Posts

Showing posts with the label Blog

Sekapur Siroh

Tanya: Ustaz, apakah saya berdosa karena telah mempromosikan Fulan menjadi pemimpin? Awalnya saya percaya ia sangat baik dan saleh, tetapi setelah terpilih, ia menjadi 'pelupa' dalam banyak hal. Mohon penjelasannya. —Ibro Jawab: Ibro yang terhormat, Pertama, jangan terlalu militan dalam mempromosikan seseorang, karena setiap orang memiliki qolbu —yakni hati yang sifatnya berubah-ubah. Bukan kalbu (anjing), tetapi qolbu (hati). Oleh karena itu, kata-kata yang digunakan saat merekomendasikan seseorang sebaiknya tidak sepenuhnya meyakinkan. Misalnya, akan lebih bijak jika berkata: “Setahu saya, sepenglihatan saya, dia baik. Ia tidak pernah lalai dalam ibadahnya. Insya Allah cocok untukmu.” Daripada mengatakan: “Kamu dan dia pasangan serasi. Dia sudah cantik, baik, salehah pula. Saya yakin dia yang terbaik untukmu. Yakin banget. Saya tahu kesehariannya—siang: dhuha-nya tidak pernah terlewat, malam: tahajudnya terjadwal rapi.” Setiap orang baik dan saleh memiliki ...

Indah Karena Warna

Kalau semua orang di dunia ini baik, pasti tidak akan ramai. Kalau semua urusan di dunia lancar terus, pasti tidak akan ramai. Kalau semua mahasiswa nilainya A, pasti tidak akan ramai. Kalau semua keinginan terpenuhi, pasti tidak akan ramai. Coba bayangkan jika semua keinginan kita dikabulkan... Semua orang ingin sehat. Kalau semua makhluk di dunia dikabulkan keinginannya untuk selalu sehat, apa yang akan terjadi? Rezeki para dokter akan terhambat, dan hakikat ilmu kedokteran tidak akan berkembang. Semua orang ingin dipuji terus-menerus. Apa yang akan terjadi jika kita dipuji setiap jam, bahkan setiap menit? Mungkin kita akan muak, atau malah curiga: ada apa ini? Mencintai dan dicintai terus-menerus pun tidak akan ramai. Karena kita baru tahu arti mencinta saat pernah membenci, atau dibenci. Semua keinginan terpenuhi, pasti tidak akan ramai. Harus ada warna lain agar hidup terasa indah. Perlu kecewa untuk tahu bagaimana cara bertahan. Perlu menyesal untuk tahu bagaimana...

Tuan Putri dan Nenek-nenek

Image
Teringat permainan Nintendo waktu kecil: Super Mario Bros . Saat Mario dan adiknya, Luigi, berusaha menyelamatkan seorang putri yang dikurung di kastil berpenjaga naga. Entah apa tujuan Mario membantu, tapi itulah misi utama gim tersebut: menyelamatkan sang putri. Melewati berbagai level, keluar masuk pipa got, dan melenyapkan rintangan adalah cara tercepat agar bisa bertemu sang putri. Tapi... pernahkah kalian berpikir, bagaimana jika putri yang dikurung di kastil itu sebenarnya tidak ingin ditolong? Iya, saya baru kepikiran sekarang. Walaupun saya sudah sering menamatkan gim tersebut—alias menyelamatkan sang putri—dulu saya tidak pernah berpikir ke arah sana. Bagaimana kalau sang putri justru kecewa dengan kedatangan Mario? Mungkin ia berkata, “Mengapa kamu bermain gim terus, Mario? Tidak memikirkan hal lain. Jangan pikirkan saya!” Atau mungkin, “Biarkan saya berteman dengan Luigi!” Kadang, saya harus sampai ke titik itu. Sampai ke arah di mana saya bisa berpikir seperti...

Semuanya Gara-gara Doa Itu!!

Setelah beberapa hari dilanda ketidakjelasan, akhirnya saya memberanikan diri untuk berkatarsis ria—mencurahkan segala gundah—melalui catatan ini. Hehe... setidaknya itu membuat saya lebih tenang. Alhamdulillah, saya termasuk orang yang mampu melihat kekurangan dalam diri sendiri (dan mohon doanya agar saya juga mampu mengoreksinya). Saat sakit ini dan itu, saya dimudahkan untuk mengetahui penawar yang cocok bagi raga. Atau saat dilanda kesedihan, insya Allah saya langsung disuguhkan berbagai solusi kebahagiaan. Alhamdulillah. Jangan terlalu lama terjebak dalam arus drama kehidupan. Cobalah sesekali keluar dari arus utama. Insya Allah, menyegarkan. Puja dan puji memang hanya milik Allah seutuhnya. Saya bisa seperti ini tentu karena Allah menghendakinya. Allah memberikannya karena saya memintanya. Mintalah kepada-Nya, niscaya Dia akan memberikannya. Kalian pikir doa kalian tidak dijawab? Allah menjawab dengan berbagai cara: mengabulkannya, menundanya, atau menggantinya dengan ya...

Rindu Para Wali

Alhamdulillah, senangnya tubuh ini masih bisa merasakan lelah—sebahagia terbangun kembali di waktu Subuh. Tidak ada yang sulit bagi Allah untuk menghidupkan dan mematikan makhluk. Diiringi musik Wali – Sayang Lahir Batin.mp3 , saya menulis: Kiranya tak berlebihan jika saya terpikat oleh kata-kata yang singkat... Kau begitu hemat dalam bertutur. Kiranya tak tergolong “cupu” jika saya galau dengan pribadimu yang cuek... Kau begitu tenang: yang perlu dibicarakan, dibicarakan; yang tidak perlu, jangan diada-adakan. Kiranya tak tercatat munafik jika saya tersemangati oleh doamu... Kau berdoa dengan paket lengkap: ada harapan, ada peringatan. Bukan sekadar doa. Kiranya tak disebut menghamba jika saya mengidamkan kehadiranmu... Kau pandai bersembunyi dari hal-hal yang samar, menerbitkan rasa penasaran bagi orang di sekelilingmu. Kiranya tak disamakan dengan penguntit jika saya diam-diam memperhatikanmu... Memang, kau bukan pusat perhatian orang-orang. Tapi tidak bagi saya. Kira...

Licking The Wound

Pernah dengar pertanyaan ini: Mengapa saat kita menanam padi, justru tumbuh rumput liar yang mirip padi (dalam bahasa Sunda disebut gagajahan )? Tetapi saat kita menanam rumput liar, tak satu pun tumbuh padi? Memang betul. Sesuatu yang tidak bermanfaat bisa muncul tanpa perlu dipelajari, tanpa perlu dipupuk. Contohnya: semua orang bisa marah. Saya selalu heran saat orang-orang mengedepankan amarah dalam urusan sepele—mengencangkan urat leher saat antreannya diserobot, tidak peduli pakaiannya kehujanan, atau mungkin kalian pernah melihat hal-hal kecil yang sebetulnya bisa dibilang: “Hellooowww... biasa aja kaleee.” Dengan kata lain, semua orang bisa murka. Tak perlu diperlihatkan rasa marah karena tidak ada yang butuh pelajaran itu. Tidak penting dengan aksimu. Bagi saya, seseorang akan menjadi luar biasa jika ia berani keluar dari kebiasaan. Contoh lagi: semua orang mampu marah, tapi akan jauh lebih luar biasa jika ada yang mampu menahan amarahnya. Hal-hal buruk dan hina t...

Bulan Bahasa

Akhir-akhir ini, saya kembali dipertemukan dengan bahasa PHP. Sebuah bahasa pemrograman yang dulu berhasil membuat saya malas mandi selama kuliah. Bahasa ini pula yang menemani masa menganggur menjelang sekolah lagi. Saya anak sastra, bukan pemrograman, tapi bagi saya keduanya memiliki bahasa. Saya gemar, itu saja. Dulu, bahasa PHP sangat seksi di mata saya. Tapi sekarang, mengetik dan mencoba kembali kode-kode tersebut terasa seperti mencari satu jerami di pabrik jarum. Lumayan payah. Benar adanya: jika ingin memahami satu bahasa, gunakanlah. Tentang bahasa pemrograman—entah itu Java, AS Flash, C++, Delphi, HTML—pada dasarnya sama: bersumber dari bahasa basis dua (biner), yaitu 1 dan 0. Siapa pun yang ingin belajar bahasa pemrograman, logikanya sederhana: jika ini nol, maka itu satu, atau sebaliknya. Seterusnya seperti itu. Logika tiap orang akan berbeda dalam menjalankan satu perintah (dan saya merasa paling buruk dalam hal logika). Ada yang 1 1 1 0 0 1, atau 0 0 1 1 1 1. Akan banyak...

Apakah Anti-Hero Masuk Surga?

Image
Catatan, 2015 Saya sering bertanya kepada mahasiswa tentang sosok hero dalam karya fiksi: “Apakah kalian merestui jagoan kalian berbuat kejahatan?” Sebagian besar menjawab, “Saya rela, ikhlas, dan bahkan akan tetap mendukungnya sampai titik darah penghabisan.” Tentu jawaban mereka tidak sepanjang itu—saya melebih-lebihkannya. Yang jelas, saat sosok protagonis tidak memiliki kualitas baik, bahkan sangat sedikit menitipkan moral, yang tetap menjadi panutan pembaca atau penonton adalah tokoh utama dalam cerita tersebut. Di lain kesempatan, saya bertanya, “Kalian akan mendukung siapa saat Spiderman harus berkelahi dengan seorang nenek-nenek berjilbab?” Sebagian besar mahasiswa tetap menjawab: Spiderman. Bukan tanpa alasan mereka mendukung Robin Hood sang pengutil, Hamlet sang pendendam, ibu Malin Kundang sang pemarah, Hellboy yang jelas-jelas berasal dari neraka, atau rela mengantre berjam-jam demi melihat Dominic Toretto melakukan pelanggaran terhadap polisi. Mereka tetap yakin: itulah pa...

Fase Satir

Pernah mendapati orang yang gemar menyindir? Atau mungkin bosan mendengar orang yang bossy—suka meraja? Atau selalu merasa tersindir? Atau yang lebih menjengkelkan: saat Anda bicara sedikit, langsung muncul orang usil menimpali dengan segudang stok pengetahuannya tanpa diminta terlebih dahulu? Tenang, Anda tidak sendirian. Hari itu, sore hari, di kelas drama. Materi yang dibawakan adalah tentang satire (sindiran) dalam salah satu karya Bernard Shaw, Pygmalion. Para pemateri—mahasiswa dan mahasiswi—mengutip pesan alegoris bahwa karya tersebut menyindir golongan kelas atas yang membeda-bedakan status sosial hanya dari cara bicara seseorang. Sebagai contoh, jika seseorang berbicara medok, maka ia akan diberi label “orang kampung” yang sepaket dengan status miskin. Sampai di situ, saya paham. Untungnya, ada mahasiswi cantik berkerudung monokrom yang tidak paham dan bertanya, “Apakah sindiran dari karya tersebut berbuah hasil? Atau pada akhirnya status sosial tetap dibedakan dari cara orang...

Ranger Oranye

Dunia Kini Terancam! Power Rangers Sedang Diuji! Bagi yang belum mengenal anggota Mighty Morphin Power Rangers, izinkan saya memperkenalkan mereka dengan penuh semangat sambil ngemil kentang goreng. Ada Zack si Ranger Merah (nanti diperankan oleh Adam, penting banget, ya?), Billy si Ranger Biru, Jason si Ranger Hitam, Kimberly si Ranger Pink, Trini si Ranger Kuning, dan—jagoan saya yang tidak terlupakan—Tommy si Ranger Hijau yang nantinya menjadi Ranger Putih. Tugas mereka sangat mulia: menjaga dunia agar tidak dikuasai oleh pemimpin kelompok radikal licik bernama Goldar, si penjahat. Layaknya pahlawan, Power Rangers dibekali senjata andalan. Zack dengan pedangnya, Tommy dengan pistol lasernya, Billy membawa tongkat, ada juga bumerang dan senjata lainnya. Luar biasa! Mereka sangat kompak dan mengagumkan. Namun, kebersamaan mereka terganggu oleh kehadiran seorang ranger yang tidak diharapkan. Priit!! Kemarin, saya berbincang dengan Zack si Ranger Merah. Ia mengeluh karena tanp...

Wonder Momen

Momen Indah Tak Terlupakan Momen Garansi Saat hendak membeli (mengeluarkan uang dari saku), penjual dengan sigap dan ramah menyapa tamu. Ibarat raja, kita adalah raja yang merangkap sebagai mertua. Bisa dibayangkan, dong, betapa hormatnya ia saat menghadap raja sekaligus mertua. Tapi coba kembalikan barang rusak dengan alasan garansi. Ups! Ada raja yang dikudeta, nih. Hehe... Momen Kembalian Tidak ada manusia yang sempurna. Kecuali kernet. Saat kita tertidur di mobil, kita dibangunkan: “Ongkosnya, Mas?” Lalu, “Kembaliannya nanti, ya. Belum ada.” Tapi saat hendak mengembalikan dan kita sedang tertidur... ayo tebak, dibangunkan tidak? Ssttt... ada yang tidur. Iih, perhatian banget. Sempurna. Momen Rapat Tidak ada majelis yang semua anggotanya serius. Biasanya ada sekelompok orang yang duduk di belakang, suka menimpali atau mengolok semua orang yang duduk di depan. Kenal? Selamat, Anda dapat jackpot! Momen yang Itu Saat BBM naik, buru-buru siapkan ongkos lebih karena stiker pembe...

Jangan Pilih Baha

Dan [ingatlah] saat mereka datang dari arah yang tidak disangka-sangka, ramai mengunjungi rumahmu di waktu fajar untuk berjanji membangun rumah Allah (masjid). Katakanlah, wahai ibuku: “Ucapan kalian sama seperti yang dikatakan orang-orang terdahulu di antara kalian. Dan tahukah kalian bagaimana kesudahan mereka?” Ibro memberi penjelasan di depan sembilan ibu-ibu pengajian yang hampir semuanya tertidur. Tidak ada yang menjawab, dan memang tidak perlu ada jawaban. Maklum, aktivitas mereka di siang hari sangat melelahkan. Kebanyakan berprofesi sebagai petani. Ibro bukan santri pesantren, apalagi mahasiswa. Ia tidak pernah lulus SMA. IQ-nya pun tidak setinggi teman-temannya yang mendaftar sebagai caleg. Namun ada satu hal yang membedakannya: ESQ-nya yang memuai lebih dalam dibanding teman-temannya. Pernah suatu waktu, sahabat dekatnya yang mencalonkan diri sebagai caleg dari partai Islam—yang katanya sangat Islami—datang ke rumah Ibro. Tujuannya hanya satu: mengajak jemaah pengajian Ibr...

Hisab Cepat

Tersenyum ia di atas motornya. Masih sekitar tiga kilometer lagi jarak yang harus ditempuh. Beberapa menit sebelumnya, ia kehilangan uang dua ratus ribu rupiah dalam perjalanan. Lebih tepatnya, seluruh isi dompetnya terjatuh di tikungan hutan Sancang. Baginya, tersenyum adalah batu loncatan menuju kepercayaan. Ia harus percaya bahwa pasti ada hal terindah yang akan mengganti uangnya. Memang tidak secepat proses jatuhnya dompet, proses datangnya pengganti bukanlah sesuatu yang bisa ditunggu-tunggu. Menanti hanya akan terasa menjenuhkan. Ia berdoa bagi siapa pun yang menemukan uang itu, semoga maslahat bagi kesehatannya. Malaikat yang mengaminkan doanya—tidak ada yang tahu. Termasuk tentang tekadnya yang tidak akan mengambil kembali isi dompetnya jika semisalnya ditemukan. Mungkin menurutnya, itulah arti ikhlas. Hujan tak kunjung reda. Daripada mengingat-ingat siapa yang akan merawat dompetnya, ia lebih memilih mensyukuri keselamatan dan kesehatan yang ia dapat selama dua jam perjalanan ...

Rindu Undercover

Ini kisah tentang yang lalu. Masa lalu. Pernah satu waktu, saya berbicara dengan seorang doktor yang kini menjabat sebagai dukun. Saya pun tak bisa membayangkan bagaimana seorang doktor membuka praktik perdukunan—atau semacam itulah. Doktor yang beberapa bulan lalu baru menyelesaikan disertasinya dari jurusan matematika, kini sibuk dan lebih tertarik pada hal-hal di luar hitungan matematis, sering pula di luar kerangka teoritis. Ia mencari batu akik, mendatangi makam, menemui para “penjaga” kampung, dan sebagainya. Anehnya, ia ingin menjodohkan anak semata wayangnya dengan saya. Saya hanya tersenyum, dan ia terlihat bingung. Biarlah, yang lalu biarlah berlalu. Ternyata saya rindu anakmu yang belum pernah saya temui itu—yang dalam istikharah ini, petunjuk-Nya selalu mengarah kepadanya. Ada juga saya temui ibu-ibu penjual pecel dalam kereta, yang kesehariannya dihabiskan di atas rel. Mondar-mandir mencari orang lapar yang kebetulan ingin pecel. Saya ingat siang itu, semuanya seperti dala...

The Sidewalker

Image
  Minggu Pagi di Jantung Kota Minggu pagi, saya berjalan kaki menyusuri jalan yang ramai pengguna. Jalur itu terbentang antara Kerkhoff dan Pengkolan, terpisah oleh satu jembatan beton yang mulai usang. Ratusan toko berjejer, menanti transaksi. Penjual bunga lebih dulu tersenyum laris—hiasan bunganya dibeli dua santriwati cantik, dibingkai dalam vandel kenang-kenangan untuk perlombaan sekolah se-Garut. Saya memperhatikannya sekilas, samar. Hari libur, tapi santriwati itu tetap bersekolah. Mereka memang libur setiap Kamis. Lupakan tentang bunga dan santriwati cantik. Di depan saya, ada penjual burung. Wajahnya masih murung, belum terlihat senyum. Anis, Murai Batu—burung-burung mahal. Kandangnya yang ringan disemprot pelan, seolah menyambut matahari. Tak jauh, penjual CD bajakan menggelar dagangan: VCD, DVD, MP3 di emperan. Menunggu siang sambil merokok dan mengopi. Lagu “Oplosan” diputar keras-keras, bikin pusing. Pedagang di sampingnya menjual tutut. Mulutnya menju...

Pre-Wedding

 Turaes kampung berbunyi sangat nyaring. Biasanya hinggap di batang pohon kelapa, menggetarkan pagi yang masih malas membuka mata. Musim kemarau sudah tiba. Saat Minggu Dhuha, saya berangkat ke Selatan. Sepatu baru Cibaduyut berputar bergaya di depan cermin. Jas blazer biru hadiah dari Ibu saya kenakan. Dasi belang biru milik Bapak ternyata cocok dengan blazer pemberian Ibu. “Saya ganteng pagi itu,” kata Ibu, mantan pacar Bapak. “Bahkan seperti mau lamaran,” kata mamanya Fadil sambil menyipitkan mata. Demi kebaikan saya dan si Jalu, saya tidak membawa laptop. Tidak saja demi efisiensi, tapi juga demi keselamatan. Memang, ke mana-mana si Jalu selalu bersama saya. Teringat memori indah saat itu, di tikungan setelah Kadungora. Jalu berpesan kepada saya lewat deru mesinnya: jangan melawan Wanaraja. Bus jurusan Garut–Jakarta melintas. “Wanara berarti monyet, dan raja berarti king,” ungkap salah satu mahasiswa Sunda jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Saya pun menurutinya. Saya menuruti J...

E.P.K.

  Beberapa waktu kemarin, saya sempat 'blokir' tayangan TV lokal di rumah. Saya pikir orang rumah tidak membutuhkan tayangan-tayangan itu. Jujur saja, saya lebih senang melihat channel asing suguhan negara maju yang menghadirkan acara-acara hiburan ketimbang program televisi yang disiarkan di negara berkembang yang kebanyakan mengandung racun. Menurut saya. Masuk di akal ketika negara maju banyak menghadirkan acara-acara hiburan, karena sebagian besar warganya sudah sibuk dengan apa yang saya sebut puncak-kebosanan. Bayangkan saja, orang yang sudah mendapatkan ini dan itu atau hidup di lingkungan yang saling memenuhi, atau sudah mengerti dengan semua tujuan acara di televisi dan dapat memilih tayangan sesuai 'kesehatannya', tentu akan bosan dengan ragam acara motivasi bertajuk "menggapai kesuksesan" atau reality show "gebrak meja, walk-out di sidang dan teriak-teriak membuka aib teman sekantornya".

Click n Share

Teringat masa lalu, saat saya terpanggil untuk mengucapkan subhanallah hanya karena melihat gambar tomat berlafazkan Allah. Lalu kembali terpanggil untuk mengucapkannya karena melihat gambar pohon yang menyerupai orang rukuk. Tak berhenti di situ, kali ini tidak ada alasan bagi saya untuk tidak mengucapkan subhanallah , karena sekarang ada gambar telinga bayi berlafazkan Allah. Benar-benar dahsyat gambar-gambar di internet itu. Subhanallah. Aah, tapi itu masa lalu. Masa di mana untuk pergi ke warnet belum tentu satu minggu sekali—karena harus ada uang, harus ada keperluan, dan tak jarang batal gara-gara penuh antrean. Konon, pergi ke warnet tidak jauh berbeda dosanya dengan pergi ke diskotek, atau mungkin sama berdosanya dengan mabuk-mabukan. Lagi-lagi, itu masa lalu. Dan tidak keliru. Orang Yunani dulu juga tidak malu sering berbahasa mitos, sampai akhirnya peradaban mereka dicatat sebagai peradaban nomor satu di Eropa. Eropa, kiblat ilmu pengetahuan dunia itu, lho. Intinya, tidak ...

Catatan Syariah

Kalau dalam dunia seni, gerakan melawan sesuatu yang konvensional disebut gerakan absurd. Gerakan yang keluar dari arus utama, atau yang oleh anak muda sekarang sering disebut anti-mainstream. Gerakan ini lahir setelah Perang Dunia II. Jika ada karya konvensional seperti realis, jurnalis, ekspresionis, transendental, dan sebagainya, maka ada pula karya absurd—karya yang keluar dari aturan konvensional. Sederhananya seperti itu. Artinya, kalau karya absurd dianggap tidak berseni, justru di situlah letak seninya. Kalau tidak dimengerti, itulah maksudnya. Itulah seni absurd. Dan jelas, itu tidak merusak seni itu sendiri. Ada produk sandal beda warna, busana lengan panjang sebelah, atau headset wireless hanya untuk satu kuping—semuanya sah-sah saja. Toh nanti akan bermuara pada tingkat “dimaafkan” atau “dimaklumi”, bahan dasar dari konvensi. Satu orang memakai sandal beda warna akan dimaklumi, mungkin karena akalnya miring. Tapi jika satu kampung, satu provinsi, satu saluran te...

Daily Tale

Ada banyak cerita hari ini. Tidak hanya hari ini—esok, kemarin, dan seterusnya. Semua bangsa manusia punya cerita yang menurutnya seru. Ada yang seharian tak habis-habis bercerita tentang mobil ngebutnya di jalan tol yang hampir menabrak kerbau. Setiap pengendara harus tahu cerita itu, dan harus melihat tangannya meliuk-liuk memperagakan mobilnya yang ngepot. Ada yang bercerita tentang kerasnya merantau dan manisnya hasil rantauan belasan tahun lalu. Anak-anaknya, atau orang yang lebih muda darinya, harus mabuk kepayang menamatkan kisah panjang tentang perjuangan di tanah orang. Ada yang bercerita tentang kisah kasihnya mendulang rezeki—karena dirinya dan pasangannya berjodoh di mata siapa pun. Sampai senja, ceritanya tak pernah padam; diwariskan kepada anak cucu, lengkap dengan foto pernikahan yang sudah menguning. Ada juga yang menggebu-gebu bercerita tentang tangannya yang berkuasa. Disebutnya satu per satu kebijakan baiknya kepada orang yang melewatkannya. Dicetak dalam buku, dibin...