We Are What We Eat

Tanah di sekitar daerah itu tercium wangi penuh nikmat.
Wangi yang bertabur rahmat.
Tidak kering, tidak pula tandus.
Saat itu musim hujan.
Waktunya masih mudah diingat, sangat mudah dihafal.
Di daerah kami, jika orang berbicara tentang bulan berakhiran “-ber”, maka benarlah bahwa bulan-bulan tersebut adalah musim penghujan.
Kata “ber” di sini bermakna turun secara serentak, seperti bunyi “brrrrr” yang dalam bahasa lain mungkin berarti dingin.

September, Oktober, November, Desember—begitu seterusnya hingga bulan yang diakhiri dengan “-ret”, yang berarti berhenti.
Berhenti dari air yang turun serentak dari langit.
Bulan Maret kala itu masih menjadi penanda masuknya musim kemarau.
Entah kalau sekarang.

Masih tersimpan di memori saya: bulan itu adalah akhir Oktober.
Saya mengingatnya karena usia kandungan saya genap tujuh bulan.
Ini tentang dia—anak yang masih dalam kandungan saya.

Insya Allah, ini anak kedua saya.
Ada yang berbeda dalam masa kehamilan kali ini.
Saya tidak merasakan rasa malas yang berlebihan seperti ibu hamil pada umumnya.
Tidak seperti saat mengandung anak pertama.
Kali ini, kandungan terasa ringan.
Saking menikmati setiap aktivitas, masa ngidam pun terlewat tanpa kesan berarti.
Boleh dikatakan, saya dan bayi ini sangatlah nyaman bersama.
Setidaknya sampai usia kandungan saya saat ini.

Doa saya masih tetap sama seperti saat mengandung anak pertama:

Ya Allah, yang menitipkan dia dalam kandungan saya,
Saya tidak kuasa sedikit pun atasnya, baik di dalam sini maupun kelak di luar sana.
Semoga anak ini sehat, sholeh atau sholehah, dan pintar seperti ayahnya.
Saya tahu Engkau menitipkan banyak anak yang sholeh, sholehah, dan pintar.
Saya telah menemukan itu pada sosok suami saya.
Jangan seperti saya, ya Allah. Saya tidak baik, tidak sholehah, dan bahkan tidak pintar.
Maka karuniakanlah kepada saya anak yang sholeh atau sholehah.
Engkau Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Mengetahui.

Saya tidak sering meminta agar anak saya kelak banyak harta.
Selain rezeki sudah ada yang mengatur, saya berpikir itu adalah urusan hasil.
Mungkin, jika anak saya kaya akan ilmu dan hatinya, saya yakin Engkau akan memberi hasil yang jauh lebih besar dari apa yang ia perbuat dan bayangkan.
Saya selalu berdoa seperti itu.
Bahkan saat Subuh tadi pun, doa itu masih saya panjatkan.

Saya tidak tahu apakah calon bayi ini laki-laki atau perempuan.
Waktu itu belum ada USG, tidak seperti sekarang.
Tapi saya tidak terlalu sibuk memikirkan jenis kelaminnya.
Mau perempuan atau laki-laki, sama seperti anak pertama saya—sama-sama harus dirawat dan diurus sampai besar.

Saya hanya berikhtiar menjaga kandungan dengan memeriksakannya secara teratur.
Seperti rencana pagi ini, saya dan ibu mertua akan berangkat ke puskesmas yang jaraknya cukup jauh.
Maklum, kami tinggal di perkampungan yang jauh dari hiruk-pikuk transportasi.

Kami pun berangkat menyusuri satu-satunya akses terdekat menuju kota.
Kami harus berjalan kaki karena tidak ada dan tidak akan pernah ada kendaraan yang melewati jalan itu.
Jalan setapak yang naik dan turun dengan kemiringan yang sama curamnya.
Kami melewati sungai Cimanuk.
Syukurlah, masyarakat telah membangun jembatan bambu untuk mempermudah jalur itu.
Tetap saja, kami harus berhati-hati, apalagi sekarang musim hujan.

Pemandangan jalan sungguh indah.
Di satu sisi, pohon bambu menggeliat disapa hangat mentari.
Di sisi lain, suara sungai beriak menyambut langkah kami.
Tadi malam hujan deras.
Sudah beberapa bulan terakhir memang begitu: sore menjelang malam hujan, pagi kembali cerah.
Jalan setapak ini masih basah oleh sisa hujan semalam.
Tanah becek membuat kami berjalan pelan.
Saya harus ingat, kami tidak berdua.
Ada kamu dalam kandungan saya.
Harus berhati-hati.

Tangan saya sesekali dipegang oleh ibu mertua.
Beliau meminta saya agar tetap berhati-hati dalam melangkah.
Beliau sangat baik.

Setelah jalanan menurun, kami tiba di jembatan bambu—batas antara kampung kami dan kampung sebelah.
Masih jauh ke pemukiman.
Kami harus menanjak untuk tiba di kampung sebelah, lalu naik angkot atau delman menuju tujuan.
Tapi entahlah, saya malas sekali menanjak.
Masih ingin di sini, menikmati pemandangan sungai Cimanuk dari atas jembatan bambu.
Sungguh indah.
Irama kodok sungai bersahutan dengan kicauan burung pagi, sesekali hilang tersalip derasnya riakan sungai.

Ibu mertua akhirnya mengajak saya kembali melanjutkan perjalanan.
Memang harus bergegas.
Kami tak ingin pulang terlalu sore, khawatir hujan.

Melihat tanjakan menanti, saya menjadi sangat enggan melangkah.
Tapi saya paksa diri untuk berjalan selangkah demi selangkah.
Walaupun menurun menahan beban dua kali berat tubuh, bagi saya jalan menanjak jauh lebih berat.
Saya berjalan sangat lamban.
Setiap satu langkah, saya berhenti.
Menghirup udara.
Istirahat.
Begitu seterusnya.

Hingga di satu langkah, saya salah pijak.
Mungkin karena jalanan licin.
Saya tidak bisa mengendalikan keseimbangan tubuh yang tengah berbadan dua.
Saya terpeleset.
Terjatuh.
Terdiam.

Beberapa detik saya terdiam.
Kosong, bingung, dan takut.
Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan bayi saya.
Hingga suara ibu mertua menyadarkan saya.
Beliau terus menanyakan kondisi saya.
Apakah saya baik-baik saja?
Tidak ada yang sakit?

Wajar jika beliau cemas.
Saya pun sangat khawatir.
Saya langsung menenangkan beliau:
“Tidak, Ma. Tidak apa-apa.”
Beliau masih terus bertanya dan ingin memastikan kondisi saya.
Sesekali menenangkan dengan berkata:
“Mari kita periksa langsung ke dokter.”

Sepanjang perjalanan, saya tidak tenang.
Terus memikirkan kondisi bayi saya.
Bagaimana mungkin saya bisa seceroboh itu?
Saya tidak henti-hentinya berdoa semoga tidak terjadi apa-apa.

Jam sembilan pagi kami tiba di Puskesmas Munjul Bayongbong.
Tak lama menunggu, nama saya dipanggil:

“Purwasih. Cibunar Hilir.”

Kami masuk.
Ibu mertua langsung menceritakan semua kejadian.
Beliau panjang lebar menjelaskan dan terus memastikan kondisi kandungan saya.
Dokter Neneng—masih saya ingat namanya—memeriksa dengan teliti.
Tidak banyak bicara.
Mungkin ia pun cemas.

Semua prosedur dilakukan.
Setengah jam pemeriksaan berlangsung.
Akhirnya, raut wajah sang dokter mulai ceria.
Alhamdulillah, kandungan saya tidak apa-apa.

Menurut perkiraan, akhir Desember ini anak kedua saya akan lahir.
Sama seperti kakaknya tiga tahun lalu—bulan Desember.
Setelah kejadian itu, doa saya semakin giat saya panjatkan agar bayi saya sehat sampai lahiran.

Musim hujan kali ini membuat udara di kampung kami sangat dingin.
Apalagi kami berada di kota yang dikelilingi pegunungan.
Mungkin itulah sebabnya mie bakso cukup populer di kalangan warga Garut.
Bakso dengan kuah panas dan pedas membuat tubuh lebih nyaman.

Saya pun sama.
Suka sekali mengonsumsi mie bakso.
Setidaknya, itu tidak dilarang oleh dokter untuk saya dan kandungan saya.

Tapi semuanya telah terjadi dan sudah ada yang mengatur.
Saya pikir ini berawal dari kegemaran saya makan bakso.
Saya lupa dengan penyakit lama saya.
Mengapa ini terjadi saat usia kandungan saya cukup tua?

Belum hilang dari ingatan kekhawatiran saya dua minggu lalu, kini saya harus berjuang dengan rasa sakit ini.
Saya khawatir sakit ini berpengaruh pada bayi saya.
Bagaimanapun, darah dan dagingnya masih sama dengan saya, bukan?

Terlebih, bukan hanya fisik.
Kondisi psikis pun sangat berpengaruh pada janin.
Pernah saya dengar:

"Jangan salahkan anak yang pemarah atau cengeng, jika semasa dalam kandungan ibunya memberinya asupan emosi berupa amarah, kesedihan, atau ketakutan."
Kalimat itu terngiang kembali di kepala saya.
Semoga bayi saya tidak sedang saya beri makan dengan rasa sakit.
Arrghh… saya tidak tahu.
Yang saya tahu sekarang: saya sedang sakit.
Sangat sakit.

Saya tidak bisa menahan rasa ngilu ini.
Saya berniat pergi ke dokter gigi untuk mencabutnya.
Namun ternyata, jangankan mencabut gigi, minum obat-obatan pun sangat tidak dianjurkan bagi ibu hamil.
Saya hanya bisa pasrah.
Mencoba bertahan dengan bersabar.
Berharap rasa sakit ini tidak menular ke dalam jiwa bayi saya.

Saya berdoa:
Semoga anak yang ada dalam kandungan saya ini tampan jika ia laki-laki, dan cantik jika ia perempuan.
Cantik dengan hati dan giginya.
Dan alhamdulillah, tepat tanggal 27 Desember 1989, anak cantik itu telah lahir.
Kami beri nama…

(Nama tidak disebutkan dalam naskah, tapi biarlah ia menjadi rahasia yang indah dalam lembaran hidup kami.)

We Are What We Eat
Urang mah kumaha tuangeun.
Resep tuang nu garoreng, nya jadi goreng.
Resep tuang nu sarae, nya insya Allah sae. 😊

Cerita ini bukan hanya tentang perjalanan ke puskesmas atau rasa sakit yang menyesakkan,
tapi tentang harapan, tentang doa, tentang ikhtiar seorang ibu yang ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya—bahkan sebelum ia lahir.

Terima kasih telah membaca.
Semoga cerita ini menjadi pengingat bahwa setiap langkah seorang ibu, sekecil apa pun, adalah bagian dari cinta yang besar.

Cerio.


Comments