Sebagian Ragu, Sebagian Urung

Kini kuberdiri di seberang jalan. Tepat di depan lokasi yang hendak aku tuju. Tanpa headset di telinga. 

Dari sini, dari tempat aku berdiri, terlihat jelas antrian yang sangat panjang. Luar biasa panjang. Tidak seperti biasanya. Tempat itu ramai sekali. Dari mulai sopir taksi yang lalu-lalang menawarkan tumpangan, sesekali mereka mengejar penumpang yang awalnya menolak tawaran harga. Tepat di mana aku memberhentikan motor, puluhan becak berbaris rapi menghadap jalan raya, mempermudah bagi penumpang yang ingin naik. Abang becaknya duduk santai seperti tukang becak yang sedang santai. Sebegitu malasnya mereka duduk, sampai-sampai mereka tak berdaya mengejar penumpang-penumpang yang dirayu sopir taksi ataupun tukang ojek. "Rizki sudah ada yang ngatur...semua ada waktunya..." mungkin itulah yang ada dipikiran tukang-tukang becak stasiun Lempuyangan, Jogja. Tapi itu juga yang pernah diucapkan si Edo, kala warung kopinya sepi.

Suara bising tempat umum biasanya kuredam dengan mp3 playerku volume 25 dari 30 bar. Kencang. Nyaman. Dan tentunya menjelma menjadi sosok egois. Tapi kali ini…
Sudah kubilang tadi sore, sekitar pukul setengah 3-an: “Yud, Mp3 gw ntar gw ambil…gw mo balik ke Garut” pintaku tidak tegas sambil mencopy file contoh proposal yang membuatku bingung. Membuatku sedikit ragu. “Mp3nya di kosan, Ga…” jawabnya. Tidak tegas sama dengan tidak jelas. Pintaku memang tidak begitu tegas dan temen pun tidak jelas rimbanya. Maghrib barusan pun, kosannya masih gelap tak berpenghuni. SMS tidak dibalas. Ditelpon, tidak nyambung. Memang, aku tak berani sekitar 9 jam hanya mendengarkan laju kereta menggilas rel. Linu. 
Sampai akhirnya aku berniat akan meminjam mp3 temenku yang lain. Tapi karena 1 dan lain hal, itupun kuurungkan. Kini aku berangkat ke Lempuyangan, dan sudah berada di depan stasiun.

Dengan tas berisi notebook, 1 T-shirt, dan 5 CD yang tidak bisa diburn, kuberanikan menyebrang. Kutembus keramaian loket stasiun. Siapakah mereka yang mengantri ini? Kemanakah tujuan mereka? Dengan mendengarkan logat mereka, kini aku yakin, mereka antri untuk mendapatkan tiket kereta Kahuripan tujuan Bandung. Sama dengan tujuanku. Mereka dan aku satu arah.   Satu harapan: MENGISI LIBURAN 4 HARI KE DEPAN DI KAMPUNG TERCINTA. Kulihat jam stasiun menunjukkan tepat pukul 20.00 dan kereta berangkat pukul 20.20. dengan antrian yang tetap panjang dan kelihatannya tidak berkurang, kini aku tahu dengan keinginanku. Aku ingin tidur di kosan. Argghhh...

Kuambil handphone, kucari nama My Lovely Bu, kutelpon si ibu. Kukabari beliau, bahwasannya aku tidak jadi berangkat ke Garut. Kujelaskan semua alasannya. Tak berani berbohong, atau acting lebay, tidak. Sampai akhirnya terdengar kalimat dari ujung sana: “Ya antrilah, Ga…dasar anak manja, pengen enaknya aja…antri dong, ntar juga habis…”. Aku hanya tersenyum. Tak tahu harus bilang apa pada si ibu. Tapi jelas aku tau apa yang harus kukatakan pada diriku sendiri. “Ini masalah niat, Ga.” Dengan niat yang belum sempat dipatenkan dalam hati, keraguan masih berkeliaran dalam pikiran. Dari mulai setengah hati ingin pulang ke Garut, dan setengah lagi ingin mengerjakan makalah proposal di Jogja. Sampai malasnya berangkat ke Garut tanpa mp3, kadar niatku menurun drastis. Sebagian ragu, sebagian urung.

Kini kuberdiri di suatu tempat yang aku tuju. Tanpa keramaian, tanpa bising, tanpa antrian. Hanya menanti. Aku berada di tukang Sate depan Sagan. 10 tusuk sate daging campur berada di hadapanku. Satu persatu potongan daging masuk antri ke dalam mulutku. Terbayang juga satu persatu daging mereka masuk antri ke dalam gerbong kereta Kahuripan. Salam buat Garutku. ;)

-sebuah cerita dari malem tadi-

0 comments:

Post a Comment

Back to top