Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Hujan Tua Akhir Tahun

Seorang ibu anak satu dan sedang mengandung anak keduanya kini sedang tersenyum. Rasa sakit yang tiba-tiba datang dari perutnya sudah tidak dirasa. Bulan ini adalah bulan prediksi kelahiran anak keduanya. Tidak ada yang membuatnya bahagia selain menanti kelahiran ini. Dan tentu saja, ditemani anak pertamanya yang kini sedang terpaku melihat keluar jendela, antara bingung atau sedang menikmati rintik hujan di luar sana yang kadang nadanya meninggi terbawa angin. Usia 1 tahun memang terlalu sedikit untuk memahami arti hujan tua di penghujung tahun. Ibunya terus bernyanyi 'tik-tik-tik-bunyi hujan di atas genting', anaknya kadang bertepuk tangan pelan dan tapi ia melanjutkan tatapannya ke luar jendela. Mematung disinari kilat sabung-menyabung.
"Itu hujan, Nak" ibunya mengingatkan.
Anaknya melirik perlahan, tersenyum.
Sore seperti ini, hujan seperti sudah teragenda. Dua bulan terakhir, entahlah, kami sudah berada di musim penghujan. Akhir tahun bukanlah hari spesial. Sambil bernyanyi, ibunya tak lepas menggenggam telpon selular, menunggu kabar suaminya yang sedang berada di luar kota. Ia menuliskan sesuatu di notes handphonenya: 
"Anak kita sudah mengerti tentang hujan, Pah..."
Hujan di luar sana semakin deras, semakin intim bercampur dengan rasa dingin, yang masuk ke dalam ruangan menjelma sebagai kehangatan titipan ilahi, seolah ingin menemani seorang ibu yang kehilangan anak pertamanya.
Sang ibu menyimpan HPnya, berselimut menanti Magrib, matanya menitikkan air mata.

Cinta

Judul yang aneh. Tapi selalu diperbincangkan. Entah untuk orang yang masih hidup, ataupun yang sudah meninggal. Tapi cinta inilah yang sangat pantas dihadirkan dalam setiap kondisi manis ataupun pahit.

Sore ini misalkan, seseorang yang menawan telah kehilangan ayahnya. Ia menangis. Tak tahu harus bagaimana. Tidak sadar bahwa semua ini perihal cinta.
Cinta Tuhan pada hambaNya yang belum pulang. Kini harus dipulangkan. Atau cinta orang tua pada anaknya sekalipun sudah meninggal.
Tapi Sri, belum sepenuhnya mengerti tentang cinta ini. Sudah beberapa hari Sri menangisi kepulangan ayahnya ke haribaan sang Pemilik nyawa. Sri masih memikirkan kondisi terakhir ayahnya.

Malam itu...
Pak Jarot sedang sehat. Ceria sekali romannya. Makannya pun lahap. Ini pertanda baik. Sebelumnya dan bahkan sampai tadi Magrib pun, pak Jarot tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah 4 bulan dia berbaring tak berdaya diasuh kanker ginjal. Malam ini dia begitu bugar. Beberapa anggota keluarga terutama anaknya, Sri, tidak terima dengan kondisi ini. Sehat mendadak dalam sakit parah itu pertanda buruk. Setidaknya itu kabar yang sering ia dengar. Ini seperti kondisi perpisahan.

Dalam pandangan pak Jarot, lain Sri, lain Ramlan. Anak laki-lakinya itu justru senang. Ia dan keluarga kecilnya rela datang dan bermalam di kampung tempat ia dibesarkan, Cirote. Sekadar gosip, istri Ramlan, orang kota, tidak akur dengan pak Jarot. Dahlia dinilai terlalu ekstrim dalam beragama. Ia mengajak Ramlan juga anak-anaknya untuk beragama dengan gaya menegangkan. Suasana malam itu sungguh sangat tidak biasa.

"Kita harus bersyukur Ayah sudah lahap makannya. Sepertinya saya, Dahlia dan anak-anak tidak akan bermalam. Melihat kondisi ayah malam ini, saya sudah tenang". Ucap Ramlan di tengah malam. Anak-anaknya sudah lelap tidur. Biasanya Ramlan akan menggendong dua anak perempuannya ke mobil.

"Iya, Ramlan. Ayah sudah sehat. Dahlia terima kasih, ya". Pak Jarot merespon dengan bahagia.

Sri tidak menanggapi. 

Tumben juga pak Jarot begitu baik pada Dahlia malam itu.
Bagaimana mungkin Pak Jarot akan melarang Ramlan pulang ke kota. Nanti malah terjadi cekcok lagi dengan Dahlia. Dulu pak Jarot pernah berdebat dengan Dahlia tentang cadar yang dipakai Dahlia. Pak Jarot tidak setuju, namun Dahlia punya dalil kuat tentangnya. Pak Jarot mulai sakit-sakitan juga sepertinya karena Dahlia yang selalu memiliki perbedaan dengan tradisi keluarga. Itu sempat disampaikan Sri pada Ramlan. 

Sri selalu bebas berbicara dengan Ramlan. Usia mereka hanya terpaut 2 tahun. Ramlan sudah menikah di usia sangat muda sedang Sri masih betah mengurus pak Jarot. Ibu mereka sudah meninggal saat mereka masih berada di SMP. Pak Jarot tidak ingin menikah lagi. Ia lebih suka mengasuh kedua anaknya sendirian. Memberikan makanan yang layak, pendidikan yang layak dan ajaran agama yang layak. Bagi pak Jarot, agamalah yang paling penting.

Sri masih menangis. Pak Jarot  meninggal jam 3 malam. Sri pun langsung izin ke ayahnya untuk tidur di kamar Sri sendiri. Lelah dengan semua ini. Tidak mau lagi mendengar cerita ayahnya tentang Ramlan dan Dahlia yang bisa jadi membuat pak Jarot terus memikirkan mereka. Jam 3, Sri terbangun sesaat setelah pak Jarot berteriak mendadak. Teriakannya tidak lama. Sri segera berlari ke kamar ayahnya dan menghampiri pak Jarot. Sri terdiam. Ayahnya sudah meninggal. Menangis cukup lama. Ia berdua dengan jenazah pak Jarot. Setelah sekitar setengah jam, Sri langsung mengabari setiap tetangga.

Tidak seperti wanita lainnya yang mungkin akan tak sadarkan diri, Sri terbilang cukup kuat menghadapi kenyataan pahit.

Pagi-pagi warga kampung Cirote sibuk mengurusi jenazah pak Jarot. Tidak sampai siang, jam 9 pagi, pak Jarot sudah dimakamkan. Bahkan Sri juga ikut ke pemakaman.
Kini para pelayat datang ke rumah pak Jarot. Sri masih menangis di kamar. 

Hari berganti. 

Sudah beberapa hari Sri menangisi kepulangan ayahnya ke haribaan sang Pemilik nyawa. Sri masih memikirkan kondisi terakhir ayahnya.

Sebelum Sri masuk ke kamar untuk tidur, pak Jarot memintanya untuk mendengarkan cerita singkatnya. Pertama, pak Jarot sudah bilang kalau ia akan meninggal sebelum Subuh. Sri terdiam. Sesekali ia bilang "Ayah jangan sok tahu" tapi pak Jarot memintanya untuk tetap mendengarkan. Sri tidak terganggu dengan ucapan ayahnya. 4 bulan melihat ayahnya terbaring sakit itu bagi Sri lebih menyakitkan daripada mendengar akan meninggal sebelum Subuh.
Kedua, bahwa kalau pak Jarot meninggal, tolong selesaikan warisan sesuai al-Quran. Warga kampung Cirote tahu benar siapa orang kaya setelah pak kades kalau bukan Jarot bin Somad.

Dan yang ketiga, yang membuat Sri tak bisa tidur, menangis siang dan malam yakni tentang kondisi terakhir ayahnya yang sudah bisa menerima Ramlan dan Dahlia dengan baik justru di saat-saat terakhir ayahnya hidup. Ini tanda dilematis. Apakah ayahnya sudah memaafkan Ramlan, Dahlia dan anak-anaknya yang meninggal dalam kecelakaan mobil satu tahun lalu sampai-sampai ayahnya berhalusinasi berbicara dengan Ramlan, atau memang ini tanda buruk. Ayahnya terus memikirkan Ramlan dan Dahlia yang membuatnya sakit.

Semoga itu satu pertanda baik. Ramlan dan Dahlia sudah memaafkan dari surga sana.

"Allohummagh firlahum war hamhum wa'fuanhum..." 

Semoga Sri mampu memecahkan setiap kode cinta di dunia ini.

Hoer

Menarik memperhatikan orang zaman sekarang. Saat suka dia follow, saat benci dia block. Sederhana, hanya dengan klik jempol.

Itulah yang dilakukan Hoer saat ia suka dengan seseorang. Ia gandrung tak sabar dengan berita tentang fulan. Saat fulan mengatakan sesuatu, ia kutip, share berpuluh kali. Namun, saat fulan satu waktu tidak sesuai dengan keinginan Hoer, karena masalah keyakinan, Hoer langsung memblok dan membuat berita-berita dengan nada kebencian. Benci bercampur rasa benar sendiri menimbulkan hoax adiluhung. Tidak terkalahkan, dan bahkan ia share beratus kali. Mengalahkan rasa sukanya dulu.

Anggi adalah fulan yang disukai Hoer. Saat Anggi tidak berkomentar apapun tentang perjodohan orang tuanya, Hoer mendukung sikap Anggi. Bahwa katanya, perempuan harus bisa memilih pasangannya sendiri. Ini bukan zaman Siti Nurbaya.

Namun saat Anggi menerima pinangan keluarga Jojo, pemuda sesat anak kiyai besar asal kampung sebelah, Hoer langsung benci Anggi dengan sisa darah panas kefanatikan. Ia pernah cinta Anggi dengan sangat fanatik.

Anggi tidak melihat Jojo yang sesat. Ia melihat keluarga besarnya yang sangat terpandang dan memiliki pesantren. Ia juga mendengarkan saran orang tuanya yang tidak mungkin menjerumuskan. Bagi Anggi, keluargalah yang paling penting. Sedang Hoer, rasa benar versi dirinyalah yang paling penting.

"Bagaimana ustad kondisi suami saya?"

"Jangan panggil ustad, Nak. Panggil Abi saja. Kamu sudah menjadi anak Abi dan Umi sekarang. Tentang Jojo?? Sudah hampir sebulan ia beribadah sambil menangis seperti itu. Terlihat sangat berat, tapi Jojo terus beribadah. Ia terlihat tidak mau, tapi entahlah...begitu khusyu' kelihatannya. Kalaupun tidak beribadah di mesjid seperti ini, ia akan sembunyi-sembunyi beribadah di rumah."

"Apa yang sebenarnya terjadi pada Jojo, ustad?"

"Ia sedang bersabar dalam ketaatan, Nak...tenang, suamimu tidak kemana-mana, Aba dan Umi tau betul Jojo sedari kecil"

Jojo, ia semakin asyik dalam kesesatannya. Kebencian terhadap pandangan orang-orang tentangnya membuat dirinya ingin berubah ke arah yang jauh lebih buruk dari sekarang. Arah yang ia tidak sukai karena berlawanan dengan suara hatinya. Ia percaya dirinya sekarang lebih memburuk. Ia merasa sedang tersesat. Orang lain mengatakan ia sedang di jalan yang benar. Katanya, manusia itu sama saja. Hanya berbeda dalam memilih dosa.

Menurut Jojo tentu saja.
Atau mungkin, Jojo sedang tersesat di jalan yang benar.


Manusia Eksperimen

Tahun 70an, para antroplog dan sosiolog bergabung mengadakan sebuah eksperimen. Mengisolasi manusia untuk tinggal di satu rumah mewah yang dilengkapi dengan barang-barang multifungsi menjadi media hiburan. Tempat tidur ditata rapi sekelas hotel bintang 5. Kulkas dipenuhi makanan dan minuman yang hadir dari lorong rahasia yang terhubung ke dapur. Satu hal yang tidak boleh dilakukan adalah berkomunikasi. Saluran telpon diputus, rumah tetangga dikosongkan. Jalan depan rumah diblok. Keluar rumah diperbolehkan hanya untuk melihat kolam belakang rumah dan menghirup udara segar. Rumah dikelilingi benteng tinggi.

Rincian Aktivitas Per-Minggu:

Minggu ke-1, manusia ini hidup biasa, mulai menulis rencana-rencana untuk 5 minggu ke depan. Catatan kecil mulai disiapkan, bahkan ditempel di beberapa pintu sebagai memo pengingat khawatir lupa. Termasuk menulis acara TV favorit. Alat-alat olahraga mulai diuji coba penggunaannya. Alat-alat hiburan diperiksa satu persatu. Luar biasa! Mewah.

Minggu ke-2, manusia ini hidup dengan semangat. Mulai menjalankan beberapa rencananya. Menulis apa yang sudah dilakukan di minggu pertama. Rutinitas siang dan malamnya. Menulis kesan-kesan di rumah mewah. Dan yang tidak lupa dilakukan adalah menonton serial Little House on the Prairie. Sendirian.

Minggu ke-3, manusia ini mulai tidak teratur dalam tidurnya. Beberapa piring kotor ditemukan di ruang TV. Dan anehnya, manusia ini semakin mahir dalam berkomunikasi dengan benda-benda mati. Siapa benda yang tidak meresponnya, maka akan dilempar. Malam-malam mulai terdengar suara piring atau gelas pecah. Lampu kamar tidur terlihat redup nyala, beberapa sudut sudah korslet duluan.

Minggu ke-4, manusia ini mulai menginjak beling-beling yang berserakan di lantai, tak sadar terinjak kaki, berdarah dan sialnya manusia ini merasa lebih kuat saat darah keluar. TV mulai jarang dimatikan. Lagu I Wanna Hold Your Hand dari the Beatle diputar keras-keras.

Minggu ke-5 manusia ini mulai ketagihan melukai diri sendiri (self-injured). Beberapa darah ditemukan di dinding sebagian ruangan. Sesekali melihat lorong rahasia di dapur. Berharap ada obat yang instan dapat menyembuhkan lukanya. Bukan itu harapan sebenarnya. Manusia ini berharap ada orang di ujung lorong rahasia ini.

Di akhir minggu ke-6, para antroplog dan sosiolog akan datang ke rumah tersebut. Mendapati rumah tidak dikunci. Beberapa kertas dengan gambar abstrak bercat warna-warni, bahkan ada yang tercium amis di beberapa gambar. Mereka akan berjalan hati-hati karena banyak beling berserakan. TV sudah tidak pada posisinya. Dan para peneliti akan menuju lorong penting dari eksperimen ini, di dapur. Ternyata manusia percobaan mereka sedang tergeletak di depan lorong dapur yang dikunci otomatis dari luar dapur.

Di tangannya tersimpan kertas yang diremas dalam genggaman. Begitu kuat. Manusia ini sudah tidak bernyawa di malam sebelumnya. Mungkin.

Para peneliti penasaran dengan apa yang ada dalam genggamannya. Dibukalah kertas itu dengan perlahan. Dibacakannya tulisan yang sudah lusuh hasil tangan manusia dalam eksperimen.

"Aku begitu mulia terlahir ke dunia ini menjadi makhluk sosial. Dan aku begitu hina harus mati dalam keadaan tak bersosialisasi. Kalian biadab!"

Para peneliti kebingungan. Satu dengan yang lainnya saling bertatapan. Seperti ada yang disembunyikan.

"Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bukankahkita mengambil sampel manusia percobaan dari rumah sakit jiwa?"

Dibalik kertas tersebut, tertera juga rincian aktivitas dari minggu ke minggu. Ramalan manusia dalam eksperimen benar.


Lumpuh Jaya

Bandung akan menjadi kota baru dalam sejarah hidup. Aku memilih daerah Jatihandap untuk tempat tinggal sementara. Banyak sebetulnya kos-kosan daerah Bandung Timur. Namun, aku mencari tempat yang menyediakan toilet duduk, bukan jongkok. Itu seperti mencari siaran televisi yang bersih gambarnya di daerah Cicaheum ke atas ini. Lumayan sulit. Akhirnya kos-kosan 3 kali 6 meter pun dapat dari aplikasi HP. Harga langit pun akhirnya harus dibayar per-tiga bulan. Tak masalah.

Udara pagi ini sangat sejuk. Selimut yang menjadi musuh tadi malam kini bersahabat, berdamai dengan 16 derajat selsius. Tidak heran hujan turun dari mulai dini hari. Awan hitam melingkar menggelayut betah di atas langit dari kemarin sore. Malam hari begitu panas, dan dibayar lunas hujan jam 1 pagi tadi. Tak terbayang perjalanan pertama di hari Senin bertemankan hujan. Bandung tercatat kota ketiga setelah Jakarta dan Surabaya juara dalam hal macet. Bagi pemerintah daerah ataupun pusat, kemacetan menjadi hal paradoks. Kemacetan menjadi tanda kemajuan suatu daerah dan mundurnya suatu daerah. Sama seperti berita buruk yang aku tonton pagi ini. Berita buruk itu adalah berita baik. Semua artis tahu slogan ini. Tapi tetap saja, asalkan artis masuk televisi dengan berita apapun, mereka sepertinya akan senang. Pamor seorang artis memang diukur dari seberapa sering mereka muncul di televisi. Berita buruk juga akhirnya menjadi dewi fortuna bagi sebagian artis. Kehidupannya jadi sorotan, sosoknya mudah dikenal, dan cring jadilah uang.

Berbeda dengan diriku...

Ini hari pertama bekerja di Bandung. Hanya toko elektronik daerah Ujung Berung yang bisa menerimaku bekerja. Aku lulusan SMA. Semoga tempat ini bisa menghasilkan rizki yang banyak. Tidak seperti di toko sebelumnya di kampung halaman, Bekasi. Aku dianggap tidak mampu dalam bekerja walau hanya sebagai kasir. Tidak apa-apa, hidup memang keras. Lagi pula orang tuaku mendukung apapun yang aku kerjakan.

Baiklah sekarang sudah jam 6 pagi. Saatnya berangkat. Kalau dilihat dari map, sekitar 10 menit ke arah Ujung Berung dari Jatihandap. Mudah-mudahan saja benar. Tidak macet. Mesin motor sudah menyala 15 menit yang lalu. Aku menaiki motor kesayanganku. Sumber segala rezeki. Warga sekitar kosan begitu ramah. Mereka selalu tersenyum. Bahkan ada yang hormat. Lebay.

Aduh, keluar dari jalan Jatihandap sudah merayap macet. Terlihat dari kejauhan jalan raya sudah diberlakukan contra-flow. Motor-motor yang menuju pusat kota Bandung boleh memakai lajur kanan dari pembatas jalan. Arah Bandung Timur dibagi 2. Pertanda ini akan memakan waktu lebih dari 10 menit. Bagaimana ceritanya hari pertama kerja harus kesiangan? Daripada memikirkan itu, aku lebih baik memikirkan jalanan Bandung yang macet namun tetap asri. Menuju timur, cahaya matahari silau menyoroti jalan. Tak apa, cahaya ini seolah memberi semangat bagiku yang sedang berjuang.

Beruntung, tidak sampai Cikadut, depan R.S. Hermina, jalanan arah Ujung Berung sudah lancar. Pengendara motor langsung menancap gasnya kencang-kencang. Berbalapan dengan mobil dan juga motor lainnya. Aku tidak berani seperti mereka. Sangat disayangkan hari pertama dilewatkan dengan kebut-kebutan. Tak ku hiraukan suara klakson di belakang. Aku memberikan isyarat 'silakan duluan'. Aku masih melihat kiri dan kanan memperhatikan dengan seksama semua toko di sini. Siapa tahu ada lowongan daerah sini. Dekat dengan kosan. Belum sampai lembaga permasyarakatan Sukamiskin. Ada insiden kecil motor mencium kepala mobil yang baru masuk dari arah Antapani Jabar Sport. Lumayan macet. Sedikit demi sedikit jalanan mulai merayap. Dari spion, aku lihat ke belakang. Ramai sekali. Dan hei..ada plang toko yang tidak terbaca sama sekali olehku. Nama toko di plang begitu aneh. Aku tidak bisa meihatnya dengan jelas. Motorku harus maju di tengah kemacetan. Benakku terus bertanya: benarkah nama tokonya Lumpuh Jaya?

Perjalananku kini mulai terganggu. Aku terus memikirkan plang toko yang berada di belokkan LP Sukamiskin. Mengapa ada orang yang menamai tokonya dengan nama seperti itu? Apakah memang tidak mau jaya? Ahhh itu benar-benar mengganggu pikiran ini. Benar kata teman, di kota Bandung itu segala ada.

Akhirnya sampai juga di tempat kerja. Kesiangan 10 menit. Rekan-rekan kerja menyapaku. Orang yang mewawancaraiku kemarin juga hadir. Tersenyum menyambut senang. Tidak memarahiku. Mangga, bagi siapapun yang memerlukan barang-barang elektronik semisal TV, HP, Kipas Angin, dan sebagainya, bisa mendatangi toko di samping masjid alun-alun Ujung Berung. Kalimat-kalimat seperti itu yang harus tertanam dalam benak dan spontan keluar saat siapapun memerlukan barang-barang elektronik. Namun entahlah, yang ada dalam benakku sekarang adalah toko Lumpuh Jaya. Aku memikirkan toko itu terus-terusan. Sampai siang ini, aku bertanya pada rekan-rekan kerja di sini tentang toko Lumpuh Jaya, malah tidak ada yang tahu. Atau mungkin tidak sadar.

Siang ini pembeli ke toko kami hanya 3 orang. 1 membeli HP, 2 orang lagi membeli TV Flat. Aku langsung menghitung semuanya. Memang, pekerjaan yang cocok bagiku adalah kasir. Tapi mungkin, aku bisa mendapatkan posisi kerja yang berbeda kalau aku berkunjung ke toko Lumpuh Jaya. Toko apakah itu? Tak sabar rasanya aku ingin segera pulang melihat kembali plang toko itu. Penasaran dengan si pemilik toko. Penasaran dengan para penjaga toko. Dan tentu saja, penasaran berjualan apakah tokoh itu.

Ah, aku kepikiran memakai google satellite saja. Pasti di sana ada foto-foto toko. Mungkin aku bisa menemukan kebenaran toko Lumpuh Jaya.

"Gus, pak Dayat pengen ketemu, tuh?" seorang rekan kerja memberitahuku. Aku tutup HPku.

"Eh, di lantai atas, ya?" tanyaku.

"Engga, lah. Pak Dayat orangnya pengertian...doi nunggu di ruang istirahat".

***

Saatnya pulang. Aku bergegas menyalakan kembali motorku. Mencari toko Lumpuh Jaya di google satellite akhirnya tidak jadi. Sekarang saja aku akan pastikan. Mungkin toko itu akan membawa keberuntungan lain bagiku di kota Bandung. Rekan kerja pun sudah satu persatu pulang.

"Gus, keren banget lah motornya..." seseorang mengagetkanku dari belakang.

"Eh, Anita. Iya nih, hasil modif..." jawabku.

Anita tersenyum.

"Oke lah. Duluan ya, Gus...hati-hati, lho, fokus di jalan. Jangan mikirin terus toko Lumpuh Jaya"

"Hahaha..." Aku tertawa. Ternyata Anita lebih pengertian dibanding pak Dayat. Anita tahu betul sedari tadi aku ribet bertanya tentang toko itu.

Ya, pak Dayat juga pengertian. Pak Dayat adalah teman dekat bapakku. Bapakku sudah menitipkan aku di kota Bandung untuk bisa membantu toko elektronik pak Dayat ini. Dengan kondisi seperti ini, mungkin aku tidak canggung lagi bertemu dengan orang-orang baru di kota Bandung. Termasuk warga di Jatihandap juga, begitu sangat ramah. Motor modifan untuk difabel, toko elektronik yang nyaman untuk pengguna kursi roda sepertiku, ini sudahlah cukup.

Aku bergegas pulang. Benarkah ada toko Lumpuh Jaya?


Makam Sutet

Suasana senja Sawah Lebak begitu romantis. Tidak seperti sore-sore biasanya yang sering diguyur hujan, kali ini nuansa surga dunia hadir di sini. Burung-burung sudah kembali ke beberapa pohon sekitaran sawah yang sebentar lagi akan dipanen. Pohon kemiri tua sebelah utara paling laris diserbu kawanan burung yang sudah kembali dari mencari rezeki entah kemana. Balik kandang.
Sebentar lagi azan Magrib. Angin sore pun begitu pelan mengalun namun tajam menikam sehat. Para petani sudah kembali beberapa jam lalu setelah Asar. Termasuk Mbah Endon, pemilik perkebunan singkong yang kini terlihat rimbun hijau tua tersilap senja menguning. Mbah Endon sesepuh di kampung kami. Tahu betul tentang sudut setiap kampung, termasuk Sawah Lebak. Ada pemandangan yang tidak sama dengan romantisnya senja di pesawahan manapun. Sawah Lebak dikenal oleh orang sekitar bukan sebagai pesawahan, tapi sebagai tempat yang beberapa bulan lalu sempat ramai karena akan dibangun tiang sutet sebagai tiang listrik penyambung kampung kami dengan kampung seberang sungai Cimanuk. Tidak ada yang salah, aparat kampung pun sudah mengijinkan. Sawah Lebak jauh dari pemukiman.
Berbeda dengan aparat dan sebagian besar warga desa, keluarga Raden Agus Sodikin punya pendapat berbeda tentang izin pendirian tiang itu. Keluarga raden sangat terpandang di kampung kami. Terkenal sebagai keluarga yang sudah membangun beberapa sarana sosial di kampung. Masjid Nur salah satunya. Masjid yang sering dipakai solat Jumat itu adalah masjid Jami perkampungan yang depan halamannya selalu mengkilap batu peresmian lengkap dengan tanda tangan R.A Sodikin. Madrasah perkampungan menjadi dua lantai jugs ditanda tangani sang raden sebagai pembangun inti.
Kepala desa yang kini dipimpin oleh generasi muda belum paham tentang bahayanya suluk. Arti menghormati dan "menganggap" ada orang tua kami jangan sok penting sendiri. R.A Sodikin tidak pernah dilibatkan dalam perizinan pembangunan tiang sutet di Sawah Lebak. Menurut keluarga raden tentu saja. Lokasi sudah paling strategis. Tidak berbatu dan tidak pula curam mendekati Cimanuk begitu ceramah pa kepala desa di setiap kumpulan warga.
Satu hal yang mengganjal raden, di sana ada makam keluarga R.A Sodikin. Termasuk makam mantan kepala desa yang sekaligus adalah ayah raden Agus. Itu alasan mengapa R.A Sodikin tidak akur dengan kepala desa sekarang. Dan  mau tidak mau, tiang sutet kini sudah berdiri tinggi tegak menandingi pohon kemiri. Bahkan lebih tinggi. Tepat di bawahnya adalah tiga makam leluhur R.A Sodikin. Memang tidak terganggu. Kaki tiang sutet berada tepat di sudut-sudut tiap makam.

***
Sawah Lebak senja ini diguyur hujan. Pasti malam ini tidak akan terlihat bulan purnama. Kilatan petir menyambar sekitaran tiang sutet. Seolah ingin mengenai sasarannya. Tidak terlihat burung-burung beterbangan. Hanya satu dua binatang melata terlihat keluar dari tanah, menikmati irama hujan lebat. Angin pun bertiup cukup kencang. Dedaunan singkong bergoyang tak tentu arah. Air mengucur deras membasahi rangka-rangka tiang sutet yang menembus ke dalam tanah. Air sungai Cimanuk pun terdengar bergemuruh. Sangat deras.
Di tengah hujan deras di Sawah Lebak, terlihat seseorang merunduk di bebatuan pinggir sungai Cimanuk. Arahnya hanya melewati kebun singkong yang sebentar lagi akan dipanen. Ah, biasanya sebagian besar singkongnya pasti busuk. Tempatnya tidak begitu jauh dari pohon kemiri, tiang sutet dan sungai Cimanuk. Itulah alasannya mengapa singkongnya banyak yang busuk. Terlalu banyak air kotor merembes. Begitu kata warga kampung. Tidak ada yang berani menerjemahkan air yang kotor itu bersumber dari sungai Cimanuk atau sari air dari pemakaman keluarga R.A Sodikin. Mbah Endon pun si pemilik kebun tidak banyak bercerita. Tidak ada yang berani berkomentar tentang keluarga raden. Dari sebelah barat, seseorang berlari menembus derasnya hujan. Sejenak berhenti melihat sekeliling Sawah Lebak, seperti mencari sesuatu. Ia mencari jalan ke arah sungai, berlari menghampiri orang yang sedang merunduk yang kini semakin kuyup tersiram hujan.
"Rama, maafkan Agus..." Bisik seseorang sambil menggenggam tangan tua bergelimang tanah kotor. Tidak bergerak sama sekali.
"Agus tak seharusnya melakukan ini...maafkan, Rama."
Azan Magrib sudah terdengar dari masjid Nur. Dari kampung seberang juga sudah menyaut. Agus sang raden menggendong lelaki tua itu. Memapahnya namun tidak berhasil. Tidak akan pernah berhasil. Agus menggendong mayat ayahnya yang terkubur puluhan tahun silam.
Jasadnya masih utuh.
Keluarga raden terkenal dengan ritual Aji Ragad Bestari. Ajian yang tidak akan pernah dilakukan oleh orang-orang biasa. Mengawetkan jenazah dengan balutan sari kemiri, daun singkong kering kuning, dicampur dengan serbuk bebatuan aneh milik leluhur raden. Bebatuan tanah lapis ke tujuh.
Hampir setiap hujan deras disertai petir, jenazah raden Karsa akan bangkit keluar. Raden Agus curiga ini semua gara-gara pendirian tiang sutet.

===
"Raden Agus pasti sedang berlari menuju Sawah Lebak..." Bisik Mbah Endon sambil menatap ke luar jendela dari rumah panggung biliknya. Asap rokok dari tembakau racikan lokal semakin pekat menandingi pekatnya kabut hujan di luar yang masih sangat deras.
"Jarang yang tahu dari ajian Ragad Bestari ini. Jenazah akan senantiasa bangkit di waktu yang sama saat dimakamkan. Kalau raden Karsa dimakamkan jam 5 sore saat hujan deras 25 tahun silam, maka ia akan senantiasa bangkit keluar kalau ada hujan deras di jam 5 sore. Sebelum tiang sutet dibangun, akulah yang sering menguburkannya lagi. Raden Karsa begitu payah tak bisa berjalan jauh. Anehnya ia bisa bangkit, seperti terpaksa harus bangkit dan menjauh dari tanah. Kadang-kadang hanya sekadar bangkit saja, tidak mendekati batu di pinggir sungai. Tidak bisa apa-apa. Mengerang dalam bisikan. Bahkan dua makam lainnya, istri raden Karsa dan adik raden Agus yang dikuburkan siang hari, sudah aku pindahkan ke kolong rumah panggung ini. Mereka langsung bangkit di tujuh harinya. Masyarakat kampung sini, tidak boleh ada yang tahu dan tidak boleh ada yang ketakutan...Belum ada yang bisa menghilangkan ajian ragad bestari ini". Tutup Mbah Endon sambil merapikan daun singkong kering kuning di atas tungku tanah, sari kemiri pun sudah rapi dalam penyimpanan dan terlihat bebatuan aneh satu persatu dikeluarkan.

Aku dapat melihat semua gerak-gerik yang ada di rumah ini walau mataku masih terpejam di kamar ini. 60 tahun silam, kamar ini menjadi kamar pengantin aku dan si Mbah.

"Sayang, sudah saatnya kau bangkit malam ini..."

Ini menyakitkan sekali.


Anak Siapa?

Hari kemarin, kampung kami tidak seperti biasanya. Jalan kecil masuk dan keluar kampung dipenuhi para warga yang berdesas desus tidak bisa ditebak. Kami yang melintas menggunakan motor, sempat berhenti di satu kerumunan warga, yang salah seorangnya kami kenal dengannya. Teten si penutur adalah teman kami yang jago bercerita.
"Ten, ini ada apa?"
"Ini, kita lagi menunggu polisi balik...tunggu aja di sini". Teten serius menjawab. Ia mulai menjauh mendekati kerumunan yang lain. Ah, tumben ceritanya tidak menarik.
Tidak ingin mengetahui lebih panjang, motor kami kembali melaju. Namun, kami harus terhenti mendadak sesaat di gang depan pun beberapa aparat desa sudah menutup jalan. Motor kami terpaksa dimatikan.
"Say, turun dulu!"
Istri saya pun turun dari motor. Kami berdua baru pulang dari rumah si ibu. Katanya ibu sakit. Sudah beberapa hari tidak mengajar.
"Aya naon ieu téh?" Saya bertanya lagi pada orang yang tidak dikenal. Kampung kami lumayan luas. Tidak semuanya saling kenal.
"Emmh..., si Duda!" Jawab seseorang dengan nada tinggi, seperti berteriak.
Saya mulai memahami situasi. Duda warga kampung yang terkenal sebagai pemulung dan sebagian menyebutnya sebagai orang sakit, saya mengenalnya. Dia murid si Ibu juga di sekolah dasar kampung kami. Memangnya ada apa dengan si Duda? Dia tidak pernah melakukan hal-hal aneh selain mengangkut kardus dan kadang di roda bututnya diangkut juga bambu kering untuk nantinya dibakar.
"Kejam pisan atuh éta mah..." Bisik seseorang di sudut sana.
"Iya, lah. Biar kampung kita aman-aman saja. Kudu dipenjara tah si Duda téh." Timpal seseorang lagi.
Mengapa harus digiring ke kantor polisi? Padahal ada rehabilitasi sosial untuk orang yang sudah tidak memperhatikan penampilan dan kebersihan badannya. Apa yang sebenarnya terjadi.
Umar, salah satu aparat desa yang jauh lebih muda dari saya juga hadir. Kebetulan sekali. Sepertinya ini sangat serius, aparat desa semuanya hadir di sini. Beberapa dari mereka bersama warga, menonton dan menertibkan, beberapa lagi ikut mengiring bersama dua polisi. Aku tidak begitu jelas melihat Duda.
"Mar, aya naon ieu?!" Tidak canggung untuk memanggilnya langsung tanpa titel bapak, toh dia memang masih muda dan dia belum menikah. Kasihan Umar. Katanya sudah mau menikah tapi ditinggal terus oleh calon istrinya. Sudah dua kali dia gagal. Katanya pernah terdengar ocehan, lebih baik ditinggal sebelum menikah dari pada setelah menikah. Ah, itu mah bisa-bisanya Umar menguatkan hatinya.
"Umar!! Aya naon ieu?!" Tanya saya semakin meninggi. Dia sepertinya tidak terlalu menghiraukan.
"Mar?!"
"Udah, A. Ikut saja. Insya Alloh aa aman".
"Mar! Ko saya digiring bareng polisi?!. Itu istri saya mau pulang. Motornya gimana, Mar?!"
"Kasihan yaa si Duda sampai begitu. Sudah lama ditinggal istrinya, roda bututnya dianggap motor". Terdengar seseorang berbicara.
"Ih, kasihan lagi bu Teti atuh ibunya. Wajah ibunya remuk digebukin Duda pakai genteng. Kalau ga dihentikan Mira sang tetangga, bu Teti kayanya mah udah meninggal. Darahnya atuh Ceu, kemana-mana, iyh."
"Bu Teti padahal guru teladan, ya. Guru yang baik dari kampung ini. Mengapa dia tidak bisa mendidik anaknya?".

Garamnya Hidup



Malam minggu ini sepertinya akan hujan. Gerah terasa menyelimuti daerah Cikadut dan sekitarnya. Jangan seperti minggu lalu, hujan 20 menit menyisakan genangan air depan pom bensin di jalur lurus. Pom bensin Cikadut terkenal ramai. Lalu lalang seliweran kendaraan membuat Cikadut semakin terlihat sibuk. Belum lagi ditambah banjir. Bisa merayap atau bahkan diam sama selali. Tidak ada yang menarik di jalanan ini. Hanya suara klakson saja dari ratusan kendaraan yang jadi hiburan aneh. Beberapa orang mengimbangi klakson dengan umpatan dan kontak mata yang buas.

Aku, selalu berada di sini. Di tempat yang sudah disewa empat bulan kemarin. Tidak begitu ramai. Kontras sekali. Kasihan. Ada yang bilang harga nasinya mahal. Ada juga yang berbisik nasi gorengnya kurang garam. Tidak banyak pembeli nasi goreng di sini. Mungkin ada benarnya. Tapi apalah daya. Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya melihat mang Ibo, sang penjual nasi goreng, duduk termenung, mengotak-atik HP monofoniknya. Dan ooh, iya, tentu saja sambil mendengarkan tembang Cianjuran atau pop Sunda dari radio bututnya. Heran, di tahun sekarang, di terangnya cahaya lampu jalanan, warna-warninya LED dari pom bensin dan cerahnya supermarket sebelah kami, mang Ibo masih menyimpan radio batre. 

Dia sudah berumur. 50 tahunan usianya. Awalnya di kampung sana, Majalaya, mang Ibo bekerja sebagai tukang kayu. Namun ya begitu, "teu uyahan" kata orang-orang. Tidak memiliki cita rasa yang tinggi. Barang-barang yang dibuatnya seperti hambar "ngasal". Mang Ibo tentu sudah berusaha. Banyak tetangganya yang menyuruhnya membuat lemari baju, lemari aquarium, lemari TV, kursi sederhana, kusen pintu, jendela...itu belasan tahun yang lalu. Mang Ibo tidak menerima lagi pesanan sebagai tukang kayu. Lebih tepatnya, barangnya tidak diterima orang sekitar. Mang Ibo tetap berusaha, menjadi petani setelah itu. Lumayan, ada sawah untuk digarap, kebun untuk ditanam. Tidak luas, tapi lumayan, ada aktivitas. Dan sekarang, ada di sini. Ngontrak di rumah kecil daerah Cikadut Dalam. Sendirian. Ia tidak berkeluarga.

Aku tahu semua ceritanya, karena kang Asa, tukang martabak di sebelahnya bertanya pada mang Ibo. Lain mang Ibo lain kang Asa, martabaknya laris manis. Kang Asa sudah puluhan tahun mangkal di sini. Beberapa pelanggan kang Asa itulah yang membeli nasi goreng mang Ibo. Seolah seperti tidak sengaja. Dan akhirnya tidak membeli lagi dengan sengaja. Alasannya sepele: kurang garam. Bagiku itu sepele. Lagian, kalau kurang garam, mengapa orang-orang tidak mau menambahkan lagi garam ke nasi gorengnya? Itu bukan masalah besar. Harga 13 ribu juga aku pikir wajar. Banyak sekarang nasi goreng yang lewat dari 15 ribu. Dan tak tahulah...mungkin juga kurang garam.

Aku tidak membela mang Ibo. Ya, boleh juga kalian terjemahkan ini sebuah pembelaan atau alasan mengapa mang Ibo tidak mau menikah.

Aku dari Indramayu. Aku kenal mang Ibo belum begitu lama. Kami bersua di meja ini. Meja tempat makan. Mang Ibo tidak banyak berbicara tentang situasi, tentang jalanan macet, tentang martabak kang Asa yang ramai. Tidak. Mang Ibo tidak berbicara kalau tidak ditanya.
Akhirnya, penglaris pertama di malam yang dingin ini datang juga. Sepasang muda-mudi memakai jas hujan duduk di meja.

"Pesan dua, kang. Yang satu pedes yang satu sedang aja". Kata lelaki berkacamata seperti sudah tahu betul kesukaan kekasihnya. "Eh, kang, yang satu telornya didadar, yaa" si wanita menambahkan. Oh, ternyata dugaanku keliru. Mereka belum terlalu kenal satu sama lainnya.
Mang Ibo langsung menyalakan kompor gasnya. Mengambil bumbu andalan khas mang Ibo. Diaduk-aduk dalam wajan, dan tak lupa mengalas nasi dingin yang sudah dimasaknya tadi pagi ke dalam piring plastiknya. Untuk mengukur porsi. Sebagai penjaga meja, aku tersenyum ke arah pelanggan. Mereka meminta izin melepas jas hujannya yang basah di atas meja. Aku mengizinkan. Mang Ibo tersenyum.

Kang Asa masih sibuk membuat martabak. Tidak perduli hujan, apalagi langit berbintang, martabak kang Asa selalu ramai. Khususnya dari komplek depan sana.

Saat ada pembeli seperti ini, mungkin bagi mang Ibo ini hal terkikuk. Dia tidak tahu nanti harus duduk di mana.  Dia tidak bisa duduk di lapak kang Asa. Kecuali kalau kang Asa memintanya. Paling seperti biasa, nanti Mang Ibo duduk di samping roda mengawasi jalanan sambil menyalakan rokoknya. Satu pembeli, satu rokok. Tidak ada yang membeli, tidak boleh merokok. Begitu prinsipnya.

Akhirnya pesanan selesai. Wangi sekali nasi gorengnya. Dari tampilan saja begitu menggoda. Telor dadarnya selalu mengembang. Nasi gorengnya tidak lengket, mantap. Mengapa banyak orang tidak mau membeli nasi goreng di sini?. 

Inilah saat yang paling ditunggu-tunggu. Aku selalu gugup kalau nasi goreng sudah di atas meja. Menunggu disantap oleh pembeli. Ini menjadi penentu apakah mereka akan kembali lagi ke sini atau tidak sama sekali.

"Duuh, ngebul begini". Kata wanita yang wajahnya penuh jerawat. "Enak, lho, Yang. Dingin-dingin begini". Jawab sang lelaki bersemangat. 

"Tapi, ya tunggu dingin aja dulu, Yang". Susul si lelaki menambahkan. Seolah takut pada si wanita.

Akhirnya si lelaki menyimpan nasi gorengnya menemani kekasihnya bermain HP. Mang Ibo benar saja. Sudah menyalakan rokok pertamanya sambil melihat jalanan yang macet tersiram gerimis. Aku seperti sedang menilai, duduk di sini dengan cemas menunggu nasi gorengnya disantap.

"Yang, aku serius ingin menikah dengan kamu". Ucap si lelaki. 
Suasana terasa sangat dingin. Terdengar radio butut mang Ibo menyiarkan lagu romantis dari band kenamaan anak negeri. Belum sampai reff, mang Ibo langsung  mencari gelombang musik Sunda.
Akhirnya ada lagu Duriat dari Darso.
Mang Ibo batuk. Senang sekali mendengarnya.

Duriat teu bisa diaya-aya. Cinta kasih tidak bisa dibuat-buat.

Duriat datangna henteu kasorang. Cinta kasih datangnya tidak bisa diprediksi.

"Yakin kamu mau nikah sama janda? Yakin orang tua kamu mengizinkan? Kamu masih muda. Masih bisa mencari yang lain..." Si wanita mulai menyimpan HPnya. Mengambil sendok dan garpu. Mengelapnya dengan tisu berwarna putih. Aku tahu betul posisi-posisi mereka. Tisu, sendok garpu, acar dan kumpulan gelas dengan teko plastik berisi air teh. Mereka selalu serasi ada di sana. Menambah kesan usaha nasi goreng mang Ibo bukan main-main. Tangan si wanita kini mulai mengaduk-aduk nasi gorengnya yang masih sedikit ngebul.

Aku menatapnya dengan serius. Mang Ibo tidak boleh kalah dari kang Asa. Harus ada testimoni rasanya nikmat atau minimal rasanya pas.
Dan akhirnya suapan pertama mulai menuju mulut si wanita.
"Kakak-kakakku mengizinkan, Yang!" Si lelaki merespon.
"Ibumu??!!" Si wanita seolah kesal. Sendoknya disimpan lagi. 
Suapan pertama gagal. Belum masuk ke mulut.

"Aku bete sih kalau udah ngomong-ngomong begini...udah berulang-ulang, diulang-ulang lagi, kejadian lagi" wanita itu melanjutkan.
Sekarang sang lelaki mulai mengambil sendok dan garpu, mengaduk-aduk nasinya dan tidak berpikir panjang, langsung melahap nasi gorengnya. Terlihat marah dengan respon kekasihnya. Atau temannya. 

Seperti tidak ada waktu bagiku untuk membayangkannya. Wajah si lelaki terlihat aneh untuk beberapa saat. Tapi langsung mengambil lagi suapan yang kedua.
Ah, sukur. Pasti enak dilidah si lelaki. Tapi aku tidak begitu percaya dengan lidah laki-laki yang sedang marah. Apalagi yang sedang ingin menikah. Semuanya terasa begitu indah dan lapar.
Dan sekarang si wanita pun mengambil suapan yang sempat terganggu.

Hap! Nyam nyam...

Wajah si wanita pun terlihat aneh. Ini pertanda tidak baik. Kekasihnya jangan sampai tahu keberadaanku.

"Aku tidak mau tau. Kamu harus menikah denganku." Si lelaki melanjutkan sambil terus makan. 

"Hidupku akan terasa lebih..." Belum sempat melanjutkan. Si wanita merespon:

"Terasa hambar. Kurang mantep nasi gorengnya. Kurang garem..." Si wanita berbisik.
"Tuh...garem." Si lelaki menunjuk ke arahku.

Dan benar saja.

Dia tersenyum kecut. Aku balas senyum manis. 

Aku tersenyum memohon maaf atas kebiasaan mang Ibo yang tidak pernah memberikan garam dalam bumbu nasi gorengnya. 

Rasminah: Lingkar Amarah

Bandung 2014.
Rasminah adalah tulang punggung keluarga. Suaminya, Badri, meninggal 6 tahun yang lalu. Mereka dikaruniai dua anak laki-laki. Iwang si sulung yang kini kelas 2 SMA dan Cahya, si bungsu kelas 3 SMP. Ceu Minah biasa orang-orang memanggilnya awalnya tak sanggup untuk membayangkan kehidupan tanpa Badri. Apalagi Badri pekerja tetap di salah satu pabrik konveksi di jalan A.H. Nasution. Gaji bulanan tidak pernah dirasa kurang oleh Minah dan keluarga. Namun, semenjak kejadian itu...
Setelah warga Cicabe dikejutkan oleh penemuan mayat di pohon jambe belakang mesjid As-Salaam. Belakang rumah Badri. Entah apa yang ada dipikiran Badri saat itu, saat hujan deras disertai kilatan petir dengan ritme tak menentu, Badri memanjat pohon jambe. Ia ingin membetulkan kabel listrik yang sedikit menyangkut tak elok ke salah satu ranting jambe. Pastilah supaya tidak terjadi kosleting. Pasti itu yang ada di pikirannya. Tapi siapa yang tahu kalau kabel berumur puluhan tahun itu kini sudah tak lagi mulus. Ranting jambe memakan kabel itu dari waktu ke waktu. 
Hujan bertambah deras ditambah angin menuju selatan. 
Rasminah sedang menjemput anak-anaknya yang saat itu belajar di madrasah sore.
Petir besar saling bersahutan seolah ingin mengabarkan kematian Badri. Rasminah tak bisa menangis. Ia harus terlihat tegar di depan anak-anaknya. Rasminah harus terlihat kuat di depan puluhan orang yang memangku jasad gosong pujaan hati.
Tidak ada yang tidak, semuanya mengucapkan "....yang sabar, yang tabah. Yang kuat..." Rasminah terdiam.
Semuanya kelam. Sesak. Hampa. 

"Itu 6 tahun yang lalu, Kang". Ucap perempuan yang sekarang sudah berubah. Tidak lagi meminjam beras pada Tuti tetangganya atau meminjam uang 5 ribu untuk membeli tahu, menu makan kesukaan dan keterpaksaan. Kini Rasminah punya penghasilan. Sudah hampir 2 bulan ia berjualan sayuran depan garasi warga sekitar. Siapa orang Cicabe yang memiliki kendaraan roda empat, biasanya akan menyewa garasi yang hanya berjarak 200 meter dari rumah Rasminah. Barang dagangannya yang berat biasa dibawa oleh anak-anaknya. Rasminah tidak punya pilihan untuk menggelar jualannya di tempat lain. Ini paling aman dan tidak perlu menyewa. Hanya kalau ada warga yang kebetulan akan mengeluarkan mobilnya, Rasminah harus menggeser semua dagangannya yang digelar di terpal merah muda. Mudah bagi Rasminah. Toh itu tidak sering. Karena Rasminah hanya berjualan dari jam 5 pagi sampai jam 6 kurang. Rasminah tetap bahagia. Usaha Rasminah pun 
laris. Banyak warga yang membeli sayuran dan bagi mereka yang malas pergi ke pasar, Rasminah siap membelikannya.
Sore itu hujan turun deras. Rasminah rebahan beristirahat di sofa cokelat bututnya. Untuk menghilangkan sakit di pinggangnya. Kebanyakan menarik terpal merah muda katanya sambil bercanda kalau anak-anaknya bertanya.
Hujan masih deras. Tiba-tiba ia teringat kematian suaminya 6 tahun silam.
"Tuhan, ampuni dosa suami hamba". Air matanya menetes.
"Tidak banyak keinginan semasa hidupnya...ia hanya ingin sekali melihat pohon jambe tanpa kabel listrik melintas di atas pohon itu. Engkau pasti tahu bahwa hari kematiannya bukanlah kali pertama suami hamba memanjat pohon itu. Hamba melihatnya sudah puluhan kali suami hamba memanjat pohon untuk menyimpan sesuatu. Papan, bambu, bahkan seng pernah dipasang untuk menghalangi kabel masuk ke sela-sela daun. Namun semuanya sia-sia. Hamba tidak tahu kalau setiap kali suami hamba naik ke atas pohon, amarahnya naik juga".
Rasminah menangis sampai ia tertidur...

***

Sekarang tahun 2020. Iwang anak sulung Rasminah sudah satu minggu bekerja di pabrik bekas ayahnya. Iwang sarjana muda (diploma) dari jurusan teknik mesin di salah satu universitas negeri di kota Bandung dan sudah satu tahun lebih berjualan dengan ibunya. Keahliannya adalah di bidang mesin. Tak sedikit mobil-mobil yang bermasalah di garasi Gofar diperiksa mesinnya oleh Iwang. 
Dan sekarang, nasib baik itu akhirnya datang juga. Iwang mulai memakai seragam pabrik. Itu semua tidak lepas dari peran Rasminah. Rasminah selalu menjalin komunikasi baik dengan orang-orang pabrik. 
Sayang, Rasminah tidak bisa menyaksikan hasil usahanya memasukkan Iwang ke pabrik tempat Badri bekerja.
Iwang kini bekerja demi Cahya. Adik satu-satunya. Pulang bekerja, ini momen paling bahagia bagi Iwang, Iwang membuka seragamnya. Ia mulai rebahan di sofa cokelat yang butut.
Hujan di luar mulai turun deras. Ia teringat kematian ibunya 6 bulan lalu yang tragis tertabrak mobil.
"Tuhan, ampuni dosa orang tua hamba". Air matanya mulai menetes.
Tidak banyak keinginan semasa hidup ibu. Ia hanya ingin sekali melihat anak sulungnya tidak melanjutkan jualan sayurnya. Harus masuk pabrik. Tapi sepertinya bukan itu. Engkau pasti tahu bahwa hari kematiannya bukanlah kali pertama ibu kesal dengan laju mobil. Hamba melihatnya sudah puluhan kali ibu memasang paku, menggembok garasi, dan merutuki nasib buruknya ditinggal bapak. Beras yang dipinjam, tahu yang dibeli, kami anaknya yang menghabiskannya, ibu yang mengutuknya. Semangat yang mendidih setiap harinya berharap memberikan kehangatan bagi nasib kami. Namun semuanya sia-sia. Hamba tidak tahu kalau setiap kali ibu menarik terpal merah mudanya saat mobil warga keluar garasi, tertarik juga amarahnya lewat kutukan dan mengerak dalam pikiran".
Iwang menangis sampai ia tertidur...

***

"Tuhan...ampuni kakak hamba kalau berangkat ke pabriknya selalu dilingkar amarah. Selamatkan ia di manapun ia berada".

Belum sampai 1 tahun, Bandung dihebohkan dengan kematian buruh pabrik yang tergilas mesin penggiling.

Koin

Pagi itu daerah simpang Pasir Impun macet total. Ramai sekali. Banyak orang ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. Polisi lalu lintas sudah memanggil teman lainnya untuk berjaga. Geger bukan main.

Mi'an ditemukan tewas bersimbah darah depan supermarket Pasir Impun Bandung. Warga sekitar mengenalnya. Mi'an adalah 'pak ogah' yang bekerja menyebrangkan mobil-mobil yang keluar masuk Pasir Impun. Tidak sepanjang hari, Mi'an hanya diberi waktu 4 jam dan sisanya bergilir ganti dengan teman-teman nongkrongnya; Roja, Ram, Rutus dan Aang. Sisa waktunya mereka gunakan sebagai tukang ojeg pangkalan atau menjadi tukang parkir di lahan tak bertuan dan paling penting banyak motor berdiam.

Tidak ada yang tahu dengan siapa Mi'an berurusan. Sebelum datang orang-orang yang membawa Mi'an ke rumahnya, Rutus sempat mengambil satu koin dari puluhan koin 500an yang berserakan di tempat kejadian. Koin berdarah. Tragis, perut Mi'an dipenuhi koin 500an. Tidak ada seorang pun yang tahu.

"Kasihan si Mi'an..." Ucap Rutus yang sudah menganggapnya sebagai kakak. Mi'an paling tua di antara empat teman lainnya. Ia meninggalkan seorang anak yang duduk di bangku SMP.

Merasa tidak terima dengan kematian Mi'an yang mendadak, Roja mengumpulkan teman-temannya untuk meramaikan kasus ini. Roja sang pemabuk dan berjiwa preman menahan semua tukang ojeg pangkalan untuk beroperasi. Kalaupun mau beroperasi, jangan di pangkalan samping supermarket. Hormati Mi'an selama seminggu.

Rutus ditemani Ram diatur Roja untuk memasang tali penghalang depan pangkalan. Tali plastik merah tak beraturan lengkap dengan tulisan 'USUT TUNTAS KEMATIAN Mi'an'. Ram yang baru lulus SMA bersemangat membawa papan meminta sumbangan untuk keluarga Mi'an. Tidak diberikan semuanya. Kadang makan siang dan rokok diambil dari sumbangan itu. Sedangkan Aang, yang dinilai pintar oleh teman lainnya, diminta Roja untuk menceritakan tragisnya kematian Mi'an pada siapapun yang bertanya atau yang tidak bertanya sekalipun. Termasuk pada pewarta. Sesekali Aang meminta, "biar aku saja yang bercerita". Mengirimkan cerita bombastis via media sosial di daerah Pasir Impun. Orang keren menyebutnya sebagai buzzer atau influencer.

Tidak sampai satu minggu kegiatan sosial tersebut, teman-teman Mi'an kini sedang sibuk dimintai keterangan oleh pihak kepolisian. Polisi tentu paling tahu, kematian seseorang itu biasanya akan selalu berdekatan dengan orang-orang terdekat. Namun tetap, selalu mengedepankan asas praduga tak bersalah. Tidak menuduh begitu saja. Biarkan pihak kepolisian menyelesaikan semuanya. Dimulai dari Roja. Roja paling semangat menjelaskan tentang hubungan dekatnya dengan Mi'an. Menyebutkan kalau Mi'an sering meminjam uang padanya untuk biaya sekolah anaknya. Bahkan, Roja dan Mi'an seperti keluarga. Sering melengkapi satu sama lainnya. Roja tahu masalah Mi'an di minggu ini.
"Di dieu wae pa ieu teh nyariosna? Ini masalah pribadi Mi'an. Bisi jadi aib. Ga enak euy udah meninggal orangnya". Roja meminta izin pada petugas yang sedang bertanya. Ia merasa keberatan kalau tiga teman lainnya mendengarkan permasalahan Mi'an selama ini.

"Ya, gapapa. Kalian pan sudah kenal dekat satu sama lainnya". Jawab petugas sambil terus mengetik.

'Mi'an gaduh masalah keluarga, Pak. Tepatna dengan istrinya. Menurut Mi'an istrinya serong dengan lelaki di wilayah kami. Mi'an sudah tau orangnya. Rencanana teh mau disamperin laki-lakinya minggu ini kalau masih berhubungan dengan istrinya". Roja bercerita matanya melihat ke sana kemari seperti sedang mengarang cerita. Kadang-kadang ke arah teman-temannya satu persatu.

"Oke. Terus?" Petugas melanjutkan pertanyaannya.

"Ya mungkin ini ada hubungannya dengan laki-laki itu, Pak. Sudah pak. Itu saja laporan dari saya mah." Roja berhenti bercerita. Tak kuat menahan sedih ditinggal teman yang sekaligus menjadi tetangganya.

"Baik selanjutnya..." petugas mempersilakan.

Rutus maju terlebih dahulu. Dia termasuk aneh. Mungkin orang paling aneh di antara pa ogah lainnya. Teman-temannya selalu bilang Rutus "Teu cageur (sakit)". Dia selalu kencing di mana saja. Jorok. Tangannya sarang milyaran kuman. Dia makan nasi tanpa mencuci tangan dan tak akan dicuci lagi tangannya kalau sudah makan. Jilatan-jilatan di sekeliling jari sebagai pembersihnya. Kucing juga sehat menjilati badannya. Kucing bahkan memiliki indra penciuman yang tak kalah tajam dengan anjing. Selalu saja merespon seperti itu kalau diingatkan tentang kebersihan. Dan parahnya, tangan kotornya akan sengaja dipeperkan pada tangan-tangan pemberi uang gope. Apalagi kalau wanita yang memberinya. Tangannya pasti dikenakan dengan pengemudi. Teu cageur memang. Tapi kalau urusan koin, Rutus paling rakus. Tidak ada yang tahu di saku celananaya masih tersimpan koin gope berdarah tempo hari. Tidak ia simpan di mana saja, tidak ia cuci.Jangankan celana luarnya, celana dalamnya pun jarang diganti. Teu cageur.

"Ya, silakan..." petugas mempersilakan bercerita seperti Roja.

"Euuh, ari saya mah ga kenal deket sih, pak sama Mi'an. Ngan kemarin-kemarin, Mi'an sempat berbisik sama Roja, pak. Mungkin ngomongin saya, pak. Soalnya mata Mi'an melihat ka saya terus. Awalnya saya ga enak pak dilihat begitu. Tapi akhirnya saya tau, kalau sorenya Mi'an bilang ke saya minta tolong untuk menyimpan Cingunguk (kecoak) di salah satu tukang ojeg wilayah kami. Katanya tukang ojeg itu takut sekali cicunguk. Bisa mati orang itu kalau bertemu kecoa. Saya saat itumerasa dibutuhkan oleh Mi'an. Saya pikir, Mi'an dan Roja membicarakan saya tentang hal-hal buruk. Apalagi tadi kata Roja, Mi'an punya masalah keluarga..." Rutus mengakhiri cerita.

"Itu menyimpan kecoak sebagai peringatan pertama?" tanya petugas.

"Ya, memangnya kemana lagi arahnya, pak?" jawab Rutus.

"Kamu melakukannya?"

"Ah, atuh, pak. Engga lah. Takut dosa. Gimana kalau tukang ojeg itu mati beneran. Saya mah cukup tau aja kalau Mi'an percaya sama saya."

"Terus?"

"Ya udah. Paling itu saja urusan saya akhir-akhir ini mah...gada lagi, pak".

Sepertinya Rutus menyembunyikan cerita koin berdarahnya. Petugas juga seperti tidak percaya. Teman-temannya apalagi.

"Baik, selanjutnya..." Petugas tak mau berlama-lama mengambil informasi.

Aang dan Ram saling menunjuk. Akhirnya Ram duluan yang maju.

"Assalamualaikum, pak..." Sapa Ram.

Ram dikenal paling relijius di antara kami. Setiap terdengar suara azan, pasti Ram tidak ada di pangkalan. Di SMA kemarin, dia aktif sebagai rais organisasi Islam. Tapi itu tidak berguna sama sekali bagi Roja. Ram yang duluan memberi saran untuk mengambil uang makan dari hasil sumbangan para pengendara. Rais macam apa mengambil harta anak yatim. Walaupun dalihnya ini kondisinya seperti amil zakat, yang berhak juga mendapatkan bagian. Tapi biasanya begitu, orang seperti Ram suka mendalili amal. Bukan mengamalkan dalil.

"Waalaikumsalam. Langsung saja. Seberapa dekat sodara kenal dengan korban?" tanya petugas.

"Dekat, pak. Kang Mi'an suka ngasih saya uang. Kadang suka ngasih rokok juga. Saya tidak tahu kalau kang Mi'an suka minjem ke A Roja juga. Tapi intinya baik banget lah A Roja dan kang Mi'an mah". Jawab Ram dengan tenang. "Oh, iya, semoga kang Mi'an husnul khotimah, pak. Aamiin". Ram melanjutkan tanpa diminta.

"Baik kalau begitu. Terima kasih. Silakan kembali ke tempat duduknya".

"Nuhun, pak". Ram melihat ke arah Aang. Seperti memberi isyarat sekarang bagiannya.

Aang langsung mengangguk. Duduk dan siap menjawab pertanyaan petugas.

"Coba ceritakan..."

"Begini, pak. Saya jujur saja, yak....

Aang langsung menyambar pertanyaan petugas.

"Pembunuhnya itu Rutus. Pagi-pagi betul ia mengambil koin berdarah dari puluhan koin gope yang berserakan di selokan..."

Rutus kaget. Ia tidak terima. Tapi petugas meminta teman-temannya, Roja dan Ram menenangkan Rutus.

"Saya yakin, karena Rutus tidak sehat, dia menyimpan koin itu untuk kenang-kenangan tentang Mi'an. Geledah saja saku celananya. Kalo A Roja tidak mungkin, pak. Walopun A Roja mengaku sangat dekat dengan Mi'an, tapi cerita tentang masalah keluarga Mi'an itu tidak sepenuhnya benar. Mi'an selalu bercerita semuanya pada saya, pak. Keluarganya baik-baik saja. Dia malah selalu memanas-manasi saya, pak. Hahaha 'Hidupnya tinggal disukurin saja'. Begitu katanya, istrinya sudah begitu cantik dan baik. Salah kalau A Roja bilang punya masalah keluarga. Rutus membunuh Mi'an hanya gara-gara koin. Biasalah. Tanya A Roja dan Ram. Pasti Mi'an banyak cek-cok itu dengan Rutus. Dan kami semuanya tahu, kalau yang gila koin di sini tuh, Rutus".

Rutus semakin tak terkendali. Roja memegangnya erat-erat. Ram selalu menyelangi dengan kalimat istighfar.

"Kalau Ram, lah sudah lah, pak. Dia anak kesayangan Mi'an. Membicarakan orang lain saja dia tidak mau. Apalagi membunuh orang".

Kalimat terakhir itulah yang membuatku dipindahkan dari ruangan ini. Berbeda dengan tiga temanku lainnya.

"TERUS KUMAHA CARITANA NAHA JADI MANEH NU DI PENJARA?" tanya laki-laki brewosan di dalam penjara. Penasaran mengapa aku berada di sini sekarang.

Aku termenung.

Meski sekarang aku dalam penjara, aku selalu berlangganan koran dan berbicara dengan petugas yang bertanya pada kami waktu itu. Katanya, A Roja memberitahu bahwa laki-laki yang serong dengan istri Mi'an itu adalah aku. Ram tidak mungkin membicarakan orang lain, akhirnya dipaksa oleh petugas, demi kebenaran, ia harus membicarakan orang lain. Dan Ram membicarakan semuanya tentangku, termasuk jadwal ketemuan antara aku dan Rani, istri Mi'an super cantik itu. Ram memang tahu semuanya, hanya aku percaya dia tidak mungkin membicarakan pada siapapun. Rutus, darah di koin itu tidak akan dicuci. Dengan darah itu, ia bisa mencium siapa pembunuh sebenarnya. Dan seperti campuran manusia, kucing dan anjing. Anjing kau rutus! Dia memberi tahu kalau aku adalah pembunuh sebenarnya.

Jalanan Pasir Impun dini hari begitu lengang. Mi'an tahu kalau malam-malam waktu aku mangkal dan berjaga menjadi pa ogah. Dia marah-marah mendatangiku. Tak pikir panjang. Demi Rani yang super cantik, aku membunuh Mi'an dengan menusuk perutnya beberapa kali. Masih belum mati, aku memasukan semua koin yang ada dalam saku celanaku ke dalam sayatan perutnya yang menganga akibat tusukan. Aku injak beberapa kali perutnya. Menusuknya lagi. Oh begitu nikmat.

Rani mungkin tersenyum bangga padaku.

"AANG?!! AWAS ITU KECOAK!" Tanya laki-laki lain dalam penjara membuyarkan lamunanku.  

Aku terperanjat loncat.


Back to top