Makam Sutet

Suasana senja Sawah Lebak begitu romantis. Tidak seperti sore-sore biasanya yang sering diguyur hujan, kali ini nuansa surga dunia hadir di sini. Burung-burung sudah kembali ke beberapa pohon sekitaran sawah yang sebentar lagi akan dipanen. Pohon kemiri tua sebelah utara paling laris diserbu kawanan burung yang sudah kembali dari mencari rezeki entah kemana. Balik kandang.
Sebentar lagi azan Magrib. Angin sore pun begitu pelan mengalun namun tajam menikam sehat. Para petani sudah kembali beberapa jam lalu setelah Asar. Termasuk Mbah Endon, pemilik perkebunan singkong yang kini terlihat rimbun hijau tua tersilap senja menguning. Mbah Endon sesepuh di kampung kami. Tahu betul tentang sudut setiap kampung, termasuk Sawah Lebak. Ada pemandangan yang tidak sama dengan romantisnya senja di pesawahan manapun. Sawah Lebak dikenal oleh orang sekitar bukan sebagai pesawahan, tapi sebagai tempat yang beberapa bulan lalu sempat ramai karena akan dibangun tiang sutet sebagai tiang listrik penyambung kampung kami dengan kampung seberang sungai Cimanuk. Tidak ada yang salah, aparat kampung pun sudah mengijinkan. Sawah Lebak jauh dari pemukiman.
Berbeda dengan aparat dan sebagian besar warga desa, keluarga Raden Agus Sodikin punya pendapat berbeda tentang izin pendirian tiang itu. Keluarga raden sangat terpandang di kampung kami. Terkenal sebagai keluarga yang sudah membangun beberapa sarana sosial di kampung. Masjid Nur salah satunya. Masjid yang sering dipakai solat Jumat itu adalah masjid Jami perkampungan yang depan halamannya selalu mengkilap batu peresmian lengkap dengan tanda tangan R.A Sodikin. Madrasah perkampungan menjadi dua lantai jugs ditanda tangani sang raden sebagai pembangun inti.
Kepala desa yang kini dipimpin oleh generasi muda belum paham tentang bahayanya suluk. Arti menghormati dan "menganggap" ada orang tua kami jangan sok penting sendiri. R.A Sodikin tidak pernah dilibatkan dalam perizinan pembangunan tiang sutet di Sawah Lebak. Menurut keluarga raden tentu saja. Lokasi sudah paling strategis. Tidak berbatu dan tidak pula curam mendekati Cimanuk begitu ceramah pa kepala desa di setiap kumpulan warga.
Satu hal yang mengganjal raden, di sana ada makam keluarga R.A Sodikin. Termasuk makam mantan kepala desa yang sekaligus adalah ayah raden Agus. Itu alasan mengapa R.A Sodikin tidak akur dengan kepala desa sekarang. Dan  mau tidak mau, tiang sutet kini sudah berdiri tinggi tegak menandingi pohon kemiri. Bahkan lebih tinggi. Tepat di bawahnya adalah tiga makam leluhur R.A Sodikin. Memang tidak terganggu. Kaki tiang sutet berada tepat di sudut-sudut tiap makam.

***
Sawah Lebak senja ini diguyur hujan. Pasti malam ini tidak akan terlihat bulan purnama. Kilatan petir menyambar sekitaran tiang sutet. Seolah ingin mengenai sasarannya. Tidak terlihat burung-burung beterbangan. Hanya satu dua binatang melata terlihat keluar dari tanah, menikmati irama hujan lebat. Angin pun bertiup cukup kencang. Dedaunan singkong bergoyang tak tentu arah. Air mengucur deras membasahi rangka-rangka tiang sutet yang menembus ke dalam tanah. Air sungai Cimanuk pun terdengar bergemuruh. Sangat deras.
Di tengah hujan deras di Sawah Lebak, terlihat seseorang merunduk di bebatuan pinggir sungai Cimanuk. Arahnya hanya melewati kebun singkong yang sebentar lagi akan dipanen. Ah, biasanya sebagian besar singkongnya pasti busuk. Tempatnya tidak begitu jauh dari pohon kemiri, tiang sutet dan sungai Cimanuk. Itulah alasannya mengapa singkongnya banyak yang busuk. Terlalu banyak air kotor merembes. Begitu kata warga kampung. Tidak ada yang berani menerjemahkan air yang kotor itu bersumber dari sungai Cimanuk atau sari air dari pemakaman keluarga R.A Sodikin. Mbah Endon pun si pemilik kebun tidak banyak bercerita. Tidak ada yang berani berkomentar tentang keluarga raden. Dari sebelah barat, seseorang berlari menembus derasnya hujan. Sejenak berhenti melihat sekeliling Sawah Lebak, seperti mencari sesuatu. Ia mencari jalan ke arah sungai, berlari menghampiri orang yang sedang merunduk yang kini semakin kuyup tersiram hujan.
"Rama, maafkan Agus..." Bisik seseorang sambil menggenggam tangan tua bergelimang tanah kotor. Tidak bergerak sama sekali.
"Agus tak seharusnya melakukan ini...maafkan, Rama."
Azan Magrib sudah terdengar dari masjid Nur. Dari kampung seberang juga sudah menyaut. Agus sang raden menggendong lelaki tua itu. Memapahnya namun tidak berhasil. Tidak akan pernah berhasil. Agus menggendong mayat ayahnya yang terkubur puluhan tahun silam.
Jasadnya masih utuh.
Keluarga raden terkenal dengan ritual Aji Ragad Bestari. Ajian yang tidak akan pernah dilakukan oleh orang-orang biasa. Mengawetkan jenazah dengan balutan sari kemiri, daun singkong kering kuning, dicampur dengan serbuk bebatuan aneh milik leluhur raden. Bebatuan tanah lapis ke tujuh.
Hampir setiap hujan deras disertai petir, jenazah raden Karsa akan bangkit keluar. Raden Agus curiga ini semua gara-gara pendirian tiang sutet.

===
"Raden Agus pasti sedang berlari menuju Sawah Lebak..." Bisik Mbah Endon sambil menatap ke luar jendela dari rumah panggung biliknya. Asap rokok dari tembakau racikan lokal semakin pekat menandingi pekatnya kabut hujan di luar yang masih sangat deras.
"Jarang yang tahu dari ajian Ragad Bestari ini. Jenazah akan senantiasa bangkit di waktu yang sama saat dimakamkan. Kalau raden Karsa dimakamkan jam 5 sore saat hujan deras 25 tahun silam, maka ia akan senantiasa bangkit keluar kalau ada hujan deras di jam 5 sore. Sebelum tiang sutet dibangun, akulah yang sering menguburkannya lagi. Raden Karsa begitu payah tak bisa berjalan jauh. Anehnya ia bisa bangkit, seperti terpaksa harus bangkit dan menjauh dari tanah. Kadang-kadang hanya sekadar bangkit saja, tidak mendekati batu di pinggir sungai. Tidak bisa apa-apa. Mengerang dalam bisikan. Bahkan dua makam lainnya, istri raden Karsa dan adik raden Agus yang dikuburkan siang hari, sudah aku pindahkan ke kolong rumah panggung ini. Mereka langsung bangkit di tujuh harinya. Masyarakat kampung sini, tidak boleh ada yang tahu dan tidak boleh ada yang ketakutan...Belum ada yang bisa menghilangkan ajian ragad bestari ini". Tutup Mbah Endon sambil merapikan daun singkong kering kuning di atas tungku tanah, sari kemiri pun sudah rapi dalam penyimpanan dan terlihat bebatuan aneh satu persatu dikeluarkan.

Aku dapat melihat semua gerak-gerik yang ada di rumah ini walau mataku masih terpejam di kamar ini. 60 tahun silam, kamar ini menjadi kamar pengantin aku dan si Mbah.

"Sayang, sudah saatnya kau bangkit malam ini..."

Ini menyakitkan sekali.


0 comments:

Post a Comment

Back to top