Posts

Showing posts with the label Coretan Absurd

Indah Karena Warna

Kalau semua orang di dunia ini baik, pasti tidak akan ramai. Kalau semua urusan di dunia lancar terus, pasti tidak akan ramai. Kalau semua mahasiswa nilainya A, pasti tidak akan ramai. Kalau semua keinginan terpenuhi, pasti tidak akan ramai. Coba bayangkan jika semua keinginan kita dikabulkan... Semua orang ingin sehat. Kalau semua makhluk di dunia dikabulkan keinginannya untuk selalu sehat, apa yang akan terjadi? Rezeki para dokter akan terhambat, dan hakikat ilmu kedokteran tidak akan berkembang. Semua orang ingin dipuji terus-menerus. Apa yang akan terjadi jika kita dipuji setiap jam, bahkan setiap menit? Mungkin kita akan muak, atau malah curiga: ada apa ini? Mencintai dan dicintai terus-menerus pun tidak akan ramai. Karena kita baru tahu arti mencinta saat pernah membenci, atau dibenci. Semua keinginan terpenuhi, pasti tidak akan ramai. Harus ada warna lain agar hidup terasa indah. Perlu kecewa untuk tahu bagaimana cara bertahan. Perlu menyesal untuk tahu bagaimana...

Rindu Para Wali

Alhamdulillah, senangnya tubuh ini masih bisa merasakan lelah—sebahagia terbangun kembali di waktu Subuh. Tidak ada yang sulit bagi Allah untuk menghidupkan dan mematikan makhluk. Diiringi musik Wali – Sayang Lahir Batin.mp3 , saya menulis: Kiranya tak berlebihan jika saya terpikat oleh kata-kata yang singkat... Kau begitu hemat dalam bertutur. Kiranya tak tergolong “cupu” jika saya galau dengan pribadimu yang cuek... Kau begitu tenang: yang perlu dibicarakan, dibicarakan; yang tidak perlu, jangan diada-adakan. Kiranya tak tercatat munafik jika saya tersemangati oleh doamu... Kau berdoa dengan paket lengkap: ada harapan, ada peringatan. Bukan sekadar doa. Kiranya tak disebut menghamba jika saya mengidamkan kehadiranmu... Kau pandai bersembunyi dari hal-hal yang samar, menerbitkan rasa penasaran bagi orang di sekelilingmu. Kiranya tak disamakan dengan penguntit jika saya diam-diam memperhatikanmu... Memang, kau bukan pusat perhatian orang-orang. Tapi tidak bagi saya. Kira...

Bulan Bahasa

Akhir-akhir ini, saya kembali dipertemukan dengan bahasa PHP. Sebuah bahasa pemrograman yang dulu berhasil membuat saya malas mandi selama kuliah. Bahasa ini pula yang menemani masa menganggur menjelang sekolah lagi. Saya anak sastra, bukan pemrograman, tapi bagi saya keduanya memiliki bahasa. Saya gemar, itu saja. Dulu, bahasa PHP sangat seksi di mata saya. Tapi sekarang, mengetik dan mencoba kembali kode-kode tersebut terasa seperti mencari satu jerami di pabrik jarum. Lumayan payah. Benar adanya: jika ingin memahami satu bahasa, gunakanlah. Tentang bahasa pemrograman—entah itu Java, AS Flash, C++, Delphi, HTML—pada dasarnya sama: bersumber dari bahasa basis dua (biner), yaitu 1 dan 0. Siapa pun yang ingin belajar bahasa pemrograman, logikanya sederhana: jika ini nol, maka itu satu, atau sebaliknya. Seterusnya seperti itu. Logika tiap orang akan berbeda dalam menjalankan satu perintah (dan saya merasa paling buruk dalam hal logika). Ada yang 1 1 1 0 0 1, atau 0 0 1 1 1 1. Akan banyak...

Ranger Oranye

Dunia Kini Terancam! Power Rangers Sedang Diuji! Bagi yang belum mengenal anggota Mighty Morphin Power Rangers, izinkan saya memperkenalkan mereka dengan penuh semangat sambil ngemil kentang goreng. Ada Zack si Ranger Merah (nanti diperankan oleh Adam, penting banget, ya?), Billy si Ranger Biru, Jason si Ranger Hitam, Kimberly si Ranger Pink, Trini si Ranger Kuning, dan—jagoan saya yang tidak terlupakan—Tommy si Ranger Hijau yang nantinya menjadi Ranger Putih. Tugas mereka sangat mulia: menjaga dunia agar tidak dikuasai oleh pemimpin kelompok radikal licik bernama Goldar, si penjahat. Layaknya pahlawan, Power Rangers dibekali senjata andalan. Zack dengan pedangnya, Tommy dengan pistol lasernya, Billy membawa tongkat, ada juga bumerang dan senjata lainnya. Luar biasa! Mereka sangat kompak dan mengagumkan. Namun, kebersamaan mereka terganggu oleh kehadiran seorang ranger yang tidak diharapkan. Priit!! Kemarin, saya berbincang dengan Zack si Ranger Merah. Ia mengeluh karena tanp...

Oh

Catatan Siang Ini: Dudung dan SMS Misterius Catatan siang ini tentang seorang makhluk luar biasa hasil olahan Tutug Oncom. Sebut saja namanya Dudung (bukan nama sebenarnya). Entah apa yang ada dalam benaknya saat ia asyik mengirim SMS yang membuat semua orang penasaran. Contohnya: “Ga?” SMS-nya hanya satu kata, tapi karena ada tanda tanya, otomatis saya harus menjawab. “Ya?” Saya pun membalas dengan satu kata, lengkap dengan tanda tanya. “Mau?” Dia kembali bertanya, masih satu kata. Kali ini saya tidak mengikuti arus permainannya. Saya tidak membalas dengan “Mau apa?” Itu demi menjaga kredibilitas saya di matanya—yang, jujur saja, cukup mengidolakan saya (terbukti dari frekuensi SMS-nya yang hampir tiap hari dengan isi serupa). Saya hanya menjawab: “Udah.” Dia balik bertanya: “Apanya?” Saya terdiam sejenak, lalu menjawab: “Rahasia.” Balasannya: “Oh.” Tanpa tanda tanya, tanpa titik, tanpa koma. Dua huruf: OH. Saya bingung. Apa yang harus saya jawab? Akhirnya s...

Kamis Gokil, Gagak Keparat (KGGK)

Percaya atau tidak, tiga hari setelah kejadian itu, layaknya jelangkung, nyengir itu datang tak diundang, pulang tak diantar. Setiap kali mengingat acara itu, saya nyengir sendiri. Ingat lagi, nyengir lagi. Sungguh, acara yang sangat super duper gokil. Kamis, 26 Januari 2012, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa setiap ada usaha, di situ ada jalan—sekalipun usahanya minim. Segelintir orang pun ikut terlibat, dan di akhir acara mereka kompak mengucapkan: “Ini acara paling gokil yang pernah ada.” Siang itu, saya disibukkan dengan acara pementasan seni Gerak dan Tawa —istilah ini muncul tepat saat penulisan catatan ini. Meskipun yang akan diperagakan adalah puisi yang sangat tragis, karena tanpa persiapan, ujung-ujungnya tergolong ke genre komedi. Acara dimulai pukul 19.00, sekarang pukul 12 siang. Walaupun saya bukan ketua acara, saya dibingungkan oleh beberapa hal luar biasa: MC belum pasti. Aktor untuk puncak acara belum jelas. Sound belum dikonfirmasi ulang. Tempat baru b...

Aku, Kodim, dan Gada Kerjaan

Baru kali ini saya memiliki seseorang yang bisa diajak ngobrol tentang sesuatu yang sebenarnya sudah lama saya tahu: hobi memelihara burung. Namun, saya belum pernah mengulik lebih dalam tentangnya. Saya tidak pernah benar-benar memahami mengapa orang-orang begitu menggilai hobi ini. Apakah karena mereka senang mendengarkan merdunya suara burung? Atau terpikat oleh keindahan warna bulunya? Atau sekadar hobi mengoleksi sangkar dengan berbagai bentuk, ukuran, dan warna? Tapi bisa dibayangkan, saat pagi cerah, sebut saja namanya Kodim, harus naik ke pohon depan kosan untuk menggantungkan sangkarnya agar burung-burungnya bisa menikmati hangatnya sinar mentari. Namun, setengah jam sebelum naik pohon, ada ritual khusus: memandikan burung dan memberinya makan. Pakannya pun beragam, karena selera burung berbeda-beda. Saya melihat wadah-wadah dengan isi yang berbeda: Ada ulat yang ia beli seharga Rp1.000 untuk setengah ons (tentu bukan ulat bulu), Ada wadah berisi 12 ekor jangkrik se...

Melepas Payah

Ditemani alunan instrumen Kitaro, malam perlahan merangkak menuju sepi. Meninggalkan keramaian siang hari, mengantar pulang segala urusan yang telah dijalani. Di dinding ini, saya melihat dua ekor cicak sedang bermesraan—salah satu ekornya digigit penuh manja. Ah, dasar cicak... Tahu waktu, tak tahu tempat. Kitaro kian memuncak, menggapai bagian reff. Tak sepadan, memang. Malam yang sepi dihiasi genderang Kitaro. Oh, dasar aku... Tahu tempat, tak tahu waktu. Pernah mendengar lagunya yang berjudul Koi ? Belum? Dengarkanlah... Saya sudah mendengarnya sejak kecil. Biasa diputar di waktu pagi, lewat radio. Bukan di tempatmu, tapi di tempat saya. Saya dengarkan berhari-hari, saya putar bertahun-tahun. Tapi tetap saja, saya tak bisa menangkap apa yang ingin disampaikannya. Yang saya tahu hanya gelitik suara suling Cina. Pikiran saya membayangkan peristiwa sehabis perang... Kebudayaan hancur dimakan hasil kebudayaan itu sendiri. Peradaban musnah dilahap oleh hasil peradab...

Jadi Ingat

Hari ini, pagi-pagi saya menerima SMS dari adik saya. Katanya, ia akan sidang skripsi pagi ini. Pesan saya cukup singkat karena saya yakin ia sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Meski ia tampak khawatir, saya yakin pesan yang saya kirim tidak terlalu ia pikirkan: “Semoga sukses, dan jangan datang terlambat!” Yup, jangan terlambat. Membayangkan dua tahun silam, tepatnya 5 Maret 2009 Jadi ingat... Hari itu saya akan sidang skripsi. Hari terakhir mempertahankan tugas akhir demi mendapatkan selembar kertas berhologram yang meresmikan penambahan dua huruf di belakang nama saya: S.S. Sarjana Sakit, Sarjana Susah, Sarjana Senang, Sarjana Sukses—atau apalah plesetan anak-anak saat itu. Tapi sebenarnya singkatannya sangat mantap: Sarjana Sastra . Widiiihhh... tet! Kembali ke topik. Pagi itu, seperti biasa, saya adalah saya—dengan segala kekurangan, kesurupan, dan kekhilafan. Sidang dimulai pukul 11.00, dan pikiran aneh mulai merasuki kepala saya. Saya begitu santai kala itu. B...

Resolusi Tahun Baru Islam

Pagi tadi, di sebuah acara TV, saya menonton beberapa klub pecinta Husky (nama jenis anjing). Anjing ini terkenal sangat bersahabat dengan manusia. Anjing yang biasa hidup di daerah kutub ini memiliki kepala yang hampir mirip dengan kepala serigala, tetapi sama sekali tidak sebuas anjing hutan (atau serigala). Bahkan, orang-orang di kutub sana mempercayakan pekerjaan menarik kereta pada anjing yang cepat dilatih untuk duduk, berjalan, dan bersalaman ini. Memang, menurut informasi, urutan hewan yang paling akrab dengan manusia adalah anjing, dan kuda berada di urutan kedua. Anjing dengan bermacam jenis tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan sesuai dengan kodratnya. Seperti Husky, ia mungkin tidak sebuas anjing pelacak; atau Sheepdog (anjing penjaga kambing/penggembala), tentu lebih sigap dalam mengatur tugasnya. Wild dog tentu lebih ganas karena kodratnya hidup di rimba. Ada Dalmatian, ada Bulldog, ada Beagle, ada Lion Dog, ada Kanaan, dan masih banyak lagi. Jauh di lubuk hati say...

Tengkibing Day

Kamis, 24 November kemarin, entah saya mimpi apa... Selain bertepatan dengan Thanksgiving Day , hari itu juga saya sebut sebagai Tengkibing Day —Hari Nengteng Kaki Kambing. Ya, selama hampir setengah jam perjalanan, saya menggendong seekor kambing dari daerah Prambanan sampai Gejayan. Awalnya, rencana saya hanya menemani seorang teman membeli kambing di pasar kambing depan Candi Prambanan. Tapi nasib berkata lain. Setelah obrolan sana-sini, telepon sana-sini, si kambing harus ikut naik motor bersama kami. Saya kikuk, tidak tahu harus berbuat apa. Teman saya hanya tersenyum simpul—entah malu, entah GR—tapi yang jelas, kami grogi. Khususnya saya. Saya harus membantu si kambing duduk tenang di pangkuan, karena sempat terpikir: biarlah kami yang dibonceng oleh si kambing. Tapi ternyata, di pasar, puluhan orang membawa kambing, dan tak satu pun dari mereka dibonceng oleh kambing. Yang ada, kambingnya dibonceng manusia—lebih tepatnya, digendong. Si kambing dijatuhkan. Buk! Kedu...

Versus

Kini mata saya menatap keluar jendela kereta Malabar. Gelap. Sesekali lampu kecil mendekat, lalu menghilang. Di luar, bayangan pepohonan dan rumah-rumah yang tertidur melintas seperti potongan mimpi yang tak sempat saya ingat. Sekitar 20 menit lalu, Malabar meninggalkan Stasiun Tugu. Tak seperti biasanya—dari nama kereta, nama stasiun, hingga jadwal keberangkatan—semuanya berbeda dari yang biasa saya alami. Biasanya saya menaiki kereta ekonomi Kahuripan dari Stasiun Lempuyangan, dengan jadwal yang masih wajar: pukul 20.20 malam. Malabar justru berangkat pukul 23.57, tiga menit sebelum tengah malam. Nggak sehat! Gerbong terasa lengang, hanya suara roda besi yang beradu dengan rel, sesekali terdengar dengkuran pelan dari penumpang yang tertidur. Karena Malabar tidak berhenti di Stasiun Garut, baik Cibatu maupun Leles, saya harus bersiap turun di antara Tasikmalaya atau Bandung. Kereta dijadwalkan tiba di Bandung pukul 08.30 pagi, tapi nampaknya akan terlambat. Terbukti, laju kereta ...

Al-Labay

Celakalah kedua bibir orang-orang lebay (1) yang dalam kata-katanya terdapat alay (2) yang selalu menganggap dirinya pandai, (3) padahal ucapanya tak lebih dari sekedar tokay (4) tokay yang hancur terinjak, tak bernilai (5) dan ingatlah...ketika tokay itu tidak terinjak, maka tetap, tidak akan bernilai (6)

Tua itu Pasti, Dewasa itu Pilihan

Mungkin kalian pernah mendengar judul di atas: Menjadi tua itu pasti, sedang menjadi dewasa adalah pilihan. Benar adanya, saat manusia divonis oleh hitungan umur dan putaran waktu, maka tua adalah suatu kepastian. Lain halnya saat kita berbicara tentang kedewasaan. Ia tidak ditentukan oleh usia, bukan pula oleh zaman. Dewasa itu ada di sana—di kepalamu, Nak. Ada banyak cara orang tua agar anak-anaknya tumbuh dewasa. Kita mengenal istilah proses pendewasaan , yakni usaha atau cara untuk menjadikan seseorang lebih matang. Namun, apakah semua proses berujung pada hasil yang diharapkan? Kadang iya, kadang tidak. Itulah sebabnya saya katakan: dewasa itu ada di kepalamu. Kamu yang mengendalikan. Kamu yang memilih. Kamu yang menentukan—mau dewasa atau tidak. Hey, dengarkan saya! Proses penuaan adalah usaha untuk menjadi tua. Tapi saya kira, di dunia ini tak ada yang sengaja menjalani proses itu. Kecuali jika terpapar radiasi nuklir yang katanya bisa menyebabkan penuaan dini. Ja...

Kedisiplinan Kelik

Masih ingat dengan status Facebook subuh-subuh, saat saya kaget membuka SMS yang masuk malam sebelumnya dari seseorang yang di daftar kontak saya saya beri nama “Drs. Kelik”? Saya benar-benar terkejut. Isi SMS itu menyatakan bahwa ia ingin menemui saya di Pos Purwosari, Solo. Padahal saya sedang berada di Garut. Kuliah saya? Di Yogyakarta. Hellooowww. Oh iya, Kelik adalah nama bapak kos saya—sosok yang super duper perhatian. Terutama dalam urusan yang satu ini: pembayaran uang kosan. Masa kontrak kamar saya habis pertengahan September. Namun sejak bulan Mei, saya sudah mulai ditagih. Saya mendapati surat penagihan tergeletak di bawah pintu kamar. Peringatan pertama saya abaikan. Beberapa minggu kemudian, peringatannya semakin intens. Tidak lagi diketik, melainkan ditulis tangan, lengkap dengan banyak tanda seru—tanda baca yang paling tidak saya sukai, baik dalam SMS maupun surat. CAMKAN ITU!!! Akhirnya saya menelepon beliau. Saya menjelaskan bahwa masa kontrak kamar say...

Karena Masalah, Kita Hidup.

Oke. Kembali bercerita. Pagi tadi, saya mengantarkan Ibu dan adik-adik ke Terminal Garut. Rencananya mereka akan bertandang ke rumah adik pertama saya yang berlebaran di Kota Hujan. Suasana terminal masih ramai—maklum, masih dalam masa arus balik. Ada arus mudik, ada arus balik. Namun, menurut beberapa sumber, arus balik justru lebih padat. Kalau hal ini diumpamakan dalam ibadah, tentu cukup mengkhawatirkan: orang yang “pulang kampung” demi kembali fitri kalah jumlah dengan mereka yang kembali ke rutinitas duniawi. Oh, semoga itu hanya perumpamaan yang keliru. Lupakan soal itu. Bukan itu yang ingin saya ceritakan. Saya tertarik dengan hari ini—dengan orang-orang yang saya temui. Semuanya punya urusan masing-masing. Subhanallah, jarang sekali saya menyadari hal itu. Dimulai dari usaha saya berjejalan untuk membooking posisi di jok pertama bus Primajasa, karena Ibu tidak mau duduk di belakang. Sampai pada urusan terakhir: seorang teman yang baru sadar bahwa STNK-nya sudah lama ...

Kp. Hawa, Kec. Adam.

Tak sengaja semalam saya menonton acara komedi di salah satu stasiun TV swasta berjudul Kampung Hawa . Yang menarik perhatian saya adalah soundtrack penutupnya, kurang lebih begini: Setiap kota punya ibu, tapi tak punya bapak. Setiap negara punya ibu, juga tak punya bapak. Hari pun ada ibunya, tapi tidak memiliki bapak. Surga di telapak kaki ibu, bukan di telapak kaki bapak. ...selebihnya menjelaskan isi acara itu sendiri: pujian-pujian terhadap keunggulan Hawa. Apa yang saya tangkap dari lirik-lirik tersebut bukanlah kebetulan. Sosok ibu memang sangat berpengaruh dalam kehidupan dunia ini. Terlebih, menurut saya sebagai orang Indonesia, tanah air ini lambat laun menganut paham matriarkat. Peran bapak tidak lagi begitu dominan. Hadeuh... tapi cukup merisaukan, ya? Oke, kita lupakan soal itu. Sebenarnya saya hanya ingin kembali melatih gerak motorik otak saya dalam menyusun kata-kata. Saya ingin menulis, walau arah dan tujuannya belum tentu. Allah menciptakan manusia se...

Huru Hara Kiri

Baru kemarin, keluarga di rumah membuka obrolan ringan tentang kehidupan. Salah satu hal yang dianggap paling berat, bahkan bisa menimbulkan stres, adalah saat kita menjalani hidup dengan terus-menerus mengharapkan pujian dari orang lain. Menanti penilaian orang. Bisa dipastikan, orang semacam ini ke mana pun melangkah, pikirannya hanya dipenuhi oleh apa yang diinginkan orang lain demi sebuah “nilai” atau prestise. Ujung-ujungnya, ia hanya mengekor pada kehidupan orang lain. Jelas, ini adalah bentuk kehidupan yang paling buruk menurut saya. Saya teringat obrolan teman-teman kampus beberapa bulan silam, masih dengan topik yang sama: tentang kehidupan. Tak jauh berbeda dengan pesan keluarga, teman-teman saya juga berpikiran serupa. Kehidupan yang merugi adalah saat kita terus memikirkan pencapaian orang lain. Apa yang mereka raih, kita tulis. Apa yang mereka dapatkan, kita catat. Tujuannya? Hanya untuk dibandingkan dengan apa yang telah kita peroleh. Saya mengamini komentar m...

It's not a note

Memang, tak selamanya hidup berada di atas. Sudah seharusnya kita merasakan hidup di bawah. Waktu lengang tak akan selamanya kita nikmati; pasti akan datang saat-saat menghimpit. Ada kalanya kita sehat, lalu sejam kemudian bisa saja dilarikan ke UGD. Semua sudah ada yang mengatur. Hikmahnya: agar kita merasakan segala hal di dunia ini. Itulah kasih sayang Allah—adil. Saya teringat ucapan seorang filsuf yang mengatakan bahwa manusia itu terbagi dalam beberapa golongan: Ada yang tahu bahwa dirinya tahu. Ada yang tahu, tapi tidak sadar bahwa dirinya tahu. Ada yang tidak tahu bahwa dirinya sebenarnya tahu. Dan yang paling parah: ada yang tidak tahu, tapi juga tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Saya sedang berada di mana sekarang? Apakah saya tahu dengan apa yang sedang saya kerjakan? Dengan apa yang saya pikirkan? Ataukah saya tidak tahu dengan apa yang sedang dibicarakan? Ataukah saya tidak ingin tahu karena memang saya tidak tahu? Ataukah saya tahu, dan memang saya tahu...

Dilema Kecil

Tanggal 3 Juli 2011 adalah terakhir kali saya menulis. Semuanya sudah jelas. Sejak berada di rumah, saya didera rasa malas. Bagi saya, catatan adalah luapan emosi dari sebuah rasa yang muncul saat tidak ada seorang pun teman di samping. Di kosan, saya begitu semangat menuliskan berbagai fenomena yang saya alami. Mengapa? Tak lebih karena tidak ada teman untuk berbagi cerita. Di rumah, pendengar setia saya tentu adalah keluarga sendiri. Tak ada lagi unek-unek yang perlu saya luapkan lewat ujung jari. Tapi kini... Tepat dua bulan lalu, saya dihadapkan pada sesuatu yang terasa ‘aneh’. Saya ingin bermain di dalamnya, tapi saya tahu ini bukanlah permainan. Jujur, saya belum siap untuk memasukinya. Namun saat saya menyadari belum siap, ternyata saya sudah terlanjur termakan oleh situasi dilematis. Perfect! Mungkin kamu pernah mendengar tentang kondisi seperti ini: Ingin bermain, tapi ragu dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Atau sebaliknya, tidak ingin bermain, ta...