Jangan Mendompleng Kemusyrikan
Jika masih mengikuti perkembangan kecelakaan yang menimpa Syaiful Jamil dan almarhumah istrinya, berita terbaru yang beredar—baik di dunia maya, infotainment, maupun siaran berita lainnya—banyak membahas peristiwa aneh yang terjadi di lokasi kejadian, Tol Cipularang KM 97.
Saya sama sekali tidak ingin ikut-ikutan seperti kebanyakan masyarakat Indonesia yang terus-menerus menjadikan KM 97 sebagai bahan perbincangan.
Yang ingin saya soroti di sini adalah: mengapa sebagian besar masyarakat kita justru terhibur dengan peristiwa-peristiwa aneh, seperti foto-foto makhluk halus yang seolah ingin mendompleng ketenaran Syaiful?
Saya menulis ini karena melihat beberapa acara televisi akhir-akhir ini, juga forum-forum di dunia maya, yang lebih menyoroti sisi mistis dari kejadian tersebut.
Topik yang diangkat berkisar pada keangkeran lokasi kejadian.
Dan seperti gayung bersambut, animo masyarakat serta komentar-komentar pun begitu ramai terdengar.
Ini menjadi bukti bahwa kita menonton, menyimak, dan tidak menutup kemungkinan—lambat laun—mempercayainya.
Naudzubillah...
Masih ingatkah dengan peristiwa penebangan pohon beringin oleh dua pemuda di kawasan Harmoni Central Busway (HCB), Jakarta, pada tahun 2006 silam?
Kedua pemuda yang mengaku sebagai anggota Persatuan Islam (PERSIS) tersebut menilai bahwa pohon beringin itu telah menjadi simbol kemusyrikan.
Tak sedikit warga Jakarta yang menganggap pohon tersebut keramat dan luhur.
Tidak ada yang berani menebangnya.
Maka tak perlu heran jika muncul pertanyaan:
“Mengapa warga Jakarta—yang sering disebut sebagai masyarakat elit dan berpendidikan—masih percaya pada hal-hal seperti itu?”
Jawabannya mungkin cukup sederhana: karena sebagian besar penduduk Jakarta adalah masyarakat pendatang dari berbagai pelosok Indonesia.
Lantas, pertanyaan yang lebih umum pun muncul:
Ada apa sebenarnya dengan masyarakat Indonesia?
Saya teringat pelajaran Psikologi saat di pesantren dulu.
Manusia, sedikitnya, terbentuk oleh dua faktor utama: faktor hereditas (keturunan) dan faktor lingkungan.
Manusia bisa hidup dengan bekal keyakinan atau kemampuan yang ia peroleh dari leluhurnya.
Kadang, pengaruh keturunan begitu besar.
Anak yang dijauhkan dari orang tuanya sejak bayi pun bisa menunjukkan perilaku yang mirip dengan orang tuanya—baik dalam sikap maupun sifat.
Termasuk dalam hal keyakinan.
Tak jarang, orang tuanya seniman, anaknya menjadi musisi.
Orang tuanya pelit, anaknya rakus.
Dan menurut beberapa sumber, pada masa rezim Hitler, orang yang memiliki gen Yahudi—meskipun bukan penganut agama Yahudi—tetap dianggap pantas untuk dibunuh.
Pemikiran seperti itu, betapapun ekstremnya, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh keturunan.
Faktor kedua adalah lingkungan.
Pernahkah Anda mendapati anak Anda berubah-ubah dalam keyakinan sejak TK hingga SMA?
Saya yakin setiap orang tua menyadari perubahan yang terjadi pada anaknya.
Mereka khawatir saat harus melepas anak jauh dari rumah.
Mereka percaya bahwa saat nilai-nilai keturunan atau ajaran moral keluarga tidak lagi mampu membentuk perilaku anak, maka lingkunganlah yang akan mengambil alih.
Masa depan berada di tangan arus lingkungan.
Yang menyedihkan adalah saat keyakinan seseorang tercampur dengan arus lingkungan yang tidak jelas.
Dua belas tahun mengenyam pendidikan, norma agama tidak pernah dilanggar, norma sosial dijaga.
Namun, apakah mungkin semuanya berubah hanya karena beberapa saat terbawa arus lingkungan negatif?
Sangat mungkin.
Contoh yang masih terekam dalam ingatan saya:
Ketika 99 orang ibu-ibu memakai jilbab dan satu orang tidak, maka yang satu itu akan merasa malu atau terdorong untuk menyesuaikan diri.
Sebaliknya, jika satu orang memakai jilbab di antara 99 yang tidak, maka ia pun akan merasa terasing dan mungkin tergoda untuk mengikuti arus.
Itulah pengaruh lingkungan.
Tak sedikit orang yang terbawa arus.
Sebelum agama datang ke Indonesia, animisme—kepercayaan terhadap roh-roh halus yang menghuni benda atau tempat tertentu—sudah ada sejak awal abad pertama.
Bahkan setelah agama-agama besar masuk ke Indonesia, penganut animisme masih terhitung banyak.
Oleh karena itu, nilai-nilai agama yang mengajarkan penyembahan kepada satu Tuhan—yang jelas berbeda dengan animisme—harus terus didengungkan.
Paham-paham animisme dalam keluarga, atau yang masih melekat dalam tatanan hidup, harus disingkirkan.
Agar tidak menempel pada pendirian keturunan kita.
Lebih jauh lagi, kita harus membentuk lingkungan yang anti-animisme, anti-kemusyrikan, dan anti-media yang menyebarkan kemusyrikan.
Insya Allah.
Comments
Post a Comment