Kita
Saya pikir saya sudah cukup lama absen dari kegiatan tulis-menulis (KTM) atau karang-mengarang (KKM)—atau apalah istilahnya. Ternyata belum terlalu lama juga. Terakhir saya memublikasikan catatan Let It Be pada 3 Oktober.
Hmmm... sebenarnya sejak tanggal itu, banyak sekali cerita yang aneh, menarik, mengiris hati, mengkhawatirkan, dan masih banyak lagi lukisan kehidupan karya anak cucu Adam. Mungkin saya ceritakan kilasannya saja.
Cerita pertama tentang tetangga saya.
Masih segar dalam ingatan, tetangga sebelah—kira-kira terhalang lima rumah kos—barang-barangnya dikeluarkan oleh ibu kos. (Bukan ibu kos saya, kebetulan masih satu kompleks tapi beda pengurus.) Alasannya cukup klasik: telat bayar. Konsekuensinya, seluruh perabotan rumah dikeluarkan.
Oke, saya tidak akan membahas lebih jauh soal ini, meskipun saya tahu cukup banyak detailnya.
Yang perlu digarisbawahi adalah: setiap kejadian di muka bumi ini terjadi atas dasar hukum kausalitas.
Ada sebab, ada akibat.
Cerita kedua tentang warung burjo.
Tepatnya warmindo baru yang buka dekat kosan teman saya. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari menunya—mie rebus/goreng, magelangan, nasi goreng, mie dog-dog, dan aneka minuman sasetan. Hampir sama dengan burjo manapun.
Tapi yang membuat saya tertarik adalah suasananya. Selain harganya yang lumayan miring, penjaga dan pembelinya benar-benar... unik. Penjaganya orang Garut, ramah tapi ceplas-ceplos. Yang lebih aneh lagi, obrolan di sana kadang berubah jadi topik-topik absurd, seperti “Burjo Undercover”—isinya mirip-mirip dengan buku Jakarta Undercover.
Ampun deh... semoga saya tidak termasuk dalam golongan yang seperti itu.
Yang bisa kita pelajari dari perilaku-perilaku negatif, baik dari penjaga maupun pelanggannya, adalah bahwa dalam bergaul, kita butuh keterampilan. Ada seninya.
Tentu kita tidak perlu meniru mereka, tapi juga tidak harus menghindar. Ini tentang seni, Kakak... seni mewarnai hidup.
Cerita ketiga tentang si ular besi.
Tentang Kahuripan. Tentang kereta api ekonomi.
Dulu, cerita saya hampir tak pernah lepas dari Kahuripan. Seorang teman pernah bilang, kereta api ekonomi adalah potret masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Di sana ada yang bergaya kaya, bertingkah seperti tuan tanah, berpura-pura ramah, lalu mendadak tinggi hati saat bicara. Saya hanya bisa tersenyum melihatnya.
Saya bersyukur pernah mengalaminya.
Hal baru dari Kahuripan saya: sekarang sudah banyak perubahan. Atmosfernya makin nyaman. Semua penumpang mendapat tempat duduk. Tidak ada lagi hukum rimba—siapa kuat otot, omong, atau ongkos, dia yang menang.
Tidak lagi.
Kini, mereka yang dulu sok berkuasa pun tunduk pada nomor kursi yang tertera di karcis.
Dengan mantra sederhana:
“Maaf, Mas/Mbak, ini tempat duduk saya.”
Mereka berubah jadi jinak.
Hmmm... Kahuripan kini jadi pesona.
Yang perlu kamu lihat dari fenomena ini adalah: jangan takut menghadapi perilaku burukmu sendiri.
Buang jauh-jauh pepatah “buruk rupa cermin dibelah.”
Benahi perilaku kita. Cermin pun, tentu, tak buta.
Catatan ini saya persembahkan untuk kita.
Ini semua tentang kita.
Bukan mereka.
Comments
Post a Comment