Kita Bukan Ponari
Menelisik berbagai acara hiburan di televisi, termasuk beberapa kuis, entah mengapa saya merasa bangga dengan perkembangan kuis-kuis yang kini semakin bernuansa pengetahuan.
Permainan yang ditawarkan tidak lagi sekadar hiburan kosong, tetapi mulai mengasah kecerdasan.
Sebagai contoh, saya hampir tak pernah ketinggalan menonton acara kuis Siapa Paling Berani yang dipandu Helmi Yahya dan Fenita Arie.
Baru-baru ini, saya juga tertarik dengan kuis Ranking 1 yang dipandu Ruben Onsu dan Sarah Sechan.
Jauh berbeda dari kuis-kuis lama yang cenderung bernuansa perjudian angka demi rupiah.
Menjawab “sepakat” dapat lima juta, “tidak sepakat” dapat sepuluh juta, atau bahkan dongkol karena gorden yang terbuka hanya berisi sandal jepit beda warna—alias zonk.
Lain tirai, lain kuis.
Kuis yang sekarang menuntut kecerdasan kognitif untuk mendapatkan selebaran rupiah.
Tantangan yang terasa lebih edukatif.
Contoh pertanyaan menuju satu juta rupiah:
Bagai ...... sembilu.
Saya, Ibu, dan Bapak berebut menjawab.
Saya dan Ibu menjawab “ditusuk”, sedangkan Bapak menjawab “diiris”.
Dua semester + empat cawu = .... bulan
Saya diam. Sama sekali lupa apa itu cawu.
Ibu langsung menjawab, “24 bulan.”
Bapak bertanya sambil ragu, “Lha bukannya satu cawu empat bulan?”
Ada yang menarik di sini.
Bukan soal kekompakan, tetapi bagaimana kita yakin dengan jawaban sendiri dan berani mengakui saat keliru.
Itulah pelajaran penting dari kuis yang disuguhkan untuk masyarakat seperti keluarga saya.
Kompak? Oke. Sportif? Sudah.
Tapi saat kesal karena jawaban kita berbeda dari yang di TV, itu yang perlu dikoreksi.
Karena kuis seperti ini tidak hanya mengasah kecerdasan kognitif, tetapi juga afektif, bahkan bisa memunculkan kecerdasan motorik.
Oke, sekarang Anda pilih: apa yang ada di kantong saku saya, atau gorden nomor 46?
“Gorden! Gorden! Gorden!”
Serentak para peserta yang tidak kebagian pertanyaan “menguntungkan” bersorak.
Sementara peserta yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama sekali tidak mengasah kognitif, afektif, atau psikomotorik, terlihat sangat gugup menentukan jawaban.
Karena ini menyangkut doku—alias uang.
Pertanyaan seperti itu, ke depannya, justru mengasah ketajaman pada indera penglihatan.
Atau dalam istilah populer: mata duitan.
Lambat laun, para penikmat seni mulai sadar akan berbagai tipu daya sang produsen.
Kuis semacam itu lebih cocok untuk dukun, paranormal, atau... Ponari.
Kesimpulan dari catatan ringan menjelang maghrib ini:
Teruslah menggali ilmu pengetahuan kalian (minal aidzin walfaidzin, minal mahdi ilal lahdi).
Tumbuhkan kesadaran untuk terus meningkatkan kecerdasan berpikir (IQ), kecerdasan spiritual (ESQ), dan berbagai keterampilan positif lainnya.
Dan... serahkan semua gorden untuk Ponari.
7 September 2011, pukul 18.52 WIB
Comments
Post a Comment