Fiksionalisasi Redaksi

Hari ini di kelas membahas Pulp Fiction. Sebuah film karya sutradara kenamaan Quentin Tarantino. Bukan adiknya Rano Karno. Film yang dirilis tahun 1994 ini, sesuai dengan judulnya Fiksi Picisan, tidak menjual narasi yang ‘berat’. Bolehlah Tarantino, sang sutradara yang sekali lagi bukan kakaknya Suti Karno, memasang aktor-aktor terkenal seperti John Travolta, Bruce Willis, Uma Thurman dan Samuel L. Jackson dalam filmnya, tetapi tetap saja untuk cerita picisan. Tidak menekankan pada estetika bercerita atau narasi yang memikat. Bahkan kalau diperhatikan beberapa dialognya memanglah tidak penting. Tapi jangan salah, film ini termasuk ke dalam film terbaik sepanjang masa. Masa? Bodo.

Ah, mungkin inilah gaya post-modernis, yang hampir kesemuanya berbasis pada ‘no reason’.

***

Sang istri terburu-buru mencari handphonenya untuk menghubungi seorang sahabat yang dikenal sebagai penulis berita kelas retak.com. Tolong dengarkan cerita saya dan langsung ketikkan ya, Mas. Kalau bisa setelah beberapa menit, publish di situs jagoanmu itu. Dengarkan baik-baik:

Akhir-akhir ini tidur saya tidak nyenyak. Makan pun tidak enak. Memikirkan nasib suami saya yang terlihat tidak seperti biasanya. Bukan gara-gara nelangsa setelah melepaskan putrinya akhir November kemarin. Kita sedang dilanda musibah. Kamu pasti tahu itu, Mas.

Mengapa tega-teganya orang lain menjual aib suami saya di setiap beranda berita? Suami saya bingung. Kami di ujung malu.

Rekaman itu yang menjadikan kami tidak enak tidur. Tak mau makan. Kami hanya ingin keluar dari negeri ini. Secepat mungkin. Tapi sepertinya itu mustahil bagi kami. Enak betul sahabat Papah yang sudah keluar negeri duluan. Mungkin dia sedang bermain golf di siang hari, atau mungkin sedang makan malam di sebuah restoran bintang lima ditemani alunan musik jazz.

Ah, dasar si Papah!! Mengapa tidak cepat-cepat pergi ke luar negeri?!!

Jangan bilang gara-gara Papah wakil rahyat sampai Papah tidak mau pergi keluar negeri karena tidak tega dengan rahayat. Jangan bilang, Pah! Papah tidak seperti itu. Mamah tahu!!

Jangan bilang gara-gara Papah kepalang ketahuan, Papah tidak berdaya dan kita ikuti seperti adanya. Jangan bilang, Pah! Papah sayang Mamah, kan?. Mamah tahu itu!!

Sebentar, Pah, atau jangan-jangan...

Jangan bilang Papah ingin menjadi tokoh antagonis dalam cerita kali ini. Papah ingin menjadi pahlawan kesiangan??? Aduh Papah! Sadar!! Mamah dan Papah tahu itu. Kita bukan pahlawan. Dan selamanya tidak akan menjadi pahlawan.

Ini semua gara-gara rekaman sialan itu!!

Mau disimpan di mana muka Mamah, Pah! Kalau Papah mundur dari jabatan sekarang ini?! Apa kata teman-teman Mamah?!! Pokoknya Mamah tidak ingin merubah jadwal mingguan keluarga kita untuk keliling dunia. Mamah tidak mau melewatkan tas Mouawad koleksi 2016. Intinya Mamah tidak mau menanggung malu di depan teman-teman Mamah. Titik!

Pikirkan itu Papah!! Semoga Papah sadar!!

Hallo? Mas?? Kamu masih mendengarkan saya?

Uhuk!! suara di ujung sana membalas dengan batuk.

Itu inti ceritanya, Mas. Seperti biasa saja. Nanti beri judul yang meyakinkan, ya. Kamu kan staf redaksinya. Saya pikir itu kerjaan mudah.

Gimana, Mas? Kamu sudah tulis inti-intinya??

“Uhuk...Ehem. Sudah, Bu. Saya tidak tulis. Saya rekam.”

Waduh, kok saya trauma, ya, mendengar rekam-merekam. Tapi tidak apa-apa, lah. Judulnya apa, Mas?

Judulnya “Istri Papah yakin kalau Suaminya Tidak Bersalah”

oleh: Mas Gunjing Paku Payung

***

Sebagian orang ada yang memperlakukan berita faktual sebagai karya fiksi. Sebagian lagi ada yang memperlakukan karya fiksi sebagai karya faktual. Mungkin karena kedua karya tersebut dipandang sebagai karya laris murah-meriah di zaman modern sampai-sampai tidak ada bedanya dengan narasi pulp fiction.

***

Papah sayang Mamah. Muuach!!

0 comments:

Post a Comment

Back to top