Posts

Showing posts with the label Hikmah

Sekapur Siroh

Tanya: Ustaz, apakah saya berdosa karena telah mempromosikan Fulan menjadi pemimpin? Awalnya saya percaya ia sangat baik dan saleh, tetapi setelah terpilih, ia menjadi 'pelupa' dalam banyak hal. Mohon penjelasannya. —Ibro Jawab: Ibro yang terhormat, Pertama, jangan terlalu militan dalam mempromosikan seseorang, karena setiap orang memiliki qolbu —yakni hati yang sifatnya berubah-ubah. Bukan kalbu (anjing), tetapi qolbu (hati). Oleh karena itu, kata-kata yang digunakan saat merekomendasikan seseorang sebaiknya tidak sepenuhnya meyakinkan. Misalnya, akan lebih bijak jika berkata: “Setahu saya, sepenglihatan saya, dia baik. Ia tidak pernah lalai dalam ibadahnya. Insya Allah cocok untukmu.” Daripada mengatakan: “Kamu dan dia pasangan serasi. Dia sudah cantik, baik, salehah pula. Saya yakin dia yang terbaik untukmu. Yakin banget. Saya tahu kesehariannya—siang: dhuha-nya tidak pernah terlewat, malam: tahajudnya terjadwal rapi.” Setiap orang baik dan saleh memiliki ...

Lihat Lebih Jauh

cek

Untuk Kalian Wahai Pemuda, Duhai Pemudi

Udara dingin menyelimuti mereka. Tak heran, mereka tinggal di kota yang terletak di kawasan pegunungan. Terlebih setelah hampir tiga bulan tidak turun hujan, angin kemarau kian gemar berlarian di sekitar kota. Saat-saat terakhir Pesantren Kilat telah tiba. Namun, bukan berarti ini menjadi hari terakhir dalam menuntut ilmu, dan bukan pula menjadi momen terakhir bagi mereka untuk mengamalkan apa yang telah dipelajari. Setelah salat Isya, para peserta bersiap membereskan perlengkapan acara perpisahan. Mereka menyebutnya malam muhasabah—malam introspeksi. Agar suasana muhasabah tetap terasa, acara dilaksanakan di sebuah Sekolah Dasar yang cukup jauh dari perkampungan. Muda-mudi itu berjalan menuju lokasi. Suasana masih hening karena sebagian besar warga kampung sedang melaksanakan salat Tarawih. Mereka berniat salat Tarawih di lokasi SD malam itu. Gerbang sekolah mulai dibuka. Lampu dinyalakan satu per satu, sesuai pengecekan siang tadi. Mereka masuk ke kelas yang sudah tertata rapi. T...

Ketika Spiderman Disogok

Rasanya akan zalim, bahkan tidak beriman, jika kita mampu tetapi tidak mau membantu. Lebih baik salah tetapi lantang, daripada benar tetapi diam. Kesalahan yang diucapkan dengan lantang masih mungkin dikoreksi, sedangkan kebenaran yang disimpan dalam diam tidak akan memberi perubahan apa pun. Terlebih saat kita tahu kapasitas diri untuk mengeksekusi persoalan, tetapi memilih cuek. Itu tidak jauh berbeda dengan kelemahan. Di lingkungan kita, misalnya ada korupsi, bukan berarti kita harus diam karena merasa tidak mampu. Islam mengajarkan tahapan-tahapan saat melihat kemungkaran: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa juga, ubahlah dengan hatinya. Itulah iman yang paling lemah.” (HR Muslim) Kemungkaran bermakna merusak, merugikan, membuat bobrok, atau menganiaya. Ambil contoh: korupsi. Apakah korupsi termasuk kemungkaran? Lihat dampaknya: Apakah ada yang diru...

Why Me?

Saya sendiri belum bisa disebut sebagai penyintas kanker. Diagnosis kanker paru stadium 4 baru ditegakkan lima bulan yang lalu. Dan hingga kata sambutan ini saya tulis, saya masih berjuang untuk mengatasinya. Tetapi saya tidak pernah bertanya, “Why me?” Saya menganggap ini sebagai salah satu anugerah dari Allah SWT. Sudah begitu banyak nikmat yang saya terima dalam hidup ini: hidup di negara yang indah, tidak dalam peperangan; diberi keluarga besar yang cerdas dan hangat; kondisi sosial ekonomi yang cukup; dianugerahi suami yang sangat sabar dan baik hati; serta tiga anak—dua putra dan satu putri—yang alhamdulillah sehat, cerdas, dan berbakti kepada orang tua. Hidup saya penuh dengan kebahagiaan. Jadi... “Why not?” Mengapa tidak, Tuhan menganugerahi saya kanker paru? Tentu Tuhan punya rencana-Nya, yang belum saya ketahui. Tapi saya merasa siap untuk menjalaninya. Insya Allah. Setidaknya, saya kini menjalani sendiri penderitaan yang dialami para pasien kanker, sehingga saya bisa...

Empat Hari Kemarin

Empat Hari Kemarin Pulang dari Yogyakarta memang membuat saya senang. Namun, rasa senang yang berlebihan justru bisa mengundang rasa sakit. Benar kata seseorang yang identitasnya dirahasiakan (tak ingin disebutkan namanya karena sedang sibuk memancing di Sungai Cimanuk): “Kesenangan yang berlebihan akan berujung sakit. Tertawa terbahak adalah persiapan menuju tangisan. Tegarlah dalam keterpurukan saat kau menyayangi secara berlebihan.” Masuk akal juga si pemancing itu berkata. Saat sedang senang, kita jarang memikirkan seberapa lama kesenangan itu akan bertahan. Bisa jadi, kesenangan itu sirna hanya karena hal sepele—misalnya daging gepuk mewah yang menyangkut di gigi, dan karena terlalu senang, kita tak sadar sedang sakit gigi. Begitulah ringkasnya: kesenangan yang berlebihan bisa memangkas kewarasan. Barulah saat rasa sakit atau sedih datang, kita tersadar. Minggu lalu, hari kemarin, jam tadi, bahkan detik barusan bisa terasa berbeda dengan detik yang sekarang. Boleh jadi...

Cahaya Hati: Berbicara Baik (status FB yang baik)

Siang tadi, saya menerima sebuah SMS dari seseorang: "Hati dan otak bawah sadar adalah pusat kendali langkah, gerak-gerik, dan sikap kita. Isilah ia dengan hal-hal positif." Entahlah, tema Cahaya Hati malam ini terasa sangat selaras dengan pesan tersebut. Pembicaraan malam ini membahas tentang bagaimana berbicara yang baik. Semoga intisari ceramah Ustaz Abdullah Gymnastiar ini tidak hilang sedikit pun dalam catatan ringkas ini. Kami semua berlindung dari niat yang salah, dari ucapan yang keliru, dan hanya Allah-lah yang Maha Menuntun. Aamiin. Seperti kita ketahui, berbicara itu mudah. Yang berat adalah mempertanggungjawabkan isi pembicaraannya. Mulut seseorang itu seperti mulut teko. Apa yang keluar dari teko akan mengungkapkan seluruh isi di dalamnya. Isi teh keluar teh, isi kopi keluar kopi, isi madu keluar madu, isi racun keluar racun. Begitu pula dengan ucapan: Jika hati dipenuhi kebencian, maka keluar kata-kata kebencian. Jika hati dipenuhi kesenangan, ma...

Cahaya Hati: Bahaya Pujian

Baru-baru ini, saya mendapatkan tautan ceramah terbaru dari Ustaz Abdullah Gymnastiar. Alhamdulillah, bagi jiwa yang sedang kerontang, ceramah ini terasa sangat menyegarkan. Dalam rangkaian kegiatan tulis-menulis ini, terbesit dalam benak saya untuk mencatat beberapa tema yang mudah dipahami. Semoga isi ceramah tersebut menambah ilmu dalam menggapai rida Allah SWT—khususnya bagi sang penceramah, untuk saya pribadi, dan umumnya bagi kita semua yang membacanya. Aamiin. Tema pertama dalam catatan ini adalah tentang Bahaya Pujian . Semoga inti dari ceramahnya tetap utuh dalam tulisan ini. Bismillahirrahmaanirrahiim... Pujian itu lezat, sekaligus memabukkan. Layaknya minuman keras yang dapat membuat tingkah dan pikiran menjadi tidak normal, orang yang mabuk pujian pun bisa kehilangan kendali. Otak menjadi kacau karena dipenuhi pikiran tentang bagaimana cara mendapatkan pujian. Memilih pakaian dengan harapan dipuji, berzikir lama agar terlihat saleh, dan berbagai tindakan lain yang b...

Mata-Mata Gadungan

Jogja sudah empat hari terakhir cerah. Langit malam pun terlihat begitu indah. Bukan hanya taburan bintang yang tak terhitung, rembulan tergantung gagah meski ia terbelah. Indah benar Jogja yang saya gambarkan. Memang seperti itu. Pagi-pagi betul, saya pastikan pagi ini pun matahari akan berani menyelinap ke tempat-tempat yang ia inginkan. Terserah dia. Ia ingin menyinari jendela si Fulan, atau mengintip dari genteng yang bolong, atau mungkin menularkan sedikit hangatnya kepada triliunan pakaian basah—biarkan saja. Duhai mata dari tiap-tiap hari, Engkau pasti sudah melihat aneka aktivitas selama berhari-hari. Mungkin beribu, berjuta, bermiliar, atau bahkan bertriliun hari. Saya yakin itu. Engkau sudah menyaksikannya. Matamu tidak karatan, apalagi buta. Saya ingin bertanya: Pernahkah engkau melihat satu hari di mana seseorang tersinari cahayamu, tetapi ia tetap gelap? Pernahkah ada seseorang yang panas hatinya melebihi panas matamu? Ataukah mungkin ada orang yang mera...

Wanita di Senja Hari

Di catatan saya yang ke-100 ini, saya ingin keluar sejenak dari riuhnya pemberitaan media. Baik itu tentang Pak Dahlan yang ‘heroik’ di gerbang tol Semanggi, kunjungan Ban Ki Moon ke Indonesia, para teroris yang kembali menghiasi layar berita, atau para calon Gubernur DKI yang mulai unjuk gigi dan tebar janji. Ah, membosankan. Bagi saya, itu sangat amat super membosankan. Saya ingin bercerita tentang seorang wanita yang selalu saya banggakan. Yang selalu saya syukuri kehadirannya, atas segala kebaikan dan pelajaran hidup yang ia berikan. Wanita yang sudah terlatih mewarnai hari-harinya dengan keteguhan dan kelembutan. Suatu sore dalam perjalanan menuju Jakarta, saya merasa senang karena kali ini saya ditemani oleh seorang wanita berjilbab, mengenakan baju bermotif bunga-bunga. Bukan dia yang mendekati saya, tapi saya yang memilih mendekatinya. Saat pertama kali naik bus, saya melihat bahwa bus tidak terlalu penuh. Banyak kursi kosong, namun saya memilih duduk di dekat wanita...

Katumbiri Hati

Pernah mendengar kisah tentang Nabi Nuh? Ya, nabi pertama yang membangun bahtera super besar yang mampu memuat hampir seluruh makhluk hidup di sekitarnya. Namun, ternyata bukan hanya itu kisah terkenal dari beliau. Dari segi usia, Nabi Nuh memiliki kesempatan hidup jauh lebih panjang dibandingkan nabi atau rasul lainnya, yakni mencapai 950 tahun. Anehnya, dengan usia hampir seribu tahun itu, Nabi Nuh justru memiliki jumlah pengikut yang paling sedikit. Wallahu a'lam bish-shawab. Dikisahkan, Nabi Nuh pernah bertemu dengan seorang ibu yang terisak-isak karena ditinggalkan putranya untuk selamanya. Sang anak telah dipanggil oleh Pemilik tiap-tiap jiwa. Nabi Nuh mencoba menenangkan sang ibu atas apa yang telah digariskan oleh Allah SWT. Sang ibu berkata, “Wahai Nabi Allah, saya sangat terpukul. Di usianya yang masih cukup muda, 250 tahun, ia sudah meninggalkan saya.” Nabi Nuh menjawab, “Ibu, sungguh, kelak akan datang suatu masa di mana manusia sangat kecil kemungkinannya untuk ber...

Tertimpa Durian: Sakit.

Wah, sudah lama saya tidak menulis lagi. Sebenarnya tidak terlalu sibuk. Terbukti, saya tidak pernah absen menuliskan status di Facebook. Hanya saja, saya menunggu waktu seperti ini—saat hujan turun deras di luar, dan di dalam kosan ada yang sakit: saya sendiri. Benar adanya saat orang mengatakan, jangankan untuk berpikir, untuk makan saja orang sakit begitu malas. Lantas, apa yang saya kerjakan sekarang ini kalau bukan berpikir? Bagi saya, menulis membuat suasana menjadi lebih rileks. Pikiran tidak tegang, dan segala bentuk unek-unek tersalurkan. Lega. Hujan di luar masih deras. Saya mencoba mengimbangi suara hujan dengan lantunan murotal Al-Ghomidi dari pemutar MP3. Begitu nikmat suaranya. Tangan saya tak henti-hentinya menyeka cairan yang terus mengalir dari lubang hidung. Ah, bagaimana mungkin manusia seperti saya ingin berlaku sombong terhadap sesama—berlagak paling bisa, paling tahu, paling hebat? Ingus saya sendiri saja tak bisa saya kendalikan. Saya kewalahan. B...

Tak Akan Melangkah Lebih Jauh Lagi

Hati kita sering terbeli oleh orang yang berbuat baik kepada kita. Timbullah cinta—cinta yang membuat kita ringan berbuat, bahkan rela berkorban. Kita mencintai orang tua yang telah banyak memberi kebaikan. Kita pun mencintai siapa saja yang membuat kita merasakan nikmatnya kebaikan. Namun sesungguhnya, semua sumber kebaikan hanyalah dari Allah. Sedangkan makhluk hanyalah jalan nikmat yang Dia berikan kepada kita. Maka cinta sejati kita adalah cinta kepada sumber segala kebaikan, sumber kenikmatan dan kebahagiaan yang sampai kepada kita. Dialah... Allah. Sudah tiga hari belakangan ini, pikiran saya melanglang entah ke mana. Kadang saya mencoba menerka hampir setiap isi kepala orang. Saya memikirkan gagasan Elliot tentang antropologi, kepala Aarseth tentang video gim, Homerin tentang agama, pikiran teman-teman, orang tua, dia, dosen, dan semuanya. Tololnya saya! Seolah ingin menggeser peran malaikat Atid, saya sibuk mencatat semua amalan buruk dari setiap manusia. Dan lebih...

Kita

Saya pikir saya sudah cukup lama absen dari kegiatan tulis-menulis (KTM) atau karang-mengarang (KKM)—atau apalah istilahnya. Ternyata belum terlalu lama juga. Terakhir saya memublikasikan catatan Let It Be pada 3 Oktober. Hmmm... sebenarnya sejak tanggal itu, banyak sekali cerita yang aneh, menarik, mengiris hati, mengkhawatirkan, dan masih banyak lagi lukisan kehidupan karya anak cucu Adam. Mungkin saya ceritakan kilasannya saja. Cerita pertama tentang tetangga saya. Masih segar dalam ingatan, tetangga sebelah—kira-kira terhalang lima rumah kos—barang-barangnya dikeluarkan oleh ibu kos. (Bukan ibu kos saya, kebetulan masih satu kompleks tapi beda pengurus.) Alasannya cukup klasik: telat bayar. Konsekuensinya, seluruh perabotan rumah dikeluarkan. Oke, saya tidak akan membahas lebih jauh soal ini, meskipun saya tahu cukup banyak detailnya. Yang perlu digarisbawahi adalah: setiap kejadian di muka bumi ini terjadi atas dasar hukum kausalitas. Ada sebab, ada akibat. Cerita kedua te...

Sakit apa, Dok?

Saya tidak tahu harus mulai dari mana... Di dunia yang keruh ini, ada beberapa hal yang membuat saya takut. Takut di sini tentu bukan dalam arti takut kepada-Nya. Lebih kepada perasaan tidak sanggup bertemu atau khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saat bertemu. Rasa takut ini bisa disebabkan oleh trauma, imajinasi sendiri, atau mungkin dari gosip yang beredar. Takut yang biasa—seperti takut kesetrum atau takut ular. Hal sederhana yang membuat saya takut adalah hewan amfibi yang menurut saya sangat kurang menarik secara fisik: kodok. Dalam bahasa Sunda disebut bangkong korodok. Saya tidak akan berbicara panjang tentang binatang yang pernah dijadikan bencana pada masa Firaun (QS. Al-A’raf: 133), saat hampir seluruh kerajaan dipenuhi oleh makhluk melompat ini. Saya tidak tahu pasti mengapa saya begitu takut pada hewan yang satu ini. Hal lain yang membuat saya takut adalah mereka yang tidak jelas identitas gendernya—apakah laki-laki atau perempuan. Untuk yang satu ini...

Menangkis "Bola" Nyasar

Tempo hari, saat saya memasuki kawasan Golf Ngamplang di kota kelahiran saya, Garut—tentunya bukan untuk bermain golf—saya sempat dibuat cemas oleh beberapa plang peringatan yang dipasang di sejumlah titik. Hari itu, saya menemani seorang teman yang ingin mengobati rasa penasarannya berfoto-foto di sekitar lapangan golf. Maklum, kamera barunya masih ingin “unjuk gigi” di tempat yang belum pernah dijelajahi. Bagi kami, lapangan golf adalah sesuatu yang asing sekaligus istimewa. Hamparan rumput hijau yang luas, kontur tanah yang bergelombang, dan udara sejuk pegunungan menciptakan suasana yang tenang namun tetap menyimpan ketegangan. Namun, di balik ketakjuban itu, saya dihantui rasa waswas oleh plang bertuliskan: “Awas Bola Nyasar.” Sepanjang pengambilan foto, mata saya terus siaga, berjaga-jaga kalau-kalau ada bola putih yang tiba-tiba “mencium” kepala kami. Apalagi, kata teman saya, bukan rumah sakit yang akan dituju jika bola seukuran buah sawo itu jatuh dengan kecepatan penuh, m...

Sok Betul

Catatan Sabtu Kemarin Kemarin, semangat saya untuk pergi ke sidang Jumat sempat kandas. Setelah belasan menit menunggu, Jumatan belum juga dimulai. Ada apa ini? Para jamaah saling menatap heran satu sama lain, entah mengapa sidang Jumat belum juga dibuka. Suara azan sudah terdengar dari masjid di ujung sana, bahkan di penjuru lain sudah ada yang memulai khutbah. Akhirnya, yang ditunggu datang juga. Khatib naik ke atas mimbar dan segera membuka sidang Jumat dengan salam. Muazin yang sedari tadi tampak tak sabar pun langsung menyalakan mikrofon dengan semangat. Azan pun berkumandang. Semangat saya kembali tertarik dengan materi khutbah Jumat di Masjid Al-Muslimun yang masih saya ingat. Kebetulan, temanya sangat populer. Isi khutbah kemarin berkaitan dengan tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan pertolongan dari Allah SWT, pada hari di mana tidak ada satu makhluk pun yang mampu memberi pertolongan, kecuali pertolongan dari-Nya: Pemimpin yang adil Pemuda yang tumbuh da...

Karena Masalah, Kita Hidup.

Oke. Kembali bercerita. Pagi tadi, saya mengantarkan Ibu dan adik-adik ke Terminal Garut. Rencananya mereka akan bertandang ke rumah adik pertama saya yang berlebaran di Kota Hujan. Suasana terminal masih ramai—maklum, masih dalam masa arus balik. Ada arus mudik, ada arus balik. Namun, menurut beberapa sumber, arus balik justru lebih padat. Kalau hal ini diumpamakan dalam ibadah, tentu cukup mengkhawatirkan: orang yang “pulang kampung” demi kembali fitri kalah jumlah dengan mereka yang kembali ke rutinitas duniawi. Oh, semoga itu hanya perumpamaan yang keliru. Lupakan soal itu. Bukan itu yang ingin saya ceritakan. Saya tertarik dengan hari ini—dengan orang-orang yang saya temui. Semuanya punya urusan masing-masing. Subhanallah, jarang sekali saya menyadari hal itu. Dimulai dari usaha saya berjejalan untuk membooking posisi di jok pertama bus Primajasa, karena Ibu tidak mau duduk di belakang. Sampai pada urusan terakhir: seorang teman yang baru sadar bahwa STNK-nya sudah lama ...

It's not a note

Memang, tak selamanya hidup berada di atas. Sudah seharusnya kita merasakan hidup di bawah. Waktu lengang tak akan selamanya kita nikmati; pasti akan datang saat-saat menghimpit. Ada kalanya kita sehat, lalu sejam kemudian bisa saja dilarikan ke UGD. Semua sudah ada yang mengatur. Hikmahnya: agar kita merasakan segala hal di dunia ini. Itulah kasih sayang Allah—adil. Saya teringat ucapan seorang filsuf yang mengatakan bahwa manusia itu terbagi dalam beberapa golongan: Ada yang tahu bahwa dirinya tahu. Ada yang tahu, tapi tidak sadar bahwa dirinya tahu. Ada yang tidak tahu bahwa dirinya sebenarnya tahu. Dan yang paling parah: ada yang tidak tahu, tapi juga tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Saya sedang berada di mana sekarang? Apakah saya tahu dengan apa yang sedang saya kerjakan? Dengan apa yang saya pikirkan? Ataukah saya tidak tahu dengan apa yang sedang dibicarakan? Ataukah saya tidak ingin tahu karena memang saya tidak tahu? Ataukah saya tahu, dan memang saya tahu...

Ini Bukan Judulnya

Satu hal yang paling saya sukai adalah kejujuran. Dan satu hal yang paling saya benci adalah kesombongan. Entah mengapa, sejak dulu saya selalu merasa simpati kepada mereka yang jujur. Mungkin karena saya sendiri kerap tidak jujur terhadap diri saya. Memang tidak mudah menilai apakah seseorang jujur atau tidak. Namun, ada satu prinsip yang bisa dijadikan pegangan: Saat seseorang mengucapkan A dan tindakannya selaras dengan A, besar kemungkinan ia jujur. Tapi jika ia mengucapkan A, namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan ucapannya, kemungkinan besar ia tidak jujur. Jangankan kepada orang lain, kepada dirinya sendiri pun... ya, begitulah. Kadang saya pun seperti itu. Hahay. Berikutnya, tentang orang yang takabur. Saya sangat tidak suka—sangat amat tidak suka—dengan mereka yang sombong. Entahlah... mungkin karena saya pun pernah takabur. Saya sadar itu. Ada dua ciri yang menunjukkan seseorang telah sampai pada tingkat kesombongan. Pertama, mereka mendustakan kebena...