Garamnya Hidup
Malam minggu ini sepertinya akan hujan. Gerah terasa menyelimuti daerah Cikadut dan sekitarnya. Jangan seperti minggu lalu, hujan 20 menit menyisakan genangan air depan pom bensin di jalur lurus. Pom bensin Cikadut terkenal ramai. Lalu lalang seliweran kendaraan membuat Cikadut semakin terlihat sibuk. Belum lagi ditambah banjir. Bisa merayap atau bahkan diam sama selali. Tidak ada yang menarik di jalanan ini. Hanya suara klakson saja dari ratusan kendaraan yang jadi hiburan aneh. Beberapa orang mengimbangi klakson dengan umpatan dan kontak mata yang buas.
Aku, selalu berada di sini. Di tempat yang sudah disewa empat bulan kemarin. Tidak begitu ramai. Kontras sekali. Kasihan. Ada yang bilang harga nasinya mahal. Ada juga yang berbisik nasi gorengnya kurang garam. Tidak banyak pembeli nasi goreng di sini. Mungkin ada benarnya. Tapi apalah daya. Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya melihat mang Ibo, sang penjual nasi goreng, duduk termenung, mengotak-atik HP monofoniknya. Dan ooh, iya, tentu saja sambil mendengarkan tembang Cianjuran atau pop Sunda dari radio bututnya. Heran, di tahun sekarang, di terangnya cahaya lampu jalanan, warna-warninya LED dari pom bensin dan cerahnya supermarket sebelah kami, mang Ibo masih menyimpan radio batre.
Dia sudah berumur. 50 tahunan usianya. Awalnya di kampung sana, Majalaya, mang Ibo bekerja sebagai tukang kayu. Namun ya begitu, "teu uyahan" kata orang-orang. Tidak memiliki cita rasa yang tinggi. Barang-barang yang dibuatnya seperti hambar "ngasal". Mang Ibo tentu sudah berusaha. Banyak tetangganya yang menyuruhnya membuat lemari baju, lemari aquarium, lemari TV, kursi sederhana, kusen pintu, jendela...itu belasan tahun yang lalu. Mang Ibo tidak menerima lagi pesanan sebagai tukang kayu. Lebih tepatnya, barangnya tidak diterima orang sekitar. Mang Ibo tetap berusaha, menjadi petani setelah itu. Lumayan, ada sawah untuk digarap, kebun untuk ditanam. Tidak luas, tapi lumayan, ada aktivitas. Dan sekarang, ada di sini. Ngontrak di rumah kecil daerah Cikadut Dalam. Sendirian. Ia tidak berkeluarga.
Aku tahu semua ceritanya, karena kang Asa, tukang martabak di sebelahnya bertanya pada mang Ibo. Lain mang Ibo lain kang Asa, martabaknya laris manis. Kang Asa sudah puluhan tahun mangkal di sini. Beberapa pelanggan kang Asa itulah yang membeli nasi goreng mang Ibo. Seolah seperti tidak sengaja. Dan akhirnya tidak membeli lagi dengan sengaja. Alasannya sepele: kurang garam. Bagiku itu sepele. Lagian, kalau kurang garam, mengapa orang-orang tidak mau menambahkan lagi garam ke nasi gorengnya? Itu bukan masalah besar. Harga 13 ribu juga aku pikir wajar. Banyak sekarang nasi goreng yang lewat dari 15 ribu. Dan tak tahulah...mungkin juga kurang garam.
Aku tidak membela mang Ibo. Ya, boleh juga kalian terjemahkan ini sebuah pembelaan atau alasan mengapa mang Ibo tidak mau menikah.
Aku dari Indramayu. Aku kenal mang Ibo belum begitu lama. Kami bersua di meja ini. Meja tempat makan. Mang Ibo tidak banyak berbicara tentang situasi, tentang jalanan macet, tentang martabak kang Asa yang ramai. Tidak. Mang Ibo tidak berbicara kalau tidak ditanya.
Akhirnya, penglaris pertama di malam yang dingin ini datang juga. Sepasang muda-mudi memakai jas hujan duduk di meja.
"Pesan dua, kang. Yang satu pedes yang satu sedang aja". Kata lelaki berkacamata seperti sudah tahu betul kesukaan kekasihnya. "Eh, kang, yang satu telornya didadar, yaa" si wanita menambahkan. Oh, ternyata dugaanku keliru. Mereka belum terlalu kenal satu sama lainnya.
Mang Ibo langsung menyalakan kompor gasnya. Mengambil bumbu andalan khas mang Ibo. Diaduk-aduk dalam wajan, dan tak lupa mengalas nasi dingin yang sudah dimasaknya tadi pagi ke dalam piring plastiknya. Untuk mengukur porsi. Sebagai penjaga meja, aku tersenyum ke arah pelanggan. Mereka meminta izin melepas jas hujannya yang basah di atas meja. Aku mengizinkan. Mang Ibo tersenyum.
Kang Asa masih sibuk membuat martabak. Tidak perduli hujan, apalagi langit berbintang, martabak kang Asa selalu ramai. Khususnya dari komplek depan sana.
Saat ada pembeli seperti ini, mungkin bagi mang Ibo ini hal terkikuk. Dia tidak tahu nanti harus duduk di mana. Dia tidak bisa duduk di lapak kang Asa. Kecuali kalau kang Asa memintanya. Paling seperti biasa, nanti Mang Ibo duduk di samping roda mengawasi jalanan sambil menyalakan rokoknya. Satu pembeli, satu rokok. Tidak ada yang membeli, tidak boleh merokok. Begitu prinsipnya.
Akhirnya pesanan selesai. Wangi sekali nasi gorengnya. Dari tampilan saja begitu menggoda. Telor dadarnya selalu mengembang. Nasi gorengnya tidak lengket, mantap. Mengapa banyak orang tidak mau membeli nasi goreng di sini?.
Inilah saat yang paling ditunggu-tunggu. Aku selalu gugup kalau nasi goreng sudah di atas meja. Menunggu disantap oleh pembeli. Ini menjadi penentu apakah mereka akan kembali lagi ke sini atau tidak sama sekali.
"Duuh, ngebul begini". Kata wanita yang wajahnya penuh jerawat. "Enak, lho, Yang. Dingin-dingin begini". Jawab sang lelaki bersemangat.
"Tapi, ya tunggu dingin aja dulu, Yang". Susul si lelaki menambahkan. Seolah takut pada si wanita.
Akhirnya si lelaki menyimpan nasi gorengnya menemani kekasihnya bermain HP. Mang Ibo benar saja. Sudah menyalakan rokok pertamanya sambil melihat jalanan yang macet tersiram gerimis. Aku seperti sedang menilai, duduk di sini dengan cemas menunggu nasi gorengnya disantap.
"Yang, aku serius ingin menikah dengan kamu". Ucap si lelaki.
Suasana terasa sangat dingin. Terdengar radio butut mang Ibo menyiarkan lagu romantis dari band kenamaan anak negeri. Belum sampai reff, mang Ibo langsung mencari gelombang musik Sunda.
Akhirnya ada lagu Duriat dari Darso.
Mang Ibo batuk. Senang sekali mendengarnya.
Duriat teu bisa diaya-aya. Cinta kasih tidak bisa dibuat-buat.
Duriat datangna henteu kasorang. Cinta kasih datangnya tidak bisa diprediksi.
"Yakin kamu mau nikah sama janda? Yakin orang tua kamu mengizinkan? Kamu masih muda. Masih bisa mencari yang lain..." Si wanita mulai menyimpan HPnya. Mengambil sendok dan garpu. Mengelapnya dengan tisu berwarna putih. Aku tahu betul posisi-posisi mereka. Tisu, sendok garpu, acar dan kumpulan gelas dengan teko plastik berisi air teh. Mereka selalu serasi ada di sana. Menambah kesan usaha nasi goreng mang Ibo bukan main-main. Tangan si wanita kini mulai mengaduk-aduk nasi gorengnya yang masih sedikit ngebul.
Aku menatapnya dengan serius. Mang Ibo tidak boleh kalah dari kang Asa. Harus ada testimoni rasanya nikmat atau minimal rasanya pas.
Dan akhirnya suapan pertama mulai menuju mulut si wanita.
"Kakak-kakakku mengizinkan, Yang!" Si lelaki merespon.
"Ibumu??!!" Si wanita seolah kesal. Sendoknya disimpan lagi.
Suapan pertama gagal. Belum masuk ke mulut.
"Aku bete sih kalau udah ngomong-ngomong begini...udah berulang-ulang, diulang-ulang lagi, kejadian lagi" wanita itu melanjutkan.
Sekarang sang lelaki mulai mengambil sendok dan garpu, mengaduk-aduk nasinya dan tidak berpikir panjang, langsung melahap nasi gorengnya. Terlihat marah dengan respon kekasihnya. Atau temannya.
Seperti tidak ada waktu bagiku untuk membayangkannya. Wajah si lelaki terlihat aneh untuk beberapa saat. Tapi langsung mengambil lagi suapan yang kedua.
Ah, sukur. Pasti enak dilidah si lelaki. Tapi aku tidak begitu percaya dengan lidah laki-laki yang sedang marah. Apalagi yang sedang ingin menikah. Semuanya terasa begitu indah dan lapar.
Dan sekarang si wanita pun mengambil suapan yang sempat terganggu.
Hap! Nyam nyam...
Wajah si wanita pun terlihat aneh. Ini pertanda tidak baik. Kekasihnya jangan sampai tahu keberadaanku.
"Aku tidak mau tau. Kamu harus menikah denganku." Si lelaki melanjutkan sambil terus makan.
"Hidupku akan terasa lebih..." Belum sempat melanjutkan. Si wanita merespon:
"Terasa hambar. Kurang mantep nasi gorengnya. Kurang garem..." Si wanita berbisik.
"Tuh...garem." Si lelaki menunjuk ke arahku.
Dan benar saja.
Dia tersenyum kecut. Aku balas senyum manis.
Aku tersenyum memohon maaf atas kebiasaan mang Ibo yang tidak pernah memberikan garam dalam bumbu nasi gorengnya.
cerpen
0 comments:
Post a Comment