Koin
Pagi itu daerah simpang Pasir Impun macet total. Ramai sekali. Banyak orang ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. Polisi lalu lintas sudah memanggil teman lainnya untuk berjaga. Geger bukan main.
Mi'an ditemukan tewas bersimbah darah depan supermarket Pasir Impun Bandung. Warga sekitar mengenalnya. Mi'an adalah 'pak ogah' yang bekerja menyebrangkan mobil-mobil yang keluar masuk Pasir Impun. Tidak sepanjang hari, Mi'an hanya diberi waktu 4 jam dan sisanya bergilir ganti dengan teman-teman nongkrongnya; Roja, Ram, Rutus dan Aang. Sisa waktunya mereka gunakan sebagai tukang ojeg pangkalan atau menjadi tukang parkir di lahan tak bertuan dan paling penting banyak motor berdiam.
Tidak ada yang tahu dengan siapa Mi'an berurusan. Sebelum datang orang-orang yang membawa Mi'an ke rumahnya, Rutus sempat mengambil satu koin dari puluhan koin 500an yang berserakan di tempat kejadian. Koin berdarah. Tragis, perut Mi'an dipenuhi koin 500an. Tidak ada seorang pun yang tahu.
"Kasihan si Mi'an..." Ucap Rutus yang sudah menganggapnya sebagai kakak. Mi'an paling tua di antara empat teman lainnya. Ia meninggalkan seorang anak yang duduk di bangku SMP.
Merasa tidak terima dengan kematian Mi'an yang mendadak, Roja mengumpulkan teman-temannya untuk meramaikan kasus ini. Roja sang pemabuk dan berjiwa preman menahan semua tukang ojeg pangkalan untuk beroperasi. Kalaupun mau beroperasi, jangan di pangkalan samping supermarket. Hormati Mi'an selama seminggu.
Rutus ditemani Ram diatur Roja untuk memasang tali penghalang depan pangkalan. Tali plastik merah tak beraturan lengkap dengan tulisan 'USUT TUNTAS KEMATIAN Mi'an'. Ram yang baru lulus SMA bersemangat membawa papan meminta sumbangan untuk keluarga Mi'an. Tidak diberikan semuanya. Kadang makan siang dan rokok diambil dari sumbangan itu. Sedangkan Aang, yang dinilai pintar oleh teman lainnya, diminta Roja untuk menceritakan tragisnya kematian Mi'an pada siapapun yang bertanya atau yang tidak bertanya sekalipun. Termasuk pada pewarta. Sesekali Aang meminta, "biar aku saja yang bercerita". Mengirimkan cerita bombastis via media sosial di daerah Pasir Impun. Orang keren menyebutnya sebagai buzzer atau influencer.
Tidak sampai satu minggu kegiatan sosial tersebut, teman-teman Mi'an kini sedang sibuk dimintai keterangan oleh pihak kepolisian. Polisi tentu paling tahu, kematian seseorang itu biasanya akan selalu berdekatan dengan orang-orang terdekat. Namun tetap, selalu mengedepankan asas praduga tak bersalah. Tidak menuduh begitu saja. Biarkan pihak kepolisian menyelesaikan semuanya. Dimulai dari Roja. Roja paling semangat menjelaskan tentang hubungan dekatnya dengan Mi'an. Menyebutkan kalau Mi'an sering meminjam uang padanya untuk biaya sekolah anaknya. Bahkan, Roja dan Mi'an seperti keluarga. Sering melengkapi satu sama lainnya. Roja tahu masalah Mi'an di minggu ini.
"Di dieu wae pa ieu teh nyariosna? Ini masalah pribadi Mi'an. Bisi jadi aib. Ga enak euy udah meninggal orangnya". Roja meminta izin pada petugas yang sedang bertanya. Ia merasa keberatan kalau tiga teman lainnya mendengarkan permasalahan Mi'an selama ini.
"Ya, gapapa. Kalian pan sudah kenal dekat satu sama lainnya". Jawab petugas sambil terus mengetik.
'Mi'an gaduh masalah keluarga, Pak. Tepatna dengan istrinya. Menurut Mi'an istrinya serong dengan lelaki di wilayah kami. Mi'an sudah tau orangnya. Rencanana teh mau disamperin laki-lakinya minggu ini kalau masih berhubungan dengan istrinya". Roja bercerita matanya melihat ke sana kemari seperti sedang mengarang cerita. Kadang-kadang ke arah teman-temannya satu persatu.
"Oke. Terus?" Petugas melanjutkan pertanyaannya.
"Ya mungkin ini ada hubungannya dengan laki-laki itu, Pak. Sudah pak. Itu saja laporan dari saya mah." Roja berhenti bercerita. Tak kuat menahan sedih ditinggal teman yang sekaligus menjadi tetangganya.
"Baik selanjutnya..." petugas mempersilakan.
Rutus maju terlebih dahulu. Dia termasuk aneh. Mungkin orang paling aneh di antara pa ogah lainnya. Teman-temannya selalu bilang Rutus "Teu cageur (sakit)". Dia selalu kencing di mana saja. Jorok. Tangannya sarang milyaran kuman. Dia makan nasi tanpa mencuci tangan dan tak akan dicuci lagi tangannya kalau sudah makan. Jilatan-jilatan di sekeliling jari sebagai pembersihnya. Kucing juga sehat menjilati badannya. Kucing bahkan memiliki indra penciuman yang tak kalah tajam dengan anjing. Selalu saja merespon seperti itu kalau diingatkan tentang kebersihan. Dan parahnya, tangan kotornya akan sengaja dipeperkan pada tangan-tangan pemberi uang gope. Apalagi kalau wanita yang memberinya. Tangannya pasti dikenakan dengan pengemudi. Teu cageur memang. Tapi kalau urusan koin, Rutus paling rakus. Tidak ada yang tahu di saku celananaya masih tersimpan koin gope berdarah tempo hari. Tidak ia simpan di mana saja, tidak ia cuci.Jangankan celana luarnya, celana dalamnya pun jarang diganti. Teu cageur.
"Ya, silakan..." petugas mempersilakan bercerita seperti Roja.
"Euuh, ari saya mah ga kenal deket sih, pak sama Mi'an. Ngan kemarin-kemarin, Mi'an sempat berbisik sama Roja, pak. Mungkin ngomongin saya, pak. Soalnya mata Mi'an melihat ka saya terus. Awalnya saya ga enak pak dilihat begitu. Tapi akhirnya saya tau, kalau sorenya Mi'an bilang ke saya minta tolong untuk menyimpan Cingunguk (kecoak) di salah satu tukang ojeg wilayah kami. Katanya tukang ojeg itu takut sekali cicunguk. Bisa mati orang itu kalau bertemu kecoa. Saya saat itumerasa dibutuhkan oleh Mi'an. Saya pikir, Mi'an dan Roja membicarakan saya tentang hal-hal buruk. Apalagi tadi kata Roja, Mi'an punya masalah keluarga..." Rutus mengakhiri cerita.
"Itu menyimpan kecoak sebagai peringatan pertama?" tanya petugas.
"Ya, memangnya kemana lagi arahnya, pak?" jawab Rutus.
"Kamu melakukannya?"
"Ah, atuh, pak. Engga lah. Takut dosa. Gimana kalau tukang ojeg itu mati beneran. Saya mah cukup tau aja kalau Mi'an percaya sama saya."
"Terus?"
"Ya udah. Paling itu saja urusan saya akhir-akhir ini mah...gada lagi, pak".
Sepertinya Rutus menyembunyikan cerita koin berdarahnya. Petugas juga seperti tidak percaya. Teman-temannya apalagi.
"Baik, selanjutnya..." Petugas tak mau berlama-lama mengambil informasi.
Aang dan Ram saling menunjuk. Akhirnya Ram duluan yang maju.
"Assalamualaikum, pak..." Sapa Ram.
Ram dikenal paling relijius di antara kami. Setiap terdengar suara azan, pasti Ram tidak ada di pangkalan. Di SMA kemarin, dia aktif sebagai rais organisasi Islam. Tapi itu tidak berguna sama sekali bagi Roja. Ram yang duluan memberi saran untuk mengambil uang makan dari hasil sumbangan para pengendara. Rais macam apa mengambil harta anak yatim. Walaupun dalihnya ini kondisinya seperti amil zakat, yang berhak juga mendapatkan bagian. Tapi biasanya begitu, orang seperti Ram suka mendalili amal. Bukan mengamalkan dalil.
"Waalaikumsalam. Langsung saja. Seberapa dekat sodara kenal dengan korban?" tanya petugas.
"Dekat, pak. Kang Mi'an suka ngasih saya uang. Kadang suka ngasih rokok juga. Saya tidak tahu kalau kang Mi'an suka minjem ke A Roja juga. Tapi intinya baik banget lah A Roja dan kang Mi'an mah". Jawab Ram dengan tenang. "Oh, iya, semoga kang Mi'an husnul khotimah, pak. Aamiin". Ram melanjutkan tanpa diminta.
"Baik kalau begitu. Terima kasih. Silakan kembali ke tempat duduknya".
"Nuhun, pak". Ram melihat ke arah Aang. Seperti memberi isyarat sekarang bagiannya.
Aang langsung mengangguk. Duduk dan siap menjawab pertanyaan petugas.
"Coba ceritakan..."
"Begini, pak. Saya jujur saja, yak....
Aang langsung menyambar pertanyaan petugas.
"Pembunuhnya itu Rutus. Pagi-pagi betul ia mengambil koin berdarah dari puluhan koin gope yang berserakan di selokan..."
Rutus kaget. Ia tidak terima. Tapi petugas meminta teman-temannya, Roja dan Ram menenangkan Rutus.
"Saya yakin, karena Rutus tidak sehat, dia menyimpan koin itu untuk kenang-kenangan tentang Mi'an. Geledah saja saku celananya. Kalo A Roja tidak mungkin, pak. Walopun A Roja mengaku sangat dekat dengan Mi'an, tapi cerita tentang masalah keluarga Mi'an itu tidak sepenuhnya benar. Mi'an selalu bercerita semuanya pada saya, pak. Keluarganya baik-baik saja. Dia malah selalu memanas-manasi saya, pak. Hahaha 'Hidupnya tinggal disukurin saja'. Begitu katanya, istrinya sudah begitu cantik dan baik. Salah kalau A Roja bilang punya masalah keluarga. Rutus membunuh Mi'an hanya gara-gara koin. Biasalah. Tanya A Roja dan Ram. Pasti Mi'an banyak cek-cok itu dengan Rutus. Dan kami semuanya tahu, kalau yang gila koin di sini tuh, Rutus".
Rutus semakin tak terkendali. Roja memegangnya erat-erat. Ram selalu menyelangi dengan kalimat istighfar.
"Kalau Ram, lah sudah lah, pak. Dia anak kesayangan Mi'an. Membicarakan orang lain saja dia tidak mau. Apalagi membunuh orang".
Kalimat terakhir itulah yang membuatku dipindahkan dari ruangan ini. Berbeda dengan tiga temanku lainnya.
"TERUS KUMAHA CARITANA NAHA JADI MANEH NU DI PENJARA?" tanya laki-laki brewosan di dalam penjara. Penasaran mengapa aku berada di sini sekarang.
Aku termenung.
Meski sekarang aku dalam penjara, aku selalu berlangganan koran dan berbicara dengan petugas yang bertanya pada kami waktu itu. Katanya, A Roja memberitahu bahwa laki-laki yang serong dengan istri Mi'an itu adalah aku. Ram tidak mungkin membicarakan orang lain, akhirnya dipaksa oleh petugas, demi kebenaran, ia harus membicarakan orang lain. Dan Ram membicarakan semuanya tentangku, termasuk jadwal ketemuan antara aku dan Rani, istri Mi'an super cantik itu. Ram memang tahu semuanya, hanya aku percaya dia tidak mungkin membicarakan pada siapapun. Rutus, darah di koin itu tidak akan dicuci. Dengan darah itu, ia bisa mencium siapa pembunuh sebenarnya. Dan seperti campuran manusia, kucing dan anjing. Anjing kau rutus! Dia memberi tahu kalau aku adalah pembunuh sebenarnya.
Jalanan Pasir Impun dini hari begitu lengang. Mi'an tahu kalau malam-malam waktu aku mangkal dan berjaga menjadi pa ogah. Dia marah-marah mendatangiku. Tak pikir panjang. Demi Rani yang super cantik, aku membunuh Mi'an dengan menusuk perutnya beberapa kali. Masih belum mati, aku memasukan semua koin yang ada dalam saku celanaku ke dalam sayatan perutnya yang menganga akibat tusukan. Aku injak beberapa kali perutnya. Menusuknya lagi. Oh begitu nikmat.
Rani mungkin tersenyum bangga padaku.
"AANG?!! AWAS ITU KECOAK!" Tanya laki-laki lain dalam penjara membuyarkan lamunanku.
Aku terperanjat loncat.
cerpen
0 comments:
Post a Comment