang dapat membantu saya kala itu. Mungkin bukan ilmu di Yogya,
pikir saya.
Saya coba cari dan buka lagi apa yang saya
dapat dari pengalaman hidup di Jakarta. Oh, alih-alih membantu, hati malah
tambah resah dan gelisah. Bila ingat hidup di Jakarta, saya malu. Entah
bagaimana saya mengungkapkannya. Yang jelas saya malu. Bukan malu tentang apa
yang saya dapat dari sisi akademis, ini tentang pengalaman hidup. Tentang ini
dan tentang itu yang sama sekali tidak akan membantu. Sudah lupakan. Sebetulnya
sudah saya tekadkan untuk tidak 'meminta bantuan' lagi pada pengalaman hidup di
Jakarta. Tapi apa daya, masalah hidup ini membuat saya kekurangan stock ilmu dan membuka kembali episode
Jakarta walaupun pada akhirnya itu tidak membantu.
Akhirnya saya mencoba melacak mundur ke arah
hidup selangkah lagi sebelum masa di Jakarta...
Tibalah untuk membuka memori masa-masa
pesantren beberapa tahun silam. Saya coba pertemukan masalah hidup saat ini
dengan masa-masa pesantren. Sebetulnya permasalahan masa-masa pesantren dulu
tidak seberat permasalahan hidup seperti sekarang ini. Tetapi entahlah seolah de Javu, saya seperti pernah
mengalami hal ini sebelumnya.
Saya seperti pernah merasakan pesantren sebagai
mesin waktu yang menjawab tantangan hidup. Pesantren seperti sudah
mempersiapkan ilmu-ilmu yang akan ditemui oleh santrinya di masa yang akan
datang. Masa sekarang. Mungkin, seperti masalah saya sekarang ini. Sebagai
informasi singkat, masalah yang saya hadapi ini termasuk ke dalam galau stadium
empat. Aduhai sungguh sangat mengerikan sekali.
Akhirnya, saya sedikit demi sedikit mulai
mengorek kembali ilmu bahasa Arab untuk memahami al-Qur'an
dan Hadits. Al-Qur'an yang
katanya panduan dari segala panduan hidup. Saya harus bisa memahami secara
lebih dibandingkan orang-orang yang tidak berkesempatan menghabiskan sebagian
masa hidupnya di pesantren. Tentu itu akan berbeda. Dan seharusnya berbeda. Qur’an akan lebih diresapi dan dirasakan 'khasiatnya'
tatkala kita mampu memahami maknanya berbasis keilmuan untuk nantinya sekaligus
juga dapat menjawab persoalan tentang: Untuk apakah kita membaca Qur'an? Untuk pamer suara demi bayaran tertentu? Atau demi
menyelesaikan bacaannya saja? Atau demi memohon keridhaan
Allah? Atau demi memahami kandungannya tentang bagaimana panduan itu digunakan?
Jelas, itu semuanya tergantung apa yang kita miliki.
Kalau kita hanya memiliki ilmu membaca saja,
kita akan ketagihan untuk membacanya saja. Kalau kita
keasyikan melagukannya, kita pun akan menemukan ketertarikannya dari suara
indah yang kita miliki. Begitu juga kalau kita memiliki 'Ulumul Qur'an (ilmu
Qur'an), kita pun akan menemukan rasa ketertarikan
lewat kupasan-kupasan ilmu tentang isi al-Qur'an itu.
Sudah sepantasnya semua ilmu yang berkaitan dengan al-Qur'an
kita kuasai.
Sejauh ini, bukan itu yang ingin saya
sampaikan. Akankah saya menemukan kenikmatan dalam memahami Qur'an
dari sisi ilmu yang pernah saya dapatkan di pesantren dulu? Ilmu yang sempat
hilang, dan kini demi menghadapi masalah ini, demi untuk keluar dari putus asa
menghadapi hidup, demi menunjukkan bahwasannya saya
adalah manusia yang diciptakan dengan sebaik-baiknya penciptaan, saya rela
membuka-buka semua ilmu. Termasuk kali ini membuka ilmu dalam memahami al-Qur'an.
Lantas apa yang terjadi? Apa yang saya lakukan
setelah itu?
Nuansa hidup masa sekarang mau tidak mau saya
atur seperti masa pesantren dulu. Jujur, itu beban baru dan terkesan sangat
sulit untuk dilakukan. Bagaimana tidak, kehidupan santai setelah saya keluar
dari pesantren menjadikan strategi hidup saya berubah drastis dan secara tidak
sadar saya serap menjadi pedoman hidup hingga saat ini.
Namun tak menyerah, saya coba paksakan. Dulu,
saya harus siap untuk membawa al-Qur’an kemana-mana dan membacanya. Sekarang pun demikian.
Setidaknya sehari sekali membaca Qur’an. Tak hanya
itu, saya coba mendengarkan dan membaca sumber-sumber dari folder laptop yang saya beri nama “Siraman Rohani”, seperti
mendengarkan ceramah dan mengkonsumsi nasyid-nasyid, untuk yang terakhir, percaya tidak percaya
dan kalian harus percaya, lagu nasyid/rohani sangat
memberikan aura positif bagi hidup kalian, sebetulnya.
Perlu dicatat, bukan nasyid
lawas tentang shalawatan atau dzikir-dzikir.
Ini modern, nasyid modern. Berisi tentang masalah
kekinian. Tapi sayangnya, itu pun belum cukup memberikan pengaruh bagi masalah
yang saya hadapi. Saya sempat berpikir, jangan-jangan mempertemukan masalah
sekarang dengan ilmu-ilmu pesantren masa dulu, tidaklah cocok. Masak saya harus
meluncur mengupas ilmu yang saya dapat dari SD atau TK?? Itu tidak lucu. Jelas
itu tidak akan membantu.
Sehari, dua hari, tiga hari, saya lakukan
kembali kebiasaan zaman dulu. Sebetulnya saya malu sudah pernah
meninggalkannya. Saya coba biasakan kembali untuk shaum
sunat, merapihkan kembali niatan
dan waktu shalat sekalian meracik bumbu untuk
memancing semangat shalat sunatnya. Saya belajar
untuk mempraktekan apa yang saya pahami dari bacaan Qur’an selama ini. Berbuat baik serta bijak kepada semua
orang yang saya kenal. Walaupun ternyata itu sulit. Sangat sulit. Tidak semua
orang berbalas hal yang sama. Tapi saya tidak memikirkan itu.
Tugas saya hanya melakukan hal yang menurut
saya baik dan bijak lalu lupakan. Berbuat baik dan bijak, lupakan. Dan berbuat
baik juga bijak, tetap saya harus lupakan. Biarlah tabungan
kebaikan itu akan saya tuai secara cash kelak
dalam bentuk kebaikan lagi. Atau mungkin dalam bentuk kesehatan dan
kesejahteraan, atau mungkin dalam tahapan paling puncak: mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Saya serahkan kepada yang memegang semua
catatan baik dan buruk.
Yang penting, saya berbuat sebaik-baiknya. Saya
kembali malu, teringat gunungan dosa yang saya lakukan selama 12 tahun. Bukan
artinya selama saya di pesantren tidak pernah berurusan dengan dosa dan
maksiat. Tapi mudah sekali rasanya masa itu untuk "menghapus" dan
"menyelesaikan"nya. Entahlah, hati yang
dulu begitu yakin kalau seusai berbuat maksiat, sang hati tanpa disuruh
'terpaksa' membersihkannya sendiri dan meyakinkan ke semua anggota tubuh bahwasannya semuanya sudah selesai dan bertekad untuk tidak
mengulanginya lagi. Walaupun tetap terulangi…Ah dasar manusia.
Tapi…lambat laun ternyata usaha itu membuahkan
hasil. Hati yang galau itu sudah mulai berubah. Yang tadinya resah gelisah
perlahan kian melemah, masalah demi masalah pun kian dipermudah, pikiran kian
jernih untuk melakukan berbagai hal…tapi tetap, yang membuat saya mengucapkan
berkali syukur adalah tatkala hati ini kian berseri dalam menghadapi semua
permasalahan hidup, kian tangguh kurang lebih.
Sebetulnya, tanpa saya bercerita sepanjang ini,
saya sudah tahu kalau masalah ini akan terselesaikan dengan ilmu yang pernah
saya dapat dari pesantren dulu. Ilmu agama. Dari mana saya tahu?
Dialah salah satu yang saya kagumi. Yang sudah
berpengalaman lama mengarungi hidup. Seorang profesor yang sudah berumur, dosen
saya di kampus biru, beliau pernah mencurahkan isi hatinya (secara pribadi)
kepada saya:
“Saya sudah banyak baca buku apapun, bisa
dikatakan saya berhasil mengarungi semua ujian hidup hingga saya mendapatkan
apa yang orang lain tidak dapatkan. Tapi aneh, ketika memasuki usia senja, saya
merasakan sesuatu. Sesuatu yang akhirnya saya dapat terjemahkan ke dalam arti ketidakyakinan,…ketidakyakinan
saya akan apa yang saya dapatkan dari semuanya itu: baik dari harta itu, ilmu
itu. Mungkin sebetulnya ada juga yang membuat saya yakin untuk saya bawa
setelah usia senja ini berakhir. Tapi saya rasa itu sedikit. Ilmu yang saya
salurkan kepada masyarakat terlalu sedikit. Terlebih tak jarang saya sering
‘menyakiti’ mereka. Lantas, saya coba gali lagi untuk menguatkan keyakinan
saya. Saya coba baca buku ini dan buku itu lagi sebagai teman saya untuk
menghadapi mati. Namun lagi-lagi, kesemuanya itu tidak membantu. Hingga
akhirnya saya tersadar sendiri akan satu ilmu yang belum (kurang) saya perdalam:
Ilmu agama. Bahkan saya tidak peduli dengan agama saya. Di keluarga saya,
memeluk agama adalah satu kebebasan dalam memilih. Dan sayangnya, saya tidak
tahu betul dengan pilihan saya. Dan alhamdulillah
sampai hari ini, menit ini, saya merasa tenang dengan ilmu itu, saya coba
membuka dan menelaah kitab al-Qur'an ini… bekalan untuk kesempurnaan amal di dunia dan sekaligus
mudah-mudahan menjadi penolong setelah usia yang sebentar lagi akan segera
berakhir ini.”
Rabbanaa taqabbal minna innaka anta
sami’ul ‘alim...
Memoar
0 comments:
Post a Comment