Post-Durianisme
A. Latar Belakang Masalah
Sore itu saya terbaring, lemas, panas, kekurangan air.
Malas rasanya untuk bangun, padahal waktu salat Ashar belum tiba.
Akhir-akhir ini cuaca di Jogja memang panas dan jarang hujan.
Saya selalu tertidur saat sedang mengerjakan tugas.
Terlintas di pikiran, kalau saya meninggal saat membaca buku, mungkin masuk kategori jihad fī sabīlillāh—husnul khotimah, masuk surga.
Tapi jangan dulu, lah... saya belum menikah dan belum punya cucu.
Tiba-tiba ponsel saya berdering.
SMS masuk:
“A, hoyong duren?? Si Bapak inget ka Aa, jadi meser duren...”
Pesan dari adik saya, Cipto.
Katanya, Bapak ingat saya yang paling suka durian di rumah, jadi beli durian dan makan bareng-bareng.
Huffft... dalam hati saya, capek deh.
Ingat saya kok malah makan bareng di sana. Hehe.
Langsung bangun.
Cuci muka, cek Facebook (kewajiban), tulis status:
“Pengeeennn dureeennn... sangat pingin sekali makan durian.”
Terakhir kali makan durian mungkin sebelum saya ke Yogya... sudah lama sekali.
Saya pikir, makan durian tidak enak kalau sendirian.
Tanggung jawabnya besar.
Teringat satu keterangan:
“Kalaulah kalian memasak, dan bau masakan itu tercium oleh tetangga, maka berilah tetangga itu.”
Kurang lebih begitu redaksinya.
Saat membeli durian, jangankan baunya, bentuknya saja sudah ketahuan tetangga.
Ya, harus berbagi, lah.
Sedangkan saya sangat pelit kalau urusan makan buah khas Asia Tenggara ini.
Lupa diri.
Itulah sebabnya harus beli banyak kalau makan durian—biar bisa patungan.
Saya ajak teman-teman.
Yang bisa lewat SMS, saya kirim SMS.
Yang ada di Yahoo Messenger, saya kirim pesan juga.
Akhirnya, semua sudah siap.
Kita akan pesta durian nanti setelah salat Maghrib.
B. Rumusan Masalah
Kami tidak sanggup makan durian di tempat.
Selain malu karena gaya makan kami yang rakus, saya lihat tikar yang disediakan di sana sangat lusuh.
Tidak cocok untuk orang-orang kaya seperti kami (hehe).
Lalu, di manakah kami akan makan durian ini?
C. Pembahasan
c.1. Makan Durian
Akhirnya, kami makan empat buah durian tersebut di depan UGM.
Alhamdulillah, duriannya manis.
Cuma satu yang gagal total.
Tidak apa-apa, secara keseluruhan tetap nikmat.
Ngidam kesampaian juga.
Dan ini jadi rekomendasi: durian di depan UNY enak, murah, dan bisa pilih sendiri.
Makan-makan bareng ini mengingatkan saya pada teman-teman di Ciputat.
Dulu, kalau makan durian, sekitar jam 11 malam kami berjalan dari kos ke pasar Ciputat.
Jam segitu durian baru datang dari Bogor.
Langsung pilih-pilih, banyak pilihan.
Teman-teman saya kebanyakan tidak seumuran—jauh lebih tua.
Sekarang mereka sudah sukses, sudah punya anak semua.
Haha... jadi pengen nikah.
Sik, sik, sik... kok jadi ke sini ceritanya.
c.2. Efek Durian
Dulu saya tidak percaya kalau makan durian bisa bikin pusing atau mual.
Tapi ternyata benar.
Kami makan empat durian, ditambah teman-teman perempuan tidak mengambil banyak, jadi sisanya kami hajar saja.
Saya bisa merasakan efek durian.
Termasuk teman-teman saya juga.
Kami pusing, semuanya ngelantur.
Ngomong ini, ngomong itu.
Ngomongin si ini, si itu...
Sampai pada satu topik: DAAARRR!
Ngomongin salah satu orang yang selalu jadi buah bibir di kelas.
Saya tidak berani menyebut namanya di sini.
Nanti saja di sana.
Akhirnya, kampusnya dipotret juga.
c.3. Post-Durianisme
Saat makan durian, kami sama sekali tidak berpikir macam-macam.
Makan banyak, sampai kenyang—itu saja.
Setelah efek durian menghampiri, banyak hal aneh terjadi.
Kejadian yang tidak disangka-sangka.
Saya yang sama sekali tidak membawa uang sepeser pun, cuma modal ngidam, akhirnya mulai berpikir untuk ambil uang di ATM.
Tepat setelah salah satu teman mengajak makan di tempat baru.
Ternyata makan durian banyak tidak bikin kenyang.
Belum kenyang, maksudnya.
Dengan empat motor, kami melaju ke kedai jamur dekat kosan.
Saya sering melihat tempat itu, tapi belum pernah singgah.
Kali ini singgah.
Semua menunya tentang jamur.
Enak.
Saya memesan omelet jamur—telur dadar campur jamur.
Namanya saja omelet, tetap telur juga.
Hmmm... tapi maknyus, enak.
Teman-teman lain ada yang memesan jamur kentucky, ada yang oseng-oseng jamur.
Pokoknya semua tentang jamur.
Enak.
Di sekelilingnya banyak poster.
Katanya ini kedai nomor satu di dunia...
Dunia Klebengan, kayanya.
(Klebengan = nama tempat kos saya.)
Tapi lumayan.
Patut direkomendasikan juga.
Murah-murah kok.
KEDAI JAMUR.
D. Kesimpulan
Gila aja saya nulis kesimpulan!
Emang saya mau nulis tesis?
Udah, ah.
Gitu aja.
Ini cuma wisata kuliner...
Rabu, 8 Juni 2011
Comments
Post a Comment