Karena Masalah, Kita Hidup.
Oke. Kembali bercerita.
Pagi tadi, saya mengantarkan Ibu dan adik-adik ke Terminal Garut. Rencananya mereka akan bertandang ke rumah adik pertama saya yang berlebaran di Kota Hujan. Suasana terminal masih ramai—maklum, masih dalam masa arus balik.
Ada arus mudik, ada arus balik. Namun, menurut beberapa sumber, arus balik justru lebih padat.
Kalau hal ini diumpamakan dalam ibadah, tentu cukup mengkhawatirkan: orang yang “pulang kampung” demi kembali fitri kalah jumlah dengan mereka yang kembali ke rutinitas duniawi.
Oh, semoga itu hanya perumpamaan yang keliru.
Lupakan soal itu.
Bukan itu yang ingin saya ceritakan.
Saya tertarik dengan hari ini—dengan orang-orang yang saya temui. Semuanya punya urusan masing-masing.
Subhanallah, jarang sekali saya menyadari hal itu.
Dimulai dari usaha saya berjejalan untuk membooking posisi di jok pertama bus Primajasa, karena Ibu tidak mau duduk di belakang.
Sampai pada urusan terakhir: seorang teman yang baru sadar bahwa STNK-nya sudah lama hilang.
Saya tersenyum mengingat peristiwa-peristiwa hari ini.
Ternyata bukan saya saja yang sedang dililit masalah.
Soal jok depan, saya gagal mendapatkannya karena kondisi bus sangat penuh.
Akhirnya saya duduk di jok kedua. Tak apalah.
Berkali-kali saya mencoba merayu bapak-bapak yang duduk di depan, tapi gagal.
Rayuan saya kandas di tengah jalan.
Weleh-weleh, merayu bapak-bapak sih... malesin.
Mungkin si Bapak memang punya urusan sendiri yang membuatnya enggan berpindah tempat.
Cerita paling menarik hari ini terjadi saat saya dan tiga teman—sebut saja Agus, Aries, dan Anas (bukan nama sebenarnya)—berkumpul sejak pukul sembilan pagi di bengkel milik Agus di daerah Ciawitali.
Kami ngobrol ngalor-ngidul, dari yang ringan sampai yang serius.
Salah satu teman kami, Anas, baru saja bertunangan.
Ia bercerita bahwa awalnya hanya berniat bersilaturahmi ke rumah pacarnya bersama keluarga saat Idulfitri.
Namun, tanpa diduga, pertemuan itu langsung berubah menjadi prosesi lamaran.
“Senang ada, bingung pun jelas,” katanya sambil tertawa.
Urusan yang sangat serius—terlalu serius menurut saya.
Lain Anas, lain pula Aries.
Layaknya lagu Dewa, dia adalah Arjuna yang sedang mencari cinta.
Kantongnya seperti milik Doraemon—penuh bekal alias mapan.
Namun, seperti copet masjid di pom bensin, dia sangat pendiam.
Berharap didekati banyak akhwat, ternyata malah dikerubungi banyak... lalat—alias kami, teman-temannya.
Dari pukul sembilan pagi hingga sekitar pukul satu siang, topik pembicaraan berkisar pada usaha Aries mencari pasangan hidup.
Namun, seperti Syaiful Jamil yang tiba-tiba membanting setir, obrolan kami mendadak berubah serius.
Kami mulai membahas motor-motor yang terparkir di depan bengkel.
Entah kenapa, Aries ingin menunjukkan STNK motornya.
Dengan teliti, ia membuka satu per satu kantong di dompetnya.
Dibukanya kembali dengan usaha yang sama.
Namun, matanya mulai kosong, seperti sedang mengingat sesuatu yang hilang.
Tak lama setelah dompetnya ditutup, kami semua terdiam.
STNK Aries hilang.
Besok ia harus kembali ke Indramayu, dan kini motornya tak punya surat.
Katanya, saat berangkat dari Indramayu, ia yakin membawa STNK dan SIM.
Lantas, hilang di mana?
Kami saling bertatapan, bingung.
Teman kerja di Indramayu ditelepon.
Anggota keluarga di rumah dihubungi satu per satu.
Perintahnya sama:
“Tolong cek STNK di tempat ini, di saku itu, di bawah ini, di samping itu...”
Situasi mulai serius.
Agus akhirnya menelepon temannya yang bekerja di kantor polisi.
Beberapa menit kemudian, seorang polisi datang ke bengkel.
Saya berpikir, urusan ini jauh lebih serius dari masalah saya sendiri.
Kini, sang Arjuna tak hanya resah mencari cinta, tapi juga gelisah mencari STNK-nya.
Polisi mencatat angka-angka yang tak jauh dari jumlah biaya yang harus dibayar jika Aries ingin membuat duplikat STNK.
Penjelasannya lengkap, seperti layaknya sang Maha Tahu.
Aries makin bingung karena tak bisa membawa motornya pulang ke Indramayu.
Polisi berjanji, minggu depan STNK itu akan selesai dibuat.
Saya, Anas, dan Agus hanya diam.
Tak berani bercanda soal STNK yang hilang.
Kami semua bisa merasakan keresahan Aries.
Saya pamit dari kerumunan.
Selain karena punya urusan sendiri—uang jajan adik yang dititipkan Ibu belum saya berikan—saya juga harus segera pulang.
Sesampainya di rumah, saya mandi, salat, lalu membuka Facebook.
Urusan saya bertambah rumit dengan masalah kampus.
Pengisian KRS tidak bisa diwakilkan.
Artinya, saya harus segera ke Jogja.
Urusan pertama belum selesai, kini ditambah urusan baru yang tak kalah pelik.
Saya tersenyum.
Allah Maha Adil.
Ternyata bukan saya saja yang dititipkan satu urusan.
Teman-teman saya pun punya masalah masing-masing:
Ada yang “tersesat di jalan yang benar”—melamar pacarnya tanpa rencana.
Ada yang “tersungkur” karena STNK-nya hilang.
Dan ada yang urusannya lebih memalukan: Agus, yang sudah repot-repot mengundang polisi untuk membantu Aries, padahal sore itu juga si polisi harus kembali ke kantornya karena menerima SMS dari Aries:
“Sorry, STNK saya ternyata kemarin diambil Bapak saya, nggak bilang-bilang...”
Hahaha.
Kami semua punya masalah masing-masing.
Dan saya harus tetap bersyukur dengan masalah yang saya miliki.
Termasuk satu masalah yang terus melilit saya:
“Saya tidak punya pulsa.”
Comments
Post a Comment