Rasminah: Lingkar Amarah
July 22, 2020
Posted by
yogaptek
| Waktu baca:
Bandung 2014.
Rasminah adalah tulang punggung keluarga. Suaminya, Badri, meninggal 6 tahun yang lalu. Mereka dikaruniai dua anak laki-laki. Iwang si sulung yang kini kelas 2 SMA dan Cahya, si bungsu kelas 3 SMP. Ceu Minah biasa orang-orang memanggilnya awalnya tak sanggup untuk membayangkan kehidupan tanpa Badri. Apalagi Badri pekerja tetap di salah satu pabrik konveksi di jalan A.H. Nasution. Gaji bulanan tidak pernah dirasa kurang oleh Minah dan keluarga. Namun, semenjak kejadian itu...
Setelah warga Cicabe dikejutkan oleh penemuan mayat di pohon jambe belakang mesjid As-Salaam. Belakang rumah Badri. Entah apa yang ada dipikiran Badri saat itu, saat hujan deras disertai kilatan petir dengan ritme tak menentu, Badri memanjat pohon jambe. Ia ingin membetulkan kabel listrik yang sedikit menyangkut tak elok ke salah satu ranting jambe. Pastilah supaya tidak terjadi kosleting. Pasti itu yang ada di pikirannya. Tapi siapa yang tahu kalau kabel berumur puluhan tahun itu kini sudah tak lagi mulus. Ranting jambe memakan kabel itu dari waktu ke waktu.
Hujan bertambah deras ditambah angin menuju selatan.
Rasminah sedang menjemput anak-anaknya yang saat itu belajar di madrasah sore.
Petir besar saling bersahutan seolah ingin mengabarkan kematian Badri. Rasminah tak bisa menangis. Ia harus terlihat tegar di depan anak-anaknya. Rasminah harus terlihat kuat di depan puluhan orang yang memangku jasad gosong pujaan hati.
Tidak ada yang tidak, semuanya mengucapkan "....yang sabar, yang tabah. Yang kuat..." Rasminah terdiam.
Semuanya kelam. Sesak. Hampa.
"Itu 6 tahun yang lalu, Kang". Ucap perempuan yang sekarang sudah berubah. Tidak lagi meminjam beras pada Tuti tetangganya atau meminjam uang 5 ribu untuk membeli tahu, menu makan kesukaan dan keterpaksaan. Kini Rasminah punya penghasilan. Sudah hampir 2 bulan ia berjualan sayuran depan garasi warga sekitar. Siapa orang Cicabe yang memiliki kendaraan roda empat, biasanya akan menyewa garasi yang hanya berjarak 200 meter dari rumah Rasminah. Barang dagangannya yang berat biasa dibawa oleh anak-anaknya. Rasminah tidak punya pilihan untuk menggelar jualannya di tempat lain. Ini paling aman dan tidak perlu menyewa. Hanya kalau ada warga yang kebetulan akan mengeluarkan mobilnya, Rasminah harus menggeser semua dagangannya yang digelar di terpal merah muda. Mudah bagi Rasminah. Toh itu tidak sering. Karena Rasminah hanya berjualan dari jam 5 pagi sampai jam 6 kurang. Rasminah tetap bahagia. Usaha Rasminah pun
laris. Banyak warga yang membeli sayuran dan bagi mereka yang malas pergi ke pasar, Rasminah siap membelikannya.
Sore itu hujan turun deras. Rasminah rebahan beristirahat di sofa cokelat bututnya. Untuk menghilangkan sakit di pinggangnya. Kebanyakan menarik terpal merah muda katanya sambil bercanda kalau anak-anaknya bertanya.
Hujan masih deras. Tiba-tiba ia teringat kematian suaminya 6 tahun silam.
"Tuhan, ampuni dosa suami hamba". Air matanya menetes.
"Tidak banyak keinginan semasa hidupnya...ia hanya ingin sekali melihat pohon jambe tanpa kabel listrik melintas di atas pohon itu. Engkau pasti tahu bahwa hari kematiannya bukanlah kali pertama suami hamba memanjat pohon itu. Hamba melihatnya sudah puluhan kali suami hamba memanjat pohon untuk menyimpan sesuatu. Papan, bambu, bahkan seng pernah dipasang untuk menghalangi kabel masuk ke sela-sela daun. Namun semuanya sia-sia. Hamba tidak tahu kalau setiap kali suami hamba naik ke atas pohon, amarahnya naik juga".
Rasminah menangis sampai ia tertidur...
***
Sekarang tahun 2020. Iwang anak sulung Rasminah sudah satu minggu bekerja di pabrik bekas ayahnya. Iwang sarjana muda (diploma) dari jurusan teknik mesin di salah satu universitas negeri di kota Bandung dan sudah satu tahun lebih berjualan dengan ibunya. Keahliannya adalah di bidang mesin. Tak sedikit mobil-mobil yang bermasalah di garasi Gofar diperiksa mesinnya oleh Iwang.
Dan sekarang, nasib baik itu akhirnya datang juga. Iwang mulai memakai seragam pabrik. Itu semua tidak lepas dari peran Rasminah. Rasminah selalu menjalin komunikasi baik dengan orang-orang pabrik.
Sayang, Rasminah tidak bisa menyaksikan hasil usahanya memasukkan Iwang ke pabrik tempat Badri bekerja.
Iwang kini bekerja demi Cahya. Adik satu-satunya. Pulang bekerja, ini momen paling bahagia bagi Iwang, Iwang membuka seragamnya. Ia mulai rebahan di sofa cokelat yang butut.
Hujan di luar mulai turun deras. Ia teringat kematian ibunya 6 bulan lalu yang tragis tertabrak mobil.
"Tuhan, ampuni dosa orang tua hamba". Air matanya mulai menetes.
Tidak banyak keinginan semasa hidup ibu. Ia hanya ingin sekali melihat anak sulungnya tidak melanjutkan jualan sayurnya. Harus masuk pabrik. Tapi sepertinya bukan itu. Engkau pasti tahu bahwa hari kematiannya bukanlah kali pertama ibu kesal dengan laju mobil. Hamba melihatnya sudah puluhan kali ibu memasang paku, menggembok garasi, dan merutuki nasib buruknya ditinggal bapak. Beras yang dipinjam, tahu yang dibeli, kami anaknya yang menghabiskannya, ibu yang mengutuknya. Semangat yang mendidih setiap harinya berharap memberikan kehangatan bagi nasib kami. Namun semuanya sia-sia. Hamba tidak tahu kalau setiap kali ibu menarik terpal merah mudanya saat mobil warga keluar garasi, tertarik juga amarahnya lewat kutukan dan mengerak dalam pikiran".
Iwang menangis sampai ia tertidur...
***
"Tuhan...ampuni kakak hamba kalau berangkat ke pabriknya selalu dilingkar amarah. Selamatkan ia di manapun ia berada".
Belum sampai 1 tahun, Bandung dihebohkan dengan kematian buruh pabrik yang tergilas mesin penggiling.
cerpen
Subscribe to:
Post Comments
(Atom)
0 comments:
Post a Comment