Warna: sebuah Tanda dan Tugas
Pemuda bersweater merah itu menghadap dua kaca berukuran besar.
Sebagaimana karakter kaca yang transparan, ia bisa melihat orang-orang di luar sana.
Begitu pula sebaliknya, mereka yang berada di luar dapat melihatnya dengan jelas.
Pandangannya menembus layar laptop ASUS di depannya, lurus menerawang ke luar.
Gedung tempatnya berdiam kini bertetangga dengan bangunan-bangunan yang sedang direkonstruksi.
Layaknya orang yang sedang banyak pikiran, pemuda itu mengatur arah tatapannya agar tampak kosong, meski diam-diam ia mengamati para kuli bangunan yang begitu sigap: cepat, lancar bolak-balik mengambil ini, menyimpan itu, menunda lelah, dan menuntaskan tugas.
Tugas kampus yang masih bersarang di pikirannya ia tinggalkan sejenak, ditukar dengan catatan ringan yang menghibur.
Catatan itu menggambarkan para pekerja yang semuanya memakai helm kuning—mereka yang tidak berseragam.
Sesekali terlihat sosok berseragam mengenakan helm putih, yang ia duga sebagai mandor.
Dan sesekali pula matanya menangkap dua orang berpakaian rapi, berkemeja, mengenakan helm biru.
Senyum tipis muncul saat ia bertanya dalam hati:
Mengapa kuli bangunan memakai helm kuning, mandor helm putih, dan dua orang berjas memakai helm biru?
Ia melirik ke samping, ke arah perempuan berkulit putih yang duduk tenang mengenakan pakaian hitam.
Berharap bisa mendapat jawaban dari perempuan itu tentang makna warna-warna helm.
Tapi itu mustahil.
Tak akan pernah ada jawaban jika tak ada pertanyaan yang diutarakan.
Lantas, pemuda itu mulai mengetikkan beberapa kalimat.
Beberapa asumsi.
Helm kuning, seperti lampu lalu lintas, bermakna hati-hati.
Ia tak berani menyimpulkan bahwa nyawa para kuli bangunan berada di ujung kata “hati-hati.”
Namun, hati-hati memang identik dengan sesuatu yang berisiko.
Lalu, helm putih? Mandor?
Ia tidak tahu. Tidak begitu paham dengan tugas mandor.
Tidak ingin tahu juga urusan mandor yang sering dicibir sebagai pemakan upah kuli.
Itu oknum.
Pemuda itu tidak tahu dan tidak mau tahu.
Mana mungkin putih berbuat yang tidak-tidak?
Satu lagi yang terasa ironis:
Sosok berjas rapi di tengah lokasi bangunan, dengan helm biru yang menempel seperti perangko di kepala mereka.
Siapa mereka? Kontraktor? Mungkin.
Pemuda itu menuliskan di akhir asumsinya:
Biru—tak hanya darah yang diidamkan banyak orang, helm pun mungkin jadi idaman para kuli dan mandor. Ini menyangkut kedudukan dan tugas.
Di atas sana, ia melihat mereka.
Sosok dengan helm putih, satu tangan di pinggul, tangan lainnya menunjuk ke arah para pemakai helm kuning.
Gerakannya terperinci, tegas, tanpa senyum.
“Ini serius, Bung!”
Pemuda itu tersenyum.
Begitu sadis ia memperhatikan tugas orang lain, sementara tugasnya sendiri belum ia jamah.
Ia kembali menatap tugasnya.
Masih ada satu yang belum selesai.
Menyelesaikan tugas dengan mempertimbangkan “tanda” mungkin akan lebih membantu.
Seperti kuli dengan helm kuning yang melekat di kepalanya—tentu lebih hati-hati dalam bekerja.
Begitu pula yang lainnya.
Ingin sekali ia bertanya kepada perempuan itu tentang tugasnya.
Akankah ia mendapat jawaban, sementara komunikasi tak pernah terjalin?
Terlebih, perempuan itu mengenakan baju hitam.
(Amcor dan perpustakaan yang direkonstruksi, 28/06)
Comments
Post a Comment