Randy, bukan Rendi
Kemarin, saya terheran-heran melihat penampilan seorang teman lama.
Tak percaya dengan apa yang saya lihat, saya kembali memanggil namanya sesaat setelah ia meninggalkan tempat kami berpapasan.
Ia menoleh, tersenyum, lalu pergi.
Sudah belasan tahun kami tidak bertemu, dan hanya sekitar lima belas menit kami menarik kembali masa-masa Tsanawiyyah dulu, menyisakan segudang penasaran dalam benak saya.
Namanya Rendi.
Satu sekolah mengenalnya sebagai sosok yang kalem, cerdas, dan saleh.
Saat kami berada di kelas tiga Tsanawiyyah, kami harus menyelesaikan beberapa persyaratan ujian kelulusan.
Salah satunya adalah menghafal surat Al-Baqarah.
Rendi semakin dikenal karena menjadi santri pertama yang berhasil menghafal surat Al-Baqarah sebagai syarat kelulusan.
Bayangkan, surat Al-Baqarah dengan 286 ayat dihafalnya dengan sangat cepat.
Dan perlu diketahui, untuk menghafal hal-hal seperti ini, kemaksiatan adalah musuh terbesar.
Semakin banyak maksiat, semakin banyak ayat yang hilang dari ingatan.
Namun hari ini, tanpa bermaksud membuat stereotipe, saya bertanya-tanya tentang penampilan Rendi.
Apa yang ada di pikirannya saat ia memasang anting di telinga, kalung di leher, dan mewarnai sebagian rambutnya?
Saya tidak menyebutnya sebagai preman, tapi yang mengganjal adalah: apa yang membuatnya berpenampilan seperti itu?
Apakah ia tidak tahu bahwa di sini, penampilan sedikit banyak memengaruhi status sosial?
Kalau ingin berstatus ustaz, ya harus berpenampilan layaknya ustaz.
Kalau ingin dipanggil dosen, penampilan pun harus disesuaikan.
Walaupun sebenarnya saya tidak setuju jika penampilan menjadi segalanya.
Minimalnya, Rendi paham rumus itu.
Lupakan Rendi.
Saya teringat Subhan, teman lama di kampus UIN Jakarta.
Waktu itu bulan Ramadan, kami ingin berbuka bersama dan mencari masjid yang menyediakan ifthar gratis.
Tak sengaja, di jalan kami bertemu dengan sekelompok anak punk—begitulah sebutan mereka.
Gaya berpakaian mereka dinilai urakan oleh sebagian orang: celana mengerucut kecil ke bawah, sepatu besar melebihi ujung celana, tindik di sana-sini.
Dan yang melengkapi status mereka sore itu: mereka tidak berpuasa.
Lengkap sudah penilaian orang terhadap mereka.
Saya tidak ambil pusing.
Tapi Subhan justru menyentil perilaku mereka.
“Ckckck... astagfirullah walhamdulillah,” ujarnya sambil berdzikir.
“Kenapa, Luw?” tanya saya singkat.
“Kagak. Cuma... Luw percaya nggak, kalau dulu gue kayak gitu?” jawab Subhan sambil menarik tas pundaknya, seolah mengencangkan.
“Ya, kagak lah. Gila aja. Masa seorang Subhan yang ke mana-mana bawa Qur’an, yang kalau ketemu cewek mukanya merah, dan cuek kayak sombong kalau kata si Raisa, dulunya kayak anak-anak punk itu,” jawab saya tak percaya.
Subhan asli Cinere.
Ia ketua LDK (Lembaga Dakwah Kampus) perwakilan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah.
Pikirannya seperti matanya—tidak lirik kanan-kiri.
Jalannya lurus.
Tak sedikit mahasiswi mencibirnya: sok alim, sombong.
Subhan memang pantas dicibir.
Fokusnya terhadap dakwah membuatnya lupa berinteraksi dengan teman-teman kelas.
Sekalinya berinteraksi, mereka diajak pengajian.
Sore itu, Subhan sengaja datang ke kosan saya.
Katanya ingin membetulkan laptop yang datanya hilang karena termakan virus.
Maklum, tren virus zaman dulu membuat data seolah hilang padahal masih utuh.
“Gue dulu mangkalnya di Mall Cinere. Persis kayak gini, nih. Kepala gue tiduran di paha cewek yang selonjoran. Sedot rokok gantian. Kalau duit abis, langsung ngamen cuma modal botol air mineral diisi pasir. Gelayutan di angkot,” terang Subhan.
“Wah, zaman kapan, Luw?” saya masih belum percaya.
“Dulu waktu gue SMP. Gue berhenti dan berubah pas bokap meninggal. Ada ustaz yang ngasih ceramah singkat saat bokap dimakamkan. Ngena banget. Pas SMA, gue ikutan rohis dan sempat jadi ketuanya. Malahan gue yang ngelola musala sekolah. Gue tinggal di sana,” tutur Subhan panjang lebar.
Masih tidak percaya, saya mengajaknya kembali ke kumpulan anak-anak punk yang sudah kami lewati.
Ingin meyakinkan diri bahwa Subhan, ketua LDK dan teman kelas saya, pernah menjadi bagian dari mereka.
Subhan menyetujui.
Kami menyebrang ke arah kumpulan itu.
“Assalamu’alaikum...” Subhan memberi salam.
“Wa’alaikum salam,” jawab salah satu anggota yang membawa tongkat.
Di ujung sana malah ada yang menjawab, “Waalaikum sayang.”
Menurut mereka, mungkin membawa tongkat kayu itu terlihat keren.
Subhan menyalami satu per satu, kecuali yang wanita.
“Bro, ngomong-ngomong, ini anak tongkrongan mana kalau boleh tahu?” tanya Subhan sambil membuka tas pundaknya.
“Kita anak Pondok Cabe, Bang,” jawab si pembawa tongkat.
Nampaknya hanya dia yang ramah.
“Oh, Pondok Cabe. Suka ngumpul bareng si Ramses, dong,” Subhan masih mencari sesuatu di tasnya.
“Lah, kok abang tahu? Iya, Bang. Ramses kadang-kadang nongkrong juga sih. Tapi sekarang udah jarang.”
“Sering sakau di jalan! Ngerepotin!” teriak salah satu anggota.
Saya hitung, ada sembilan pemuda dan tiga wanita dalam kumpulan itu.
“Ini Luw kasih ke si Ramses atau buat Luw aja, kenang-kenangan dari anak tongkrongan Cinere,” kata Subhan sambil memberikan sesuatu yang ia cabut dari gantungan resleting Qur’annya.
Semua anak tongkrongan penasaran.
Yang selonjoran berdiri, yang berdiri mendekat.
Saya pun penasaran.
Tapi sesaat setelah Subhan memberikan gantungan itu, semua pemuda menyalami dan merangkulnya.
Entahlah apa yang diberikan Subhan.
Di akhir pertemuan, Subhan menanyakan sesuatu:
“Kalau ada yang hafal Al-Fatihah, gue traktir kemek, dah. Tapi nanti, kalau sudah bedug.”
Tiga orang mengacungkan tangan.
Subhan langsung memberi mereka uang untuk tiga porsi warteg.
Tanpa mengetes hafalan mereka.
Lalu ia pamit.
“Bang, nama Luw siapa?” tanya seorang wanita dari gang itu.
“Randy,” jawab Subhan singkat.
Begitulah kelakuan ketua LDK Fakultas Adab dan Humaniora.
Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris:
Muhamad Randy Subhan.
Itu hidup Randy, bukan hidup Rendi.
Dalam hidup, tidak ada yang tidak mungkin.
Tapi seberapa besarkah kemungkinan itu tertanam dalam keyakinan yang permanen?
Istiqomahlah dalam hal yang engkau yakini kebaikannya.
Saat ada yang mengganjal dalam hati tentang apakah ini benar atau salah, atau sering mengundang gelisah, cobalah tenangkan hatimu dengan kebaikan—lagi.
Comments
Post a Comment