Huru Hara Kiri
Baru kemarin, keluarga di rumah membuka obrolan ringan tentang kehidupan.
Salah satu hal yang dianggap paling berat, bahkan bisa menimbulkan stres, adalah saat kita menjalani hidup dengan terus-menerus mengharapkan pujian dari orang lain.
Menanti penilaian orang.
Bisa dipastikan, orang semacam ini ke mana pun melangkah, pikirannya hanya dipenuhi oleh apa yang diinginkan orang lain demi sebuah “nilai” atau prestise.
Ujung-ujungnya, ia hanya mengekor pada kehidupan orang lain.
Jelas, ini adalah bentuk kehidupan yang paling buruk menurut saya.
Saya teringat obrolan teman-teman kampus beberapa bulan silam, masih dengan topik yang sama: tentang kehidupan.
Tak jauh berbeda dengan pesan keluarga, teman-teman saya juga berpikiran serupa.
Kehidupan yang merugi adalah saat kita terus memikirkan pencapaian orang lain.
Apa yang mereka raih, kita tulis.
Apa yang mereka dapatkan, kita catat.
Tujuannya? Hanya untuk dibandingkan dengan apa yang telah kita peroleh.
Saya mengamini komentar mereka.
Tak ada yang keliru.
Tak ada yang salah atau memihak.
Saya setuju.
Namun kini, saya justru terperosok ke dalam kebingungan yang ganjil.
Apakah salah jika kita merasa galau karena perasaan orang lain sedang kacau—dan itu disebabkan oleh janji kita yang kurang meyakinkan?
Ataukah kita stres karena dimakan rasa tidak enak atas ulah yang kita perbuat?
Kita hanya sibuk memikirkan kekurangan-kekurangan diri sendiri.
Apakah orang lain merasa nyaman dengan apa yang kita suguhkan?
Ataukah mereka justru sakit hati dengan apa yang kita berikan?
Apakah salah jika kita begitu teliti mengevaluasi komentar orang?
Saya sendiri tidak tahu.
Haruskah saya cuek terhadap apa yang telah saya perbuat?
Oke, untuk urusan amal baik, kita memang tidak perlu memikirkan ujungnya.
Kita harus ikhlas.
Umpama buang air besar—kita tidak akan memikirkan apa yang telah kita buang, apalagi menyesalinya.
Itulah ikhlas menurut Zainudin MZ.
Itu untuk urusan amal baik.
Lalu bagaimana dengan kesalahan?
Haruskah kita diam, lurus, adem ayem seolah tidak terjadi apa-apa?
Maaf memang bisa diminta.
Tapi apakah setelah itu kita terus berbuat salah dan melanjutkan hidup seolah semuanya biasa saja?
Kadang saya seperti itu.
Dan sering kali, saya tidak bisa seperti itu.
Comments
Post a Comment