Icon 't', terima kasih

  1. “Lapaaarr...”
  2. “Tolong hapuskan dia dari ingatanku, ya Allah...”
  3. “Semoga perjalananku selamat sampai tujuan... amin ^^”
  4. “MALES KERJA, MALES KERJA... ARRGGHHHH!”

    Hahay... saya tersenyum dalam hati. Ceria.
    Di sela-sela pagi yang pusing, sedari tadi saya mengkaji tentang ikon. The Power of Icon.
    Saya tersenyum melihat berbagai status di Facebook (ikon huruf “f” tidak kapital).
    Ada yang menarik dari empat status di atas.
    Saya ingin berbagi cerita mengenai status kedua, karena tiga lainnya sudah biasa saya jumpai, baca, bahkan kadang saya beri jempol di bawahnya.

    Status kedua ini terasa baru. Jarang saya temui.
    Ada seseorang yang baru putus dengan pacarnya.
    Karena saya tidak pernah beranjak dari laptop, saya tahu kronologis perpisahan orang yang menulis status itu.
    Orang yang sangat tidak saya kenal, mungkin hanya dua kali bertemu dengannya.

    Kejadiannya sekitar dua hari lalu.
    Ia mulai menulis status-status yang berisi pertengkaran.
    Kadang mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya dituliskan.
    Kadang menyelipkan nama Tuhan di balik amarahnya.
    Kadang mengobati dirinya sendiri dengan status-status penguatan (baca: motivasi).

    Itu dua hari lalu.
    Berbeda dengan kemarin, saya jarang melihat statusnya muncul di News Feed.
    Hanya satu, dan itu pun bukan status.
    Terlihat ikon “love” berwarna merah muda—menandakan perubahan status dari engaged menjadi single.
    Menjelang sore, ada status yang menandakan ia pulang dari tempat kerja.
    Ia pulang kampung.
    Dan pagi ini, saya membaca statusnya seperti di atas... entahlah, hanya dia yang tahu.

    Hmm... sebenarnya, inilah salah satu alasan mengapa saya selalu setia dengan situs jejaring sosial berikon huruf “f” kecil ini.
    Pernah beberapa teman mengajak pindah ke ikon huruf “t” (juga tidak kapital), bahkan sebagian sudah tidak aktif di “f” dan berpaling ke “t” untuk selamanya.

    Inilah alasannya:
    Banyak orang blak-blakan curhat di situs ini.
    Kadang berdoa, kadang jahil dengan men-tag nama orang, kadang menulis status fenomenal—satu kata, tapi yang menyukai bisa sampai 40 orang (karena foto profilnya perempuan cantik).
    Saya melihatnya sebagai hiburan di antara puluhan pikiran yang memadati kepala.
    Saya selalu tersenyum.
    Kadang menjadi ide untuk menulis ini dan itu.

    Pernah ada teman menulis status:

    “Kalaulah Facebook diyakini sebagai tempat diijabahnya doa, mungkin ratusan orang tiap hari menulis status: Ya Rabb, Ya Allah, Ya Tuhanku... bla bla bla…”

    Tak segan saya menitipkan ikon jempol di bawah statusnya.
    Sayangnya, Facebook bukan tempat mengaduh.
    Bagi saya, Facebook hanyalah buku harian.
    Saya tidak sanggup menuliskan hal-hal berat:
    Tidak tentang masalah pribadi, keluarga, atau keyakinan diri.

    Seperti halnya julukan yang disandarkan pada situs “f” ini sebagai jejaring sosial (social network), maka yang saya tulis pun... ya, hal-hal sosial.
    Yang menarik untuk diperhatikan.
    Yang menghibur.

    Mungkin kalian yang membaca catatan ini pernah dengar, bahwa situs jejaring “f” kebanyakan dipakai oleh orang-orang awam—mereka yang baru masuk ke dunia internet.
    Berbeda dengan pengguna situs “t”, yang mengenal istilah follow-follower.
    Tidak cocok untuk orang seperti kami, yang tidak suka mengekor atau dibuntuti.
    Dan yang pasti, semua pengguna ikon “t” pernah memiliki akun Facebook sebelumnya.
    Harusnya mereka yang sudah menetap di “t” mengucapkan terima kasih kepada “f”.
    Bukan meninggalkannya, merendahkannya, atau mengejeknya.

    Kembali kepada mereka yang baru masuk ke “f”.
    Status-status mereka sangat “pas” untuk dinikmati sebagai hiburan.
    Bagi saya pribadi, status-status itu khas.
    Mungkin tidak akan dijumpai di “t”, karena seperti status:

    “Kepribadian orang bisa dilihat dari tulisannya...”

    Dari sanalah, dari tulisan-tulisan itu, saya bisa membaca mereka sedang mengalami mood apa.
    Meskipun hanya pura-pura.

    Tambahan:
    Bukan berarti Facebook sebagai rumah pribadi, lantas kita bisa menulis status seenaknya.
    Mungkin saya tidak berani menulis status seperti:

    “Leganya sudah salat... hey kalian yang masih online dan belum salat, ingatlah mati... INGAT MATI!”

    Tak jarang saya membaca status-status pengingat semacam itu.
    Di satu sisi, itu bagus.
    Tapi media sosial punya banyak sisi, banyak interpretasi.

    Saya pernah membaca status:

    “Lebih baik pandai merasa daripada merasa pandai.”

    Saya juga pernah menyukai status seorang teman:

    “Beda ikhlas dan riya itu sangatlah tipis...”

    Status-status yang menawan.
    Jadi, walaupun Facebook adalah rumah kita, alangkah baiknya kita memperhatikan siapa tamu kita.
    Sudahkah perilaku kita lebih baik daripada tamu kita?
    Sudahkah kita menjamu mereka dengan sikap yang sopan?

    Dan sebagai informasi, sampai catatan ini diturunkan, saya belum ada niatan untuk pindah ke ikon “t”.
    Terima kasih.

    2011

    Comments