Anak Siapa?
July 22, 2020
Posted by
yogaptek
| Waktu baca:
Hari kemarin, kampung kami tidak seperti biasanya. Jalan kecil masuk dan keluar kampung dipenuhi para warga yang berdesas desus tidak bisa ditebak. Kami yang melintas menggunakan motor, sempat berhenti di satu kerumunan warga, yang salah seorangnya kami kenal dengannya. Teten si penutur adalah teman kami yang jago bercerita.
"Ten, ini ada apa?"
"Ini, kita lagi menunggu polisi balik...tunggu aja di sini". Teten serius menjawab. Ia mulai menjauh mendekati kerumunan yang lain. Ah, tumben ceritanya tidak menarik.
Tidak ingin mengetahui lebih panjang, motor kami kembali melaju. Namun, kami harus terhenti mendadak sesaat di gang depan pun beberapa aparat desa sudah menutup jalan. Motor kami terpaksa dimatikan.
"Say, turun dulu!"
Istri saya pun turun dari motor. Kami berdua baru pulang dari rumah si ibu. Katanya ibu sakit. Sudah beberapa hari tidak mengajar.
"Aya naon ieu téh?" Saya bertanya lagi pada orang yang tidak dikenal. Kampung kami lumayan luas. Tidak semuanya saling kenal.
"Emmh..., si Duda!" Jawab seseorang dengan nada tinggi, seperti berteriak.
Saya mulai memahami situasi. Duda warga kampung yang terkenal sebagai pemulung dan sebagian menyebutnya sebagai orang sakit, saya mengenalnya. Dia murid si Ibu juga di sekolah dasar kampung kami. Memangnya ada apa dengan si Duda? Dia tidak pernah melakukan hal-hal aneh selain mengangkut kardus dan kadang di roda bututnya diangkut juga bambu kering untuk nantinya dibakar.
"Kejam pisan atuh éta mah..." Bisik seseorang di sudut sana.
"Iya, lah. Biar kampung kita aman-aman saja. Kudu dipenjara tah si Duda téh." Timpal seseorang lagi.
Mengapa harus digiring ke kantor polisi? Padahal ada rehabilitasi sosial untuk orang yang sudah tidak memperhatikan penampilan dan kebersihan badannya. Apa yang sebenarnya terjadi.
Umar, salah satu aparat desa yang jauh lebih muda dari saya juga hadir. Kebetulan sekali. Sepertinya ini sangat serius, aparat desa semuanya hadir di sini. Beberapa dari mereka bersama warga, menonton dan menertibkan, beberapa lagi ikut mengiring bersama dua polisi. Aku tidak begitu jelas melihat Duda.
"Mar, aya naon ieu?!" Tidak canggung untuk memanggilnya langsung tanpa titel bapak, toh dia memang masih muda dan dia belum menikah. Kasihan Umar. Katanya sudah mau menikah tapi ditinggal terus oleh calon istrinya. Sudah dua kali dia gagal. Katanya pernah terdengar ocehan, lebih baik ditinggal sebelum menikah dari pada setelah menikah. Ah, itu mah bisa-bisanya Umar menguatkan hatinya.
"Umar!! Aya naon ieu?!" Tanya saya semakin meninggi. Dia sepertinya tidak terlalu menghiraukan.
"Mar?!"
"Udah, A. Ikut saja. Insya Alloh aa aman".
"Mar! Ko saya digiring bareng polisi?!. Itu istri saya mau pulang. Motornya gimana, Mar?!"
"Kasihan yaa si Duda sampai begitu. Sudah lama ditinggal istrinya, roda bututnya dianggap motor". Terdengar seseorang berbicara.
"Ih, kasihan lagi bu Teti atuh ibunya. Wajah ibunya remuk digebukin Duda pakai genteng. Kalau ga dihentikan Mira sang tetangga, bu Teti kayanya mah udah meninggal. Darahnya atuh Ceu, kemana-mana, iyh."
"Bu Teti padahal guru teladan, ya. Guru yang baik dari kampung ini. Mengapa dia tidak bisa mendidik anaknya?".
cerpen
Subscribe to:
Post Comments
(Atom)
0 comments:
Post a Comment