Randy, bukan Rendi
November 08, 2010
Posted by
yogaptek
| Waktu baca:
Kemarin saya terheran-heran dengan penampilan seorang teman lama. Tak percaya dengan apa yang saya lihat, saya kembali memanggil namanya sesaat setelah dia meninggalkan tempat kami berpapasan. Dia menoleh, tersenyum. Lalu pergi. Sudah belasan tahun kita tidak bertemu dan hanya sekitar lima belas menit kami menarik masa-masa Tsanawiyyah dulu dengan menyisakan segudang penasaran untuk saya.
Namanya Rendi. Satu sekolah tahu dengan sosok Rendi. Dia dikenal sebagai sosok yang kalem, cerdas dan sholeh. Ketika kami berada di kelas tiga Tsanawiyyah, kami harus menyelesaikan beberapa persyaratan ujian kelulusan. Satu dari persayaratan tersebut adalah menghafal surat al-Baqarah. Rendi semakin dikenal karena mampu menjadi santri pertama yang hafal surat al-Baqarah sebagai syarat kelulusan. Kalian bisa bayangkan, surat al-Baqarah dengan 286 ayat dihafalnya dengan sangat cepat. Dan asal kalian tahu, untuk menghafal hal-hal seperti ini, maka faktor kemaksiatan adalah musuh terbesar kalian. Atau banyak maksiat, banyak pula ayat-ayat yang hilang dari ingatan kalian.
Tapi hari ini, dengan tanpa membuat stereotype, saya bertanya-tanya dengan penampilan Rendi. Apa yang ada di pikirannya dengan memasang anting di telinganya, kalung di lehernya dan mewarnai sebagian rambutnya? Saya tidak menyebut Rendi sebagai agen preman, tapi yang mengganjal di benak ini adalah apa yang membuat dia berpenampilan seperti itu? Apakah dia tidak tahu kalau di sini, penampilan sedikit banyak mempengaruhi status? Kalau ingin berstatus ustadz, yaa harus berpenampilan layaknya ustadz, kalau ingin dipanggil dosen, berpenampilan pun harus disesuaikan dosen pada umumnya. Walaupun sebenarnya saya tidak setuju kalau casing menjadi segalanya. Ya, minimalnya Rendi paham rumus ini.
Lupakan Rendi. Saya ingat Subhan teman lama di kampus UIN Jakarta. Waktu itu bulan Ramadhan, kami ingin buka bersama mencari mesjid yang menyediakan ifthar gratis. Tak sengaja, di jalan kami bertemu dengan anak punk, seperti itulah sebutan mereka. Gaya berpakaian mereka dinilai urakan oleh sebagian orang. Celana mengerucut kecil ke bawah. Sepatu besar melebihi ujung kerucut celana. Tindik sana tindik sini. Dan terakhir, yang menjadi pelengkap status mereka adalah sore itu mereka tidak puasa. Lengkap sudah status mereka dilihat dari penampilan. Saya tidak ambil pusing. Tapi Subhan yang malah menyentil perilaku mereka.
"Ckckck...astagfirullah walhamdulillah" ujarnya berdzikir.
"Kenapa luw?" tanya saya singkat.
"Kaga. Cuman...luw percaya ga, klo dulu gue kaya gitu?" Jawab Subhan sambil menarik tas pundaknya. Seolah mengencangkan.
"Ya, kaga lah. Gile aje. Masa seorang Subhan yang kemana-mana bawa Qur'an, yang kalau ketemu cewe mukanya merah, dan cuek kaya sombong kalau kata si Raisa mah, dulunya kaya anak-anak punk itu." Jawab saya tidak percaya.
Subhan asli Cinere. Dia ketua LDK (Lembaga Dakwah Kampus) perwakilan fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Pikirannya seperti matanya, tidak lirik kanan lirik kiri. Jalannya lurus. Tak sedikit mahasiswi yang mencibirnya. Sok alim, sombong. Subhan memang pantas dicibir. Fokusnya terhadap dakwah-dakwan Islam membuatnya lupa untuk berinteraksi dengan teman-teman kelas. Sekalinya berinteraksi, teman-teman kelas diajak pengajian dan pengajian. Sore ini, Subhan sengaja ke kosan saya. Katanya ingin membetulkan laptopnya yang datanya hilang karena termakan virus. Maklum, tren virus zaman dulu itu membuat data seolah-olah hilang padahal masih utuh, ada.
"Gue dulu mangkalnya di Mall Cinere. Persis kaya gini, nih. Pala gue tiduran di paha cewe yang selonjoran. Sedot rokok gantian. Kalau duit abis banget, langsung ngamen cuman modal botol air mineral dimasukin pasir. Gelayutan di angkot, deh" terang Subhan masih melanjutkan.
"Wah, zaman kapan, luw?" saya belum percaya.
"Dulu waktu gue SMP. Gue berhenti dan berubah pas bokap meninggal aja. Ada ustadz yang ngasih ceramah singkat pas waktu bokap dimakamin. Ngena banget. Pas waktu SMA, gue ikutan rokhis dan sempet jadi ketuanya. Malahan gue yang ngelola mushola sekolah. Gue tinggal di sana" tutur Subhan panjang lebar.
Masih tidak percaya dengan yang diucapkan Subhan, saya mengajaknya balik lagi kembali ke kumpulan anak-anak punk yang sudah terlewati beberapa langkah. Ingin meyakinkan entah dengan apa kalau Subhan, ketua LDK dan teman kelas saya, pernah menjadi anggota punk. Subhan pun menyetujuinya. Kami kembali lagi ke belakang sambil menyebrang ke arah kumpulan.
"Assalamu'alaikum..." Subhan memberi salam.
"Wa'alaikum salam" jawab salah satu anggota yang membawa tongkat. Di ujung sana malah ada yang menjawab "Walikum sayang." Menurut mereka dan seumuran mereka mungkin pantas saja berpikiran kalau di zaman sekarang membawa tongkat kayu itu kece. Subhan menyalaminya satu-satu, kecuali yang wanita.
"Bro, ngemeng-ngemeng ni anak tongkrongan mana kalo boleh tau?" tanya Subhan sambil membuka tas pundaknya.
"Kite anak Pondok Cabe, bang." Masih anak bertongkat yang jawab. Nampaknya hanya dia yang kelihatan ramah.
"Oh, Pondok Cabe. Suka ngumpul bareng si Ramses, dong" Subhan masih mencari-cari sesuatu di tasnya.
"Lah, ko abang tau? Iya, bang. Ramses kadang-kadang ngikut juga sih nongkrong. Tapi, sekarang udah jarang."
"Sering sakau di jalan! Ngerepotin!!" teriak salah satu anggota dari kumpulan itu.
Saya hitung-hitung, ada sembilan orang pemuda di kumpulan itu. Dengan wanitanya tiga orang.
"Ini luw kasih ke si Ramses atau buat luw aja dah, kenang-kenangan dari anak tongkrongan Cinere." Subhan memberikan sesuatu yang ia cabut dari gantungan resleting Qur'annya.
Semua anak-anak tongkrongan penasaran. Yang selonjoran berdiri, yang berdiri mendekat. Saya pun penasaran apa yang diberikan Subhan. Tapi, sesaat setelah Subhan memberikan gantungan itu. Semua pemuda itu menyalami dan merangkul Subhan. Entahlah apa yang diberikan Subhan. Tapi di akhir pertemuan, Subhan menanyakan sesuatu, "Kalau ada yang hafal Fatehah, gue traktir kemek, dah. Tapi entar, kalau dah bedug." Subhan menawarkan makan dengan siapa saja yang hafal
al-Fatihah
. Hanya tiga orang yang mengacungkan tangan dan Subhan langsung memberi mereka uang untuk tiga porsi warteg. Tanpa mengetesnya apakah mereka hafal al-Fatihah atau belum. Subhan pun langsung minta izin pulang.
"Bang, nama luw sapa?" tanya seorang wanita dari
gang
itu.
"Randy." Jawab Subhan singkat.
Begitulah kelakuan ketua LDK Fakultas Adab dan Humaniora. Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris:
Muhamad Randy Subhan.
Itu hidup Randy, bukan hidup Rendi.
Dalam hidup tidak ada yang tidak mungkin. Tapi seberapa besarkah kemungkinan itu tertanam dalam keyakinan yang permanen?
Istiqomahlah dalam hal yang engkau yakini kebaikannya. Ketika ada yang mengganjal dalam hati tentang apakah ini benar atau salah atau sering mengundang gelisah, cobalah untuk menenangkan hatimu dengan kebaikan, lagi.
Blog
Subscribe to:
Post Comments
(Atom)
0 comments:
Post a Comment