Matematiku Jeblok

Berikut adalah versi yang telah dirapikan sesuai permintaan: kata "aku" diubah menjadi "saya", "ketika" menjadi "saat", ejaan dan kapitalisasi disesuaikan dengan kaidah Bahasa Indonesia yang umum, pengulangan disederhanakan, dan beberapa gambaran ditambahkan secara halus agar narasi lebih hidup namun tetap proporsional:

Saya tersenyum tak henti-henti. Bahkan dalam self-talk, saya terus mengulang angka-angka yang tadi saya tuliskan. Seharusnya hal itu sangat mudah, tapi entah mengapa terasa begitu sulit. Saya harus mencoret dua kali karena ragu apakah yang saya tulis benar atau salah. Tapi semuanya berakhir dengan pembubuhan tanda tangan—tanda tanggung jawab, tanda keberanian. >.<

Menindaklanjuti cerita sebelumnya tentang bapak kos, saya harus mentransfer sejumlah uang agar bisa kembali menempati kamar kos di Kota Sri Sultan. Siang tadi, saya dan Ibu pergi ke salah satu bank di Jawa Barat. Sebenarnya saya tidak berniat minta diantar, tapi karena Ibu memang berencana ke pasar, kami pun berangkat bersama. Bank yang dituju berada di Jawa Tengah, jadi saya kirim dari sini, dari Garut.

Awalnya saya ingin membayar di daerah kota Garut, tepatnya di dekat kantor pos, karena saya harus mengambil uang dulu dari bank favorit saya—Bank Syaiful Mujanni (BSM, hehe). Tapi Ibu tampaknya tahu bank mana yang tidak terlalu ramai.
“Jangan di sana, Ga. Bank yang di rumah sakit aja,” ajaknya.
Saya langsung mengarahkan motor ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Slamet Garut.

Singkat cerita, kami masuk ke bank yang dimaksud. Letaknya memang di dalam area rumah sakit, tidak terlalu besar dan cukup sepi. Hanya beberapa pelayat yang lalu-lalang di depannya. Mungkin belum banyak yang tahu keberadaan bank ini. Ibu tahu karena memang ini bank langganannya.

Saya mengambil slip penyetoran dan mulai mengisi: nama pengirim, nomor telepon, dan tentu saja nomor rekening tujuan—bagian yang paling sering saya cek ulang. Nomor rekening itu seperti alamat rumah: penting dan tidak boleh salah.
Dengan ditemani seorang satpam yang berdiri di samping saya, sesekali saya bertanya apakah kolom tertentu perlu diisi atau tidak. Setelah selesai, saya menyerahkan slip dan uang sambil berkata,
“Langsung terkirim ya, Mbak? Bank-nya di Jawa Tengah.”

Dengan wajah datar namun tetap sopan, si Mbak teller memastikan,
“Ini banknya sama, kan? Misalnya Bank Miun ke Bank Miun, atau Bank Ali ke Bank Ali?”
Saya mengangguk, “Iya, sama. Cuma ini di Jawa Barat, sedangkan dia di Jawa Tengah.”

Tanpa banyak bicara, dia mengembalikan slip dan uang saya. Mungkin dalam hati berkata, “Bilang dong dari tadi!”
“Slip-nya salah, Mas,” katanya singkat.

Saya sadar, ini kesalahan saya. Saya tidak bertanya lebih dulu. Masih ditemani Pak Satpam, saya mengisi ulang slip yang ukurannya sedikit lebih besar dari sebelumnya.
Si Mbak teller bertanya, “Mau kirim paket cepat atau biasa, Mas?”
“Kalau kilat, biayanya sekitar 30 ribu. Kalau biasa, 7.500. Tapi yang biasa sampai besok.”

Saya langsung teringat TiCe—Titipan Cepat. Ada harga untuk setiap pilihan.
Sedikit curhat, di bank favorit saya, BSM, atau Bank Nuni Indrawati, tidak ada biaya transfer antar cabang selama masih dalam satu bank. Saya pikir, bank di Jawa Barat dan Jawa Tengah itu sama saja. Ternyata... beda.

Saya memilih paket biasa. Ini transaksi yang menurut saya tidak terlalu penting.
Slip sudah terisi penuh, dibantu Pak Satpam, meski tulisan saya kali ini jauh lebih berantakan dari sebelumnya. Maklum, efek kesal.
Saya serahkan kembali slip itu dengan senyum ramah. Tapi si Mbak teller mengambil slip baru lagi.

“Ini salah, Mas. Harusnya ditulis jumlah totalnya, termasuk biaya transfer. Misalnya dari 1.200.000 jadi 1.207.500. Diisi lagi, ya.”

Sekarang, saya mulai menyalahkan Pak Satpam.
“Ngapain juga dari tadi nempel terus kalau ternyata nggak paham prosedur,” gumam saya dalam hati.
Kalau saya yang tidak paham, wajar. Ini pertama kalinya saya menghadapi prosedur seperti ini.

Untuk slip terakhir, jangan harap tulisan saya mirip Times New Roman. Kesal saya makin menjadi. Senyum pun saya tarik kembali.
Akhirnya semua terisi, tapi ada satu hal yang masih mengganjal: bagian “terbilang”.

1.200.000 = Satu Juta Dua Ratus Ribu Rupiah
1.207.500 = Satu Juta Dua Ratus Tujuh... (bingung, ragu, saya coret: tujuh)
1.207.500 = Satu Juta Dua Ratus Ribu Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah... (jelas salah, saya coret lagi: Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah)

Saya tidak berani memanggil Ibu yang sedang menunggu. Akhirnya, dengan sedikit keyakinan, saya tulis:
Satu Juta Dua Ratus Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah.
(Meski masih ragu... hehe)

Kini slip saya penuh coretan. Saya bertanya apakah perlu diganti. Tapi si Mbak teller, dengan naluri kepekaannya, tahu saya sedang kesal.
“Umm... tanda tangan di sampingnya aja, Mas.”
Hahay. Walaupun saya tahu fungsi tanda tangan itu, dalam hati saya membayangkan:
Tanda tangan ini seperti bukti kalau-kalau Pak Presiden SBY penasaran, siapa orang yang tidak bisa menulis angka ke dalam bentuk kata... hehe, lebay.

Saya ceritakan semuanya pada Ibu. Beliau hanya tertawa sambil menyindir,
“Mahasiswa S2 UGM nggak bisa isi soal matematika kelas 2 SD. Kenapa tadi nggak merengek minta bantuan Ibu aja, Ga?”

Saya terdiam. Berkali-kali mencoba membela diri, tapi Ibu tetap cuek.
Lalu saya teringat ucapan profesor saya di UGM:
“Jarang sekali anak Sastra yang benar-benar mahir dalam angka. Saya sendiri angkat tangan kalau sudah berurusan dengan bilangan eksak.”

Ucapan itu terngiang di kepala saya.
Menurut saya, saya dan profesor saya memang tidak punya pengalaman yang sama soal cerita ini.
Tapi saya yakin, kami berdua sama-sama punya nilai matematika yang... jeblok.

8 September 2011, pukul 15.10 WIB


Comments