Surat dari Hawaii
Alohaaa...
Apa kabar, temanku?
Ingin rasanya saya berbagi cerita lewat surat ini.
Liburan kali ini saya isi bersama teman-teman saya—yang juga temanmu.
Kami pergi ke suatu tempat yang pasti kamu tidak akan tahu... ya, karena hanya kamu yang tidak hadir.
Oh ya, saya turut prihatin membaca surat terakhirmu yang berisi:
“Maaf, saya tidak bisa pergi... karena ibu tiri saya menyiksa saya...”
Semoga dengan surat ini, dengan cerita saya, kepedihanmu sedikit terhapuskan.
Langsung saja, ya.
Ini ceritanya...
Ke Hawaii...
Awalnya, saya tidak pernah membayangkan bisa menginjakkan kaki ke Hawaii.
Jangankan pergi ke sana, memimpikan saja tidak pernah.
Hari itu, Rabu, 15 Juni 2011, matahari begitu sadis menitipkan panasnya lewat kulit.
Indra perasa ini sangat peka merasakan apa pun yang menempel padanya—termasuk panas.
Saya sempat teringat pertanyaanmu tentang gull (burung camar):
“Mengapa mereka kuat terbang berjam-jam di bawah terik matahari?”
Ternyata karena mereka terbang di atas laut, di pantai.
Jadi, saat kepanasan, mereka bisa minum, nyemplung ke air, atau mencubit ikan.
Hehe... sik, sik, sik... kok bisa sampai sini ceritanya?
Tapi lain mimpi, lain kenyataan.
Lain Hawaii, lain pula maksudnya.
Sebenarnya, siang itu, seseorang—sebut saja Mbak Ida (bukan nama sebenarnya)—mengajak kami makan siang di salah satu tempat di Galeria.
Entah di mana persisnya.
“Makanan Hawaii, lho... cuma 10 ribu... yuk?” ajak Mbak Ida.
Kami para cowok—saya, Aji, Mas Awang, dan Yudi (tentu bukan nama sebenarnya juga)—oke-oke saja.
Bukan karena harga murah yang membuat kami ikut bersama teman-teman perempuan lainnya—sebut saja Ani, Yulan, Dian, Isna, Mbak Feti, dan Mbak Ida.
Bukan soal harga.
Kami sama sekali tidak pernah mempermasalahkan itu.
Motivasi saya mungkin sama dengan teman-teman lainnya:
Ingin mengkaji lebih dalam tentang Hawaii.
Kami anak-anak American Studies, sudah sewajarnya mengkaji tentang Amerika.
Joss!
Singkat cerita, kami tiba di depan Galeria.
Kami masuk, keliling-keliling mencari tempat makan.
Sampailah di Kona—begitulah yang tertera di daftar menu.
Apa pun namanya, kami merasa sedang berada di Hawaii.
Buktinya, tepat di depan saya duduk, ada wallpaper lautan dengan kursi-kursi khas pantai.
Terlihat pemiliknya ingin menciptakan suasana restoran yang menyerupai Hawaii.
Demi menghilangkan rasa penasaran, saya menatap ke atas atap—siapa tahu ada hiasan burung camar.
Saya juga memperhatikan para pramusaji, apakah mereka mengenakan baju khas Hawaii...
Ternyata tidak.
Yaah... hanya wallpaper saja.
Selebihnya mirip warkop si Edo depan kosan.
Bedanya hanya di kursi—di sini warna-warni.
Dan tentu saja, makanannya... dingin.
Langsung ke makanannya, ya, teman...
Saya memesan makanan seharga Rp16.000.
Mas Awang memesan yang Rp20.000.
Aji dan yang lainnya memilih paket: mulai dari paket A, B, C, D.
Sebenarnya, kalau siang itu saya tidak makan bersama teman-teman, mungkin Rp16.000 tanpa minuman bisa saya tahan.
Saya sanggup menahan cegukan selama satu jam gara-gara tidak minum setelah makan.
Tapi demi kemaslahatan bangsa dan negara, saya memesan minuman.
Walaupun ada kesalahan di akhir...
Pesanan pertama datang.
Mbak Ida yang pertama kali dapat.
Entah memesan apa, cepat sekali.
Pesanan kedua datang.
“Siapa yang memesan Lanay?” tanya si Mbak yang wajahnya mirip Oprah Winfrey di film The Color Purple.
Saya tidak menyahut.
Saya tidak tahu saya pesan apa.
“Saya pesan yang harganya Rp16.000-an, Mbak...”
“Oh, berarti ini Lanay...” sahutnya sambil menyerahkan kotak.
Mirip kotak Jumanji.
Lanay, kalau dalam bahasa Sunda, adalah nama penyakit kulit di kaki yang kalau didiamkan, muncul bau tidak sedap.
Tapi tidak hari ini.
Saya memakannya.
Hampir semua teman menertawakan kotak Jumanji ini.
Kotak kayu seukuran layar laptop Axioo milik Yudi, 12 inci.
Makanan itu ada di dalamnya.
Takut seperti penyakit Lanay, saya tidak berani mendiamkan terlalu lama.
Segera saya buka kotaknya.
Wow!
Sungguh menantang.
Ada ayam potong tanpa tulang—presto kali, ya.
Ada dua potong tahu lengkap dengan sayuran capcay.
Teman, mungkin kamu ingin tahu bagaimana dengan yang lainnya?
Oke, semuanya no comment.
Yang namanya paket, ya begitu-begitu saja.
Tidak ada yang terlihat wah...
Tapi ini semua bukan tentang makanan.
Pengalaman jauh lebih penting.
Momen bersama mereka jauh lebih berharga.
Andai kamu ikut, teman...
Sudah dulu, ya.
Saya harus mengerjakan tugas lainnya.
Oh ya, kamu sudah selesai tugasnya?
Tugas Bahasa Indonesia saya tentang liburan.
Saya mau pakai cerita ini saja, ah.
Semoga dengan surat ini, kesedihanmu terhapuskan.
Salam sayang dari temanmu...
Kona, Hawaiian. 15 Juni 2011