Aku Bantu Aku
Sebenarnya, yang salah itu siapa?
Memang tidak begitu fatal. Tapi ya, sedikit demi sedikit lama-lama bisa jadi bukit.
Kalau terus berbuat salah, lama-lama jadi besar dan akhirnya fatal.
Saya masih ingat pesan Ibu:
“Sekali-kali kamu jangan pernah menyakiti perasaan perempuan.”
Sebenarnya, saya sering mendengar pesan ini dari berbagai sumber—teman, televisi, adik, dan lainnya.
Tapi yang benar-benar masuk ke hati, ya pesan dari Ibu.
Saya ingat betul, pesan itu disampaikan saat saya lulus dari pesantren dan hendak berangkat ke kampus di Jakarta.
Sayangnya, ternyata... saya pernah menyakiti satu perasaan perempuan yang sangat...
Oke, itu masa lalu. Sudah tertinggal.
Jumat, 9 Juni 2011, saya bertanya pada seseorang (perempuan) di Yahoo Messenger:
Saya : Emang cewek kalau diramahin cowok suka mikir yang aneh-aneh gitu?
Seseorang : Ya, tergantung keramahannya dan frekuensinya...
Saya termenung sejenak.
Saya mulai berpikir: apakah saya ini ramah biasa atau ramah berlebihan?
Menurut status yang saya baca di Facebook (2011):
Mencoba tetap senyum, karena tahu rasanya saat diketusin...
Mencoba tetap ramah, karena tahu rasanya saat dijutekin...
Mencoba membantu, karena tahu rasanya saat tidak ada seorang pun yang mau membantu...
(09 Juni, 16.00)
Rasanya ada yang janggal dengan isi status ini.
Dilihat dari satu sudut pandang, mungkin terlihat terpaksa.
Tapi kalau dilihat dari sudut lain, mungkin ini adalah proses introspeksi.
Tergantung bagaimana orang menilainya.
Mungkin juga frekuensinya yang perlu diperhatikan.
Jangan terlalu sering senyum, ramah, dan membantu.
Chatting masih berlanjut:
Seseorang : Emang kalau cowok nggak gitu?
Saya : Nggak tahu... kayaknya benar... cowok kurang peka.
Seseorang : Bukan kayaknya lagi, tapi memang begitu.
Pikiran saya langsung teringat pada dia.
Perempuan yang pernah saya sakiti dulu.
Dia pernah berkata:
“Harusnya cowok peka dengan kondisi sekitarnya, termasuk perempuan yang menyimpan perasaan terhadap kamu itu. Masa kamu nggak ngerasain, sih?”
Kutipan itu adalah awal mula “perang dunia ketiga.”
Saya bukannya tidak setuju dengan ucapannya—bahwa cowok harus peka.
Tapi mau bagaimana lagi?
Mungkin memang begitulah kami.
Kami tidak bisa menelisik sejauh itu.
Menyelami perasaan sedalam itu.
Saya terdiam beberapa saat.
Seseorang : Nggak usah dipikirin kali, memang sudah kodratnya. :D
Saya : Hooh... saya pernah disalahkan cewek gara-gara terlalu ramah.
Seseorang : Disalahkan gimana?
Saya : Ya disalahkan aja...
Kamu salah! Saya benar!
Jujur, saat ditanya “disalahkan gimana?”, saya mulai bertanya kembali:
Apakah saya memang punya kesalahan?
Kembali ke pertanyaan paling atas:
Sebenarnya, yang salah itu siapa?
Izinkan saya bercerita.
Dulu—jauh sebelum kerajaan Majapahit berdiri (hehe)—saya pernah tiga kali diminta oleh perempuan yang berbeda untuk menjawab:
“Apakah saya ingin menjadi pasangannya?”
Saya terdiam. Ada apa ini?
Saat saya menjawab ketiganya dengan ucapan maaf dan penjelasan panjang, saya merasa disalahkan.
Saya dijudge telah menyakiti perasaan mereka.
Saya mendengar cemoohan dari sudut sana:
“Kamu sih, kayak membuka peluang.”
Sayup-sayup terdengar juga:
“Gimana cewek itu nggak nembak kamu, orang kamu diajak ke sini mau, diajak ke situ mau, diminta ini mau, diminta itu mau... kamu gila!”
Saya tidak mendengarkan omongan mereka.
Saya tidak hiraukan cemoohan itu.
Saya hanya merenung:
Mengapa saya disalahkan?
Saya mencoba ramah karena saya tahu rasanya dijutekin.
Tak banyak orang yang curhat tentang rasanya dikucilkan dari sebuah kelompok.
Keberadaan yang tidak dianggap itu terasa seperti penyiksaan tingkat dewa—sakit.
Saya mencoba ramah agar tidak ada orang yang merasa dikucilkan.
Saya juga mencoba membantu sebisa saya.
Apa yang mampu saya lakukan, saya bantu.
Saya kesampingkan motif-motif lain selain niat membantu.
Manusia memang makhluk sosial.
Satu dan lainnya saling membutuhkan.
Memang ada manusia yang merasa mampu hidup sendiri.
Tapi tak sedikit juga yang yakin bahwa mereka membutuhkan bantuan orang lain.
Lantas, saat mereka butuh bantuan, kepada siapa lagi kalau bukan kita?
Saya pun sering merasa butuh bantuan.
Dan bayangkan saat tidak ada seorang pun yang mau membantu kita—dunia terasa tidak adil.
Saya mencoba sebisanya agar kelak saya tidak dipersulit oleh sesuatu yang menamakan dirinya “karma.”
Seseorang : Iya, nggak usah dipikirin. Tapi juga jangan kayak gitu, kasihan ceweknya...
Hmm... saya mengiyakan ucapannya itu.
Kembali ke pesan Ibu.
Mungkin beliau tahu dengan sifat saya yang “aneh” seperti ini.
Beliau tidak pernah berkata:
“Jangan terlalu baik kepada perempuan.”
Tidak pernah juga bilang:
“Jangan keseringan membantu orang lain, apalagi perempuan.”
Tapi akhirnya, seseorang itu berbicara tentang frekuensi.
Seringnya saya ramah, kerapnya saya membantu—itu yang harus digarisbawahi.
Apakah itu akan membawa saya pada hal-hal yang tidak diharapkan?
Apakah saya akan disalahkan lagi?
Saya berharap tidak.
Seseorang sudah mengingatkan sejauh ini.
Akan saya coba memperbarui prinsip-prinsip hidup saya.
Terima kasih.