Posts

Showing posts with the label Garut

Rahasia Pasar Tradisional

Pagi-pagi sekali, saya sudah berada di Pasar Tradisional Ciawitali, Garut. Sesuai dengan namanya—tradisional—semuanya belum tersentuh polesan modernisasi, tentu dalam hal tatanan ruang dan sistem jual belinya, bukan para pelaku transaksinya. Di sana, pengunjung tidak akan menemukan kerapian. Segalanya serba tumpah ruah ke ruang yang masih bisa diisi, asal tidak mengganggu pihak lain. Begitu pula soal kebersihan. Kualitas kebersihan di pasar tradisional mungkin hanya mendapat nilai 0 dari 10. Sampah berserakan di mana-mana, dan posisi parkir sangat tidak menentu. Asalkan tidak menghalangi jalan, semua dianggap sah. Saya berdiri cukup lama di depan tukang tempe, sementara di sebelah kiri saya ada tukang daging ayam yang setiap 15 menit sekali terdengar suara pisau jagalnya beradu dengan alas kayu—sangat berirama. Layaknya seorang intel dengan kabel headset menggantung di satu telinga, saya mengamati suasana pasar Ciawitali dengan saksama. Oh ya, sedang apa saya di sini? Saya ‘tersesat’...

Asmarandana

Eling-eling mangka eling Rumingkang di bumi alam Darma wawayangan bae Raga taya pangawasa Lamun kasasar lampah Nafsu nu matak kaduhung Badan anu katempuhan Kalimat di atas adalah penggalan pupuh Asmarandana. Pupuh adalah bentuk puisi tradisional Sunda yang memiliki aturan metrum dan makna tertentu. Jenisnya pun beragam, ada sekitar 17 macam pupuh dengan nama dan ciri khas masing-masing. Misalnya, pupuh Kinanti yang berisi impian dan harapan, atau pupuh Gambuh yang menggambarkan kebingungan dan suasana hati yang samar. Sedangkan pupuh Asmarandana, seperti yang saya kutip di atas, mengangkat tema kasih sayang, saling mengasihi, dan saling mengingatkan. Cukup berwawasan, ya, pembukaan catatan ini. Hahay. Pupuh jugalah yang membuka alur cerita saya hari itu—satu hari bersama seseorang yang sangat spesial. Seseorang yang tindak-tanduknya diam-diam menjadi perhatian saya. Memang saya belum bisa memperhatikan semua aktivitasnya di luar sana, tapi bahkan lewat Facebook pun tak ...

Sembilan Sembilan

Satu lagi catatan saya menginjak angka 100. Tanpa disadari, suka duka, keluh kesah, resah, dan gelisah telah tertuang dalam catatan-catatan yang kadang tidak jelas dan tidak bertujuan. Semuanya saya tulis karena memang ingin menulis. Ini adalah catatan ke-99. Mungkin tidak semua catatan saya bernarasi—menceritakan urutan kejadian, waktu, atau tokoh. Dari 99 catatan, saya bisa pastikan kurang dari 10 di antaranya berisi lirik lagu atau kisah penuh hikmah hasil kopi-paste. Angka 99 menurut saya unik. Entah mengapa, bentuknya saja sudah menarik. Mungkin karena angka ini adalah ujung dari rentetan dua digit, atau mungkin karena angka ini populer sebagai jumlah nama-nama baik bagi Sang Maha Baik, yang otomatis membuatnya terasa istimewa di kepala saya. Entahlah... saya memang menyukai angka itu. Bahkan sebelum kejadian yang membuat saya semakin kesengsem dengan angka ini. Saya punya cerita istimewa di hari ke-9, bulan ke-9, tahun lalu. Cerita yang menjadi asal muasal lahirnya ca...

Lebih Baik Telat Daripada Tidak Sama Sekali

Memang, saya selalu terdiam saat teman-teman Muallimien (setingkat SMA) berbicara tentang masa lalu mereka yang asyik berpartisipasi dalam event haflah imtihan —kegiatan setelah berakhirnya ujian akhir. Saya terdiam karena memang tidak ikut andil dalam acara itu. Saya tidak punya cerita apa pun. Saya terlalu asyik dengan kesendirian saat itu. Bagaikan seekor ulat, saya terlalu yakin bahwa suatu hari nanti akan berubah dan dikagumi banyak orang karena keelokan saya. Itulah pikiran saya saat masih ABG, dan saya rasa itu wajar—seseorang sedang membutuhkan pengakuan. Ulat memang aneh, mungkin karena ia ingin diperhatikan. 😄 Sedikit bercerita tentang asyiknya saya dengan kesendirian... Semuanya berubah sejak komputer masuk ke rumah pada tahun 2001. Kehidupan saya seolah hanya berputar di sekitar program-program dalam komputer Pentium II. Saya menganggap semua orang yang tidak bisa diajak berdiskusi tentang komputer sebagai orang yang payah. Saya pun mulai mengacuhkan mereka—mend...

Salam dari Hujan [2]

segala sesuatu di dunia ini tidak terjadi sia-sia, semua berjalan pada garisnya sendiri, aman, tenang, cocok bagi mereka ataupun kita tak dapat dipungkiri, dengan catatan... tetap cermat memperhatikan pelajaran-Nya. Waktu itu, saya tak bisa berbuat apa-apa lagi. Saat di mana saya tidak mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan teman-teman di Jogja. Sementara itu, Ibu sedang "sibuk" menasihati saya—hahaha, maklumlah. Ini bukan pertama kalinya. Beliau sudah sangat hafal dengan kebiasaan saya: selalu lalai dalam banyak hal. S.E.L.A.L.U. Gagal mendapatkan tiket kereta karena terlambat mungkin sudah yang kelima kalinya. Selalu ada saja yang tertinggal, entah saat berangkat dari Jogja ke Garut, atau sebaliknya. Padahal, Ibu selalu berusaha membantu menyiapkan barang-barang saya dengan teliti. Tapi tetap saja, ada yang luput. Bagi saya, itu hal sepele. Tapi bagi beliau... hal sepele bisa mengubah dunia, mungkin. Oke, lupakan soal saya yang kembali diceramahi oleh sang Pem...

Salam dari Hujan [1]

Mari kita buka catatan ini dengan bacaan basmalah... Ba’da Zuhur, saya dan adik saya, Cipto, bergegas menuju Stasiun Garut. Keputusan untuk pergi ke sana tentu bukan tanpa pertimbangan. Langit kota Garut tampak bingung. Sebelah timur masih berawan putih, tetapi arah yang akan kami tuju terlihat kelam. Saya tidak ragu, kami akan menembus hujan. Sip. Saya sudah siap. Sejak pagi, saya diliputi keraguan untuk berangkat ke Jogja. Entah mengapa. Namun akhirnya, saya bulatkan tekad: malam ini saya akan pergi. Alasan untuk tidak pergi sebenarnya cukup kuat. Saya tak sanggup menanggalkan janji: “Hari Senin esok, saya akan membawa sesuatu untuk kawan-kawan.” Namun, rencana sedikit berubah. Sesuatu itu tidak bisa saya bawa tepat waktu. Di sisi lain, saya sangat ingin menghadiri acara teman-teman bersama seorang dosen—acara yang saya yakin tidak akan terulang tahun depan. Saya berharap bisa hadir dalam kemeriahan itu. Dan saya yakin, hanya saya satu-satunya yang tidak bisa hadir ka...