Huru Hara Kiri
September 07, 2011
Posted by
yogaptek
| Waktu baca:
Baru kemarin keluarga di rumah membuka obrolan ringan terkait kehidupan. Hidup yang paling berat bahkan bisa menimbulkan stres adalah saat kita hidup dengan mengharapkan pujian dari orang lain. Menanti penilaian orang. Bisa dipastikan orang semacam ini kemanapun ia melangkah, dirinya hanya memikirkan apa yang diinginkan orang lain demi sebuah 'nilai' (prestige). Ujung-ujungnya, mengekor terhadap kehidupan orang lain. Jelas ini kehidupan yang paling buruk menurutku.
Menerawang ke obrolan teman-teman kampus beberapa bulan silam masih dengan topik yang sama, tentang kehidupan. Tak jauh berbeda dengan pesan-pesan keluarga di atas, temanku juga berpikiran demikian. Kehidupan yang rugi adalah saat kita terus-terusan memikirkan kehidupan orang lain. Apa yang dicapai mereka, kita tulis. Apa yang didapat mereka, kita catat. Tak lain hanya ingin dibanding-bandingkan dengan apa yang telah kita peroleh. Jelas, aku mengamini komentar teman-teman, tak ada yang keliru tentang hal itu. Tak ada yang salah ataupun memihak sebelah. Aku setuju.
Kini, aku terperosok ke dalam kebingungan yang ganjil. Apakah salah ketika kita galau dengan perasaan orang lain yang sedang kacau? yang jelas-jelas itu dikarenakan janji kita kurang memukau?? Ataukah kita stres karena dimakan perasaan tidak enak karena ulah yang kita perbuat? Kita hanya melulu memikirkan kekurangan-kekurangan kita. Apakah orang lain merasa nikmat dengan apa yang kita suguhkan? ataukah orang lain sakit dengan apa yang kita berikan? Apakah salah saat kita begitu akurat mengevaluasi data-data komentar orang?
Aku sendiri tidak tahu. Haruskah aku cuek dengan apa yang telah diperbuat?. Oke, untuk urusan amal baik, murni jangan memikirkan ujungnya. Kita harus ikhlas...Umpama buang air besar, kita tidak akan memikirkan apa yang telah kita buang, apalagi menyesalinya, itulah ikhlas menurut Zainudin MZ. Itu untuk urusan amal baik. Untuk urusan kesalahan kita? Haruskah kita diam lurus adem ayem seolah tak ada yang terjadi? Maaf itu bisa diminta. Lantas kita terus berbuat salah...dan kita melanjutkan kehidupan dengan biasa.
Kadang aku seperti itu, dan sering aku tidak bisa seperti itu.
Menerawang ke obrolan teman-teman kampus beberapa bulan silam masih dengan topik yang sama, tentang kehidupan. Tak jauh berbeda dengan pesan-pesan keluarga di atas, temanku juga berpikiran demikian. Kehidupan yang rugi adalah saat kita terus-terusan memikirkan kehidupan orang lain. Apa yang dicapai mereka, kita tulis. Apa yang didapat mereka, kita catat. Tak lain hanya ingin dibanding-bandingkan dengan apa yang telah kita peroleh. Jelas, aku mengamini komentar teman-teman, tak ada yang keliru tentang hal itu. Tak ada yang salah ataupun memihak sebelah. Aku setuju.
Kini, aku terperosok ke dalam kebingungan yang ganjil. Apakah salah ketika kita galau dengan perasaan orang lain yang sedang kacau? yang jelas-jelas itu dikarenakan janji kita kurang memukau?? Ataukah kita stres karena dimakan perasaan tidak enak karena ulah yang kita perbuat? Kita hanya melulu memikirkan kekurangan-kekurangan kita. Apakah orang lain merasa nikmat dengan apa yang kita suguhkan? ataukah orang lain sakit dengan apa yang kita berikan? Apakah salah saat kita begitu akurat mengevaluasi data-data komentar orang?
Aku sendiri tidak tahu. Haruskah aku cuek dengan apa yang telah diperbuat?. Oke, untuk urusan amal baik, murni jangan memikirkan ujungnya. Kita harus ikhlas...Umpama buang air besar, kita tidak akan memikirkan apa yang telah kita buang, apalagi menyesalinya, itulah ikhlas menurut Zainudin MZ. Itu untuk urusan amal baik. Untuk urusan kesalahan kita? Haruskah kita diam lurus adem ayem seolah tak ada yang terjadi? Maaf itu bisa diminta. Lantas kita terus berbuat salah...dan kita melanjutkan kehidupan dengan biasa.
Kadang aku seperti itu, dan sering aku tidak bisa seperti itu.
Blog Coretan Absurd
Subscribe to:
Post Comments
(Atom)
0 comments:
Post a Comment