Proposal
Catatan Hari Pertama di Yogyakarta
Sesuatu yang baru, boleh jadi menyenangkan hati—hingga lupa makan, minum, ibadah, atau aktivitas lainnya.
Namun, apakah sesuatu yang baru akan selamanya terasa baru?
Saya jadi teringat masa kecil, saat dihadiahi sepeda oleh orang tua tepat setelah gigi saya dicabut.
Kesepakatannya sederhana: boleh gigi saya dicabut, asal dibelikan sepeda.
Haha, masa kecil memang penuh negosiasi polos.
Tapi sebenarnya bukan itu yang ingin saya suguhkan dalam catatan ini.
Ini adalah catatan hari pertama saya di Kota Yogyakarta, setelah dua bulan pulang kampung.
Tangis saya terhenti saat Bapak membawa saya ke toko sepeda.
Dengan mulut yang tak henti meludah karena gigi titipan Tuhan baru saja dicabut oleh dokter klinik, saya tersenyum dalam hati dan langsung berlagak layaknya seorang raja.
Saya ditawari ini-itu, diberikan pilihan untuk menyenangkan hati:
“Ingin sepeda yang mana?”
Singkat cerita, saya kembali ke rumah dengan senyum sok ramah.
Ingin rasanya berteriak ke seluruh penghuni rumah:
“Hei, saya punya sepeda!”
Kini saya memiliki sesuatu yang baru.
Sesuai dengan fitrah manusia, kita senantiasa tertarik pada hal-hal yang mencolok mata dan hati.
Hari itu, sepeda saya mengalihkan dunia saya.
Bangun tidur langsung teringat sepeda, pulang sekolah hanya ingat sepeda, mau tidur pun melihat sepeda.
Sepeda saya adalah kebahagiaan saya.
Saya tidak berpikir panjang mengapa saya begitu bahagia saat itu.
Alasannya sederhana: apa yang saya inginkan, saya dapatkan.
Senang.
Dari mulai keinginan, memiliki, belajar, hingga bisa, saya bersama kebahagiaan saya.
Namun, kehidupan terus berputar.
Yang tadinya putih berubah menjadi hitam, yang bermula pagi berakhir malam.
Begitu juga dengan sepeda saya.
Awalnya baru, akhirnya usang.
Bahagia berganti bosan.
Dulu saya ingin, sekarang sudah punya.
Dulu penasaran, sekarang membosankan.
Dulu saya banggakan, sekarang saya tinggalkan.
Itu 19 tahun silam, saat saya mendapatkan sepeda baru.
Kini, saya mengalami hal serupa.
Ada yang baru dalam hidup saya.
Namun, seiring pertumbuhan usia dan berkembangnya akal, saya mulai mencari apa yang sebenarnya membuat saya bahagia.
Saya alihkan sedikit rasa dari jalurnya.
Bahagia saya bukan karena terpenuhinya keinginan.
Saya yakinkan sekali lagi dalam hati:
Bahagia saya bukan karena terpenuhinya keinginan.
Kini, saya tidak ingin kebahagiaan ini berujung seperti bahagia ala sepeda baru.
Saya perhatikan dengan saksama, bagaimana caranya mengakali sesuatu yang baru agar tidak berujung jemu.
Bahagia ini adalah anugerah Tuhan.
Dan anugerah itu harus tetap pada porosnya—jangan sampai keluar jalur, apalagi membuat jalur baru yang menyesatkan.
Saya teringat kisah tentang orang tua yang memberikan hadiah kepada anak-anaknya dengan isi yang berbeda-beda.
Lantas anak-anaknya merasa itu tidak adil.
Namun, jika dilihat dari satu sudut pandang—paradigma anak-anak—jelas itu bukanlah keadilan.
Padahal, seorang ayah tidak akan memberikan motor atau ponsel kepada anak kelas 2 SD.
Ia pasti membedakan pemberiannya terhadap anak yang baru lulus SMA.
Sudah sepatutnya orang tua memberikan apa yang dibutuhkan anak-anaknya, bukan apa yang mereka inginkan.
Keinginan tanpa kebutuhan adalah sia-sia.
Sesuatu yang dibutuhkan pasti telah melewati pertimbangan matang.
Kita akan bisa membeberkan alasan yang jelas dan masuk akal saat ditanya:
“Mengapa kamu membutuhkannya?”
Berbeda saat ditanya:
“Mengapa kamu menginginkannya?”
Alasan yang kurang jelas pun bisa muncul sebagai pembenaran.
Berikan alasan saat orang tuamu bertanya:
“Mengapa kamu butuh handphone?”
“Mengapa kamu ingin Blackberry?”
Tuhan pasti bertindak adil terhadap seseorang yang meminta berdasarkan tingkat kebutuhan, bukan sekadar keinginan.
Saat Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, mungkin Dia sedang memberikan apa yang kita butuhkan.
Semoga kebahagiaan saya lahir dari alasan mengapa saya membutuhkannya, bukan karena terpenuhinya keinginan.
Saya tidak ingin proposal saya di-ACC,
Tapi saya butuh untuk di-ACC. ^^!
12 September 2011, pukul 19.06
Comments
Post a Comment