Hujan Tua Akhir Tahun

Seorang ibu anak satu dan sedang mengandung anak keduanya kini sedang tersenyum. Rasa sakit yang tiba-tiba datang dari perutnya sudah tidak dirasa. Bulan ini adalah bulan prediksi kelahiran anak keduanya. Tidak ada yang membuatnya bahagia selain menanti kelahiran ini. Dan tentu saja, ditemani anak pertamanya yang kini sedang terpaku melihat keluar jendela, antara bingung atau sedang menikmati rintik hujan di luar sana yang kadang nadanya meninggi terbawa angin. Usia 1 tahun memang terlalu sedikit untuk memahami arti hujan tua di penghujung tahun. Ibunya terus bernyanyi 'tik-tik-tik-bunyi hujan di atas genting', anaknya kadang bertepuk tangan pelan dan tapi ia melanjutkan tatapannya ke luar jendela. Mematung disinari kilat sabung-menyabung.
"Itu hujan, Nak" ibunya mengingatkan.
Anaknya melirik perlahan, tersenyum.
Sore seperti ini, hujan seperti sudah teragenda. Dua bulan terakhir, entahlah, kami sudah berada di musim penghujan. Akhir tahun bukanlah hari spesial. Sambil bernyanyi, ibunya tak lepas menggenggam telpon selular, menunggu kabar suaminya yang sedang berada di luar kota. Ia menuliskan sesuatu di notes handphonenya: 
"Anak kita sudah mengerti tentang hujan, Pah..."
Hujan di luar sana semakin deras, semakin intim bercampur dengan rasa dingin, yang masuk ke dalam ruangan menjelma sebagai kehangatan titipan ilahi, seolah ingin menemani seorang ibu yang kehilangan anak pertamanya.
Sang ibu menyimpan HPnya, berselimut menanti Magrib, matanya menitikkan air mata.

0 comments:

Post a Comment

Back to top