Ditinggalkan Waktu
Saya bukan seorang apoteker. Wajar, karena itu bukan keinginan saya.
Jadi, tak apalah jika saya tidak bisa meramu obat-obatan.
Saya bukan seorang profesor—suatu hari nanti, insyaAllah.
Saya juga tidak pandai merangkai kata.
Namun, dalam urusan ini, saya tidak akan berpihak pada diri sendiri.
Mentang-mentang bukan pujangga, bukan berarti saya akan diam saat tak mampu menyusun kalimat.
Hohoho... nay, nay, nay!
Di sini, tepat di tempat saya duduk, saya dikelilingi buku-buku warna-warni.
Ada sampul oren, kuning muda, hijau muda, ungu, biru, merah—semuanya khas fotokopian.
Sebagian belum sempat saya kaji.
Sebagian sudah saya tandai dengan stabilo: mana yang akan dimasukkan ke dalam makalah, mana yang tidak.
Sebagian lagi rusak karena tertindih saat saya tertidur.
Saya ingin berbagi tentang beberapa gejala aneh yang menimpa saya akhir-akhir ini:
- Mual rasanya saat ide belum muncul, padahal beberapa lembar buku sudah dibaca.
- Sesak rasanya saat ide sudah didapat, tapi belum mampu dituangkan dalam bentuk tulisan.
Tapi saya yakin, ini gejala biasa.
Gejala yang sering dialami oleh orang-orang malas.
Orang-orang bodoh.
Ah, masalah di atas tidak saya anggap terlalu penting.
Kini, masalah yang lebih serius adalah hubungan saya dengan Waktu.
Kemarin, atau bahkan dua hari lalu, Waktu masih memberikan kuasanya kepada Lenggang.
Kondisi saya begitu leluasa.
Saya menyukai Lenggang.
Tapi nampaknya saya tidak bisa memanfaatkannya.
Terlalu memanjakannya.
Sekarang...
Saat saya berteman dengan Malas, sang Lenggang pun ditarik oleh Waktu.
Diambilnya ia dari saya.
Tanpa secuil tanda, Waktu begitu angkuh pergi.
Meninggalkan saya.
Terlihat sadis saat ia menugaskan Gesa dalam kehidupan saya.
Kini saya ditemani Gesa.
Keadaan saya tak lagi indah.
Segalanya serba cepat. Serba instan.
Padahal, tak selamanya yang instan itu baik.
Dan tak semua yang baik itu instan.
Waktu sudah pergi.
Saya tak bisa bercengkrama dengan Gesa.
Ia tidak sama seperti Lenggang.
Saya mencoba merayunya agar bisa berteman, tapi gagal.
Saya jamu ia seperti saya menjamu Lenggang, namun tetap tidak berhasil.
Lantas, haruskah saya mengikuti keinginan Gesa?
Ia membisikkan satu kalimat:
“Kemanakah engkau saat Lenggang bersamamu?”
Tanyanya sembari tertawa begitu puas.
Begitu keras.
Menitipkan getir dalam pikiran.
Published on Facebook: Sunday, June 5, 2011 at 11:34 AM
Comments
Post a Comment