Sssstttt Ini Rahasia
…Dia pun terdiam sejenak.
Pikirannya terbelah antara puja dan puji.
Sebelah kanan ia memuja Tuhannya, sementara bagian kiri memuji makhluk ciptaan-Nya.
Cukup masuk akal mengapa ia terdiam.
Saya sempat mendengar bisikan dari dalam dirinya tentang perasaan aneh yang begitu laten, sangat terselubung.
Perasaan itulah yang menyekapnya dalam diam, katanya.
Ia sempat mengingat hari itu—saat ia diperdaya oleh sebuah rasa.
Satu per satu alasan ditarik agar perasaannya dapat diterima oleh akal, mampu dirasionalisasikan.
Namun sayang, usahanya berujung gagal.
Berakhir nol.
Tak peduli dari mana perasaan itu timbul, kini ia melangkah dengan percaya diri yang begitu tebal.
Ia maju, ia bertanya, ia mulai membuka pembicaraan.
Saya yang sedari tadi mengintip dari ujung sana, sama sekali tidak diperkenankan mendengarkan perbincangan itu.
Melihat sedikit saja, ia langsung menutupinya.
Pura-pura menguping pun ia tahu.
Begitu rahasia nampaknya percakapan itu.
Awalnya, pembicaraan itu diawali dengan rona merah di pipinya.
Bagaimana tidak, topik yang katanya akan digelar dalam “perhelatan akbar” awal liburan semester kampusnya, kini ia utarakan sekarang.
Kata demi kata ia susun.
Tiap kalimat sudah ia pertimbangkan matang.
Tak ada yang diragukan.
Ia serius.
Saya tahu, ia pernah berkata:
“Segala sesuatu saya tidak serius, kecuali dalam mengutarakan perasaan.”
Saya kini sudah tahu beberapa rahasianya, tapi tidak untuk percakapan yang satu ini.
Obrolan sore itu, ia tidak mengizinkan saya mengetahuinya.
Beberapa menit ia berbincang.
Sesekali kalimat bahasa asing muncul dari makhluk pujaannya.
Ia mengerti.
Seratus persen ia memahaminya.
Namun, nampaknya ada yang kurang dimengerti.
Kerut keningnya mulai terbentuk, rona merah di pipinya memudar.
Beberapa kali ia tersandung bisu, tidak mampu berkata-kata, tidak lagi bisa memasukkan keseriusan dalam tiap ucapannya.
Kali ini ia terdiam.
Berbeda dengan diamnya di awal tadi.
Diam yang pertama penuh rasa penasaran, tapi kini ia terdiam dengan cara lain.
Tidak ada yang tahu, dan memang tidak boleh ada yang tahu.
Sore itu, ia menutup pembicaraan seperti biasa, dengan senyuman di wajahnya.
Ia mencoba mencari sisi positif di tengah perasaan yang tak menentu.
Begitu sulit memang.
Namun akhirnya, ia berhasil menembus celah-celah prasangka buruk.
Ia menarik sisi positif:
“Mungkin itulah yang terbaik untuk makhluk pujaannya.”
Kini, ia terlalu mendalami perannya sebagai seorang pengecut.
Sungguh kasihan.
Haha.
Akhirnya, percakapan itu selesai.
Saya melihatnya beranjak dari tempat duduk, keluar sebentar untuk mencari makan.
Tapi saya tidak mengikutinya.
Saya mencoba menyelinap ke tempat ia berbincang.
Dengan santai, saya membuka sejarah percakapan mereka.
Sungguh, itu perbincangan yang sangat rahasia.
Ia dan makhluk lawan jenis itu—saya melihat dengan mata kepala sendiri—telah membuat kesepakatan.
Rahasia di atas segala-galanya.
Jangankan orang asing, teman dekatnya pun tidak boleh mengetahuinya.
Mungkin saya pun tidak perlu sepenuhnya paham tentang isi percakapan itu.
Khawatir ketahuan olehnya, saya dengan sigap menutup semua sejarah perbincangan tadi.
Saya begitu takut terkena karma dari kesepakatan mereka.
Saya yakin tidak akan mengingatnya.
Saya akan melupakannya.
Saya duduk kembali di tempat semula.
Akhirnya, ia datang dari acara makannya.
Begitu santai, seolah tak ada beban, ia menyapa saya.
Pikirnya, saya tidak tahu apa yang telah ia perbincangkan dengan makhluk jelita itu.
Heh…
Kini ia duduk di depan rutinitas ganjilnya.
Kadang membaca buku, sesekali menonton film, pernah membuka Word hanya untuk menuliskan nama dan NIM lalu kembali ditutup.
Padahal itu tugas.
Memang aneh.
Tatkala tugas menumpuk, ia justru terseret oleh beban rasa:
Ada rasa suka, rasa lapar, rasa cinta, rasa ngantuk.
Dan yang paling biadab menjajah dirinya adalah rasa malas.
Malas sekali untuk berbuat apa pun.
Terlebih, kini ia telah roboh...
Comments
Post a Comment