Menangkis "Bola" Nyasar

Tempo hari, saat saya memasuki kawasan Golf Ngamplang di kota kelahiran saya, Garut—tentunya bukan untuk bermain golf—saya sempat dibuat cemas oleh beberapa plang peringatan yang dipasang di sejumlah titik.

Hari itu, saya menemani seorang teman yang ingin mengobati rasa penasarannya berfoto-foto di sekitar lapangan golf. Maklum, kamera barunya masih ingin “unjuk gigi” di tempat yang belum pernah dijelajahi. Bagi kami, lapangan golf adalah sesuatu yang asing sekaligus istimewa. Hamparan rumput hijau yang luas, kontur tanah yang bergelombang, dan udara sejuk pegunungan menciptakan suasana yang tenang namun tetap menyimpan ketegangan.
Namun, di balik ketakjuban itu, saya dihantui rasa waswas oleh plang bertuliskan: “Awas Bola Nyasar.”
Sepanjang pengambilan foto, mata saya terus siaga, berjaga-jaga kalau-kalau ada bola putih yang tiba-tiba “mencium” kepala kami.
Apalagi, kata teman saya, bukan rumah sakit yang akan dituju jika bola seukuran buah sawo itu jatuh dengan kecepatan penuh, melainkan... ta’ziyah. Ngeri.

Ada laki-laki, ada perempuan. Ada siang, ada malam. Ada senang, ada sedih. Ada usaha, ada hasil. Ada aksi, ada reaksi.
Hidup selalu menyuguhkan dua sisi. Sebuah hukum yang dikenal sebagai kausalitas: ada sebab, ada akibat.
Sayangnya, akhir-akhir ini banyak orang—mungkin juga saya—yang tidak sadar akan ulahnya sendiri, lalu enggan menanggung akibatnya.
Lebih mudah menyalahkan orang lain daripada bercermin dan berintrospeksi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), introspeksi berarti peninjauan atau koreksi terhadap perbuatan, sikap, kelemahan, atau kesalahan diri sendiri; mawas diri.
Namun, introspeksi bukan sekadar melihat kesalahan. Ia menuntut tindak lanjut: koreksi, pembetulan, dan perbaikan.
Itulah esensi introspeksi yang sesungguhnya.

Satu hal paling penting dari introspeksi adalah: kita belajar ikhlas.
Kalau kalian tahu bahwa kunci utama kesuksesan hidup di dunia yang fana ini adalah keikhlasan, saya yakin kalian akan lebih gemar berintrospeksi.
Karena dari situlah ikhlas tumbuh. Saya percaya itu.

Bayangkan...
Saat ratusan orang menonton kejuaraan golf, dan di tengah luasnya lapangan, bola putih sebesar buah sawo justru bersarang di kepala kita.
Padahal ada ratusan kepala lain, dan hektaran lahan kosong untuk bola itu mendarat. Tapi mengapa harus kita?

Atau...
Ribuan kendaraan melaju di jalanan lebar, dengan ban yang ramping dan kuat.
Tiba-tiba, paku mungil mencubit ban kita hingga bocor.
Padahal jutaan ban lain melintas di jalan yang sama. Tapi mengapa harus kita?

Dulu, saat saya masih berada di zaman jahiliah, marah-marah adalah cara paling “keren” untuk melampiaskan nasib sial.
Ternyata, itu tidak keren sama sekali.
Menyalahkan orang lain adalah tindakan paling mudah.
Merutuki nasib buruk, bahkan lebih mudah.
Marah tanpa arah? Semua orang bisa melakukannya. Tapi apakah semua orang mampu mengoreksi dirinya sendiri?

Cobalah berpikir:
Mengapa ini terjadi?
Mengapa itu menimpa kita?
Dan pada akhirnya, bisakah kita menyerahkan semuanya kepada Sang Maha Berkehendak?

Menerima dengan ikhlas setiap kejadian yang menimpa kita, mensyukuri perhatian-Nya—barangkali karena kita sempat lalai, lupa kepada-Nya, atau abai terhadap sesama.

Marah, merutuki nasib, atau menyalahkan orang lain adalah tindakan yang, maaf, paling tidak bijak sepanjang zaman.
Ada banyak dampak negatif dari sikap itu.
Sebaliknya, berjuta dampak positif akan kita rasakan saat kita belajar ikhlas menerima apa yang sedang kita alami.

“Mungkin sudah waktunya kita menggunakan kepala ini untuk berpikir, bertafakur.
Selama ini, kepala ini jarang dipakai untuk mengingat-Nya. Maka, bola golf itu mengetuk kita.
Mungkin sudah waktunya kita bersedekah kepada tukang tambal ban di pinggir jalan, karena selama ini kita kurang berbagi.
Bersyukur kendaraan kita hanya bocor, bukan raib dicuri.
Mungkin itu cara Tuhan menagih hutang amal kita kepada mereka yang membutuhkan.”

Musibah itu seperti bola keras yang jatuh menimpa kita.
Dengan keikhlasan, semuanya akan terobati.

Masih ingat perumpamaan ikhlas yang pernah saya tulis?
Saya menggambarkannya seperti orang yang buang air besar.
Mereka tidak pernah memikirkan kembali apa yang telah mereka buang.
Mereka hanya berpikir positif: membuangnya membuat tubuh mereka sehat.
Perut mereka lega, pikiran pun tenang.
Begitulah ikhlas bekerja—melepas tanpa beban, dan tidak menoleh ke belakang.


Comments