Lakuna

[Garut, 30 April 2017]
Alhamdulillah, hari ini benar-benar bisa istirahat. Akan bobogan. Bobo ganteng.
Minggu kemarin mari kita sebut sebagai minggu berkah—seperti nama warteg. Aktivitas berderet rapi seperti gerbong sepur: panjang dan padat. Tapi sekali lagi, itu berkah. Mumpung masih muda. Sibuk itu memang kotor dan menjijikkan, kata Larkin dalam puisinya Toads. Dan libur itu suci mensucikan, seperti halnya Holiday dalam lagu Scorpions.
Tapi percayalah, bergaul dengan sesuatu yang kotor dan menjijikkan itu lebih mudah dibayangkan daripada saat tua nanti merengek karena menyesal masa mudanya dipenuhi dengan kesucian personal—libur tanpa aktivitas. Tapi eh, jangan dibayangkan. Bisa jadi orang seperti itu pun tidak akan membayangkannya. Tua beracun malas, atau mati tertimbun sesal.
Pagi ini, hujan mengguyur Garut. Segar. Laptop mulai dinyalakan, dan saya memilih lagu Utha Likumahuwa. Humma hum! Hehe, bercanda. Anta, antumaa, antum. Canda lagi! “Esokkan Masih Ada” masih menjadi lagu favorit. Lagu yang sangat menggairahkan:

Dari sini, terlihat istri mulai mempersiapkan peralatan untuk menyetrika pakaian di ruang tamu. Alhamdulillah, kami akan dikaruniai seorang anak. Si Neng jalan tiga bulan, insya Allah. Kami sering mengobrol ringan: jenis kelamin apa yang akan hadir di rumah kecil kami? Padahal, biarkanlah menurut kehendak yang Kuasa. Tapi ya, itulah kami manusia biasa. Penasaran dengan rezeki yang belum terlihat. Penasaran adalah sisi lain dari harapan yang membuat bumi ini terus berputar.
Bulan depan, insya Allah kalau sehat, kami akan pergi untuk pemeriksaan USG. Sebagai informasi yang belum diketahui oleh istri: nama-nama calon bayi sudah saya siapkan sejak kuliah dulu. Kalau laki-laki, ada “Qiblat Sae Lakuna”; kalau perempuan, ada “Estetika”. Itu rahasia yang belum saya ungkapkan.
Semasa kuliah, beberapa cerita tercipta dengan nama karakter fiksi yang hanya tersimpan dalam memori harddisk laptop. Banyak sekali karakter yang terbayang, dan tokoh bernama “Sae” menjadi favorit: laki-laki tampan, kritis, absurd, saleh, dan transendentalis. Tokoh wanita bernama Estetika: anggun, salehah, jago menggambar, dan visioner.
Satu bulan kemudian...
Seiring berjalannya waktu, alhamdulillah bayi kami sehat wal’āfiyah. Mesin ultrasonografi (USG) menampilkan jasad dua dimensi dengan jenis kelamin laki-laki. Saya memperkenalkan sosok “Qiblat Sae Lakuna” kepada istri. Dalam bahasa Sunda, lakuna berarti perilaku. Qiblat Sae Lakuna berarti pusat kebaikan perilaku.
Namun saat itu, istilah lakuna muncul dari alusi Hakuna Matata dalam The Lion King—Timon dan Pumbaa—yang berasal dari bahasa Swahili, bermakna “tidak perlu khawatir.” Istri tidak terlalu merespons nama yang saya ajukan.
Sae adalah bahasa Sunda untuk “baik.” Ada George atau Marvel dalam bahasa Inggris, Bagus dalam bahasa Indonesia, Arif atau Khoer dalam bahasa Arab, dan seterusnya—semuanya berkaitan dengan keunikan bahasa. Kami berdua yakin: tidak ada bahasa yang superior atau inferior dalam kacamata budaya. Dalam urusan agama, kami tidak tahu. Itu rahasia.
Lakuna akhirnya tidak masuk daftar. “Qiblat Sae” sudah disetujui. Ada beberapa pilihan lagi nama-nama fiksi dalam laptop yang muncul otomatis di aplikasi Excel. Walagri akan menjadi nama belakang anak kami. Walagri bermakna sehat wal’āfiyah.
“A, Aa...! Itu ada tamu. Pagi-pagi sudah tidur lagi.”
Ah, tidak jadi bobo gantengnya. Sibuk memang kotor. Tapi dari kotorlah, bersih itu akan muncul.
Exchange your troubles for some love.

Comments