Sakit apa, Dok?
Saya tidak tahu harus mulai dari mana...
Di dunia yang keruh ini, ada beberapa hal yang membuat saya takut.
Takut di sini tentu bukan dalam arti takut kepada-Nya.
Lebih kepada perasaan tidak sanggup bertemu atau khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saat bertemu.
Rasa takut ini bisa disebabkan oleh trauma, imajinasi sendiri, atau mungkin dari gosip yang beredar.
Takut yang biasa—seperti takut kesetrum atau takut ular.
Hal sederhana yang membuat saya takut adalah hewan amfibi yang menurut saya sangat kurang menarik secara fisik: kodok.
Dalam bahasa Sunda disebut bangkong korodok.
Saya tidak akan berbicara panjang tentang binatang yang pernah dijadikan bencana pada masa Firaun (QS. Al-A’raf: 133), saat hampir seluruh kerajaan dipenuhi oleh makhluk melompat ini.
Saya tidak tahu pasti mengapa saya begitu takut pada hewan yang satu ini.
Hal lain yang membuat saya takut adalah mereka yang tidak jelas identitas gendernya—apakah laki-laki atau perempuan.
Untuk yang satu ini, trauma adalah penyebab utama.
Dicolek-colek saat mereka mengamen adalah pengalaman yang sangat tidak menyenangkan.
Sama menjijikkannya dengan melihat kodok.
Kodok buruk rupa, dan mereka—maaf—buruk akhlak.
Pernah saya berontak, tapi apa daya.
‘Power’ mereka bisa dikatakan lebih tangguh dibanding kita.
Saat saya berkelahi, jelas saya kalah.
Kehidupan mereka jauh lebih keras.
Saat saya berlari, tetap saya kalah.
Kecepatan mereka saat dikejar petugas keamanan sepertinya mengalahkan juara maraton dunia.
Jujur, sampai sekarang, mata saya masih waspada akan kehadiran mereka.
Mood saya berubah menjadi takut, meskipun tidak saya tunjukkan secara terang-terangan.
Untuk hal pertama, memang tidak masuk akal mengapa saya takut kodok.
Tetapi untuk hal kedua, wajar jika kita merasa takut atau waspada terhadap seseorang yang tidak jelas pendiriannya.
Mungkin mereka tidak berniat mengajak kita menjadi bagian dari mereka, tapi siapa tahu di antara teman kita ada yang memiliki kecenderungan serupa dan mengajak kita bergabung—dengan berbagai cara: menjadi pasangan, mengamini ideologi, atau membela sesuatu yang bukan haknya.
Wajar kita takut.
Dan tentu saja, kita harus waspada.
Haruskah saya memukul, melempar, atau bahkan membunuh kodok saat ia ada di kosan saya?
Atau haruskah saya lari, padahal itu tempat saya sendiri?
Tentu banyak cara positif yang tidak saling menyakiti.
Kadang saya mengambil tongkat panjang untuk mengusir anak kodok yang nyasar masuk ke kosan.
Saya usir dari jarak dua meter sambil berzikir:
“Hush, keluar dong!”
100 kali.
Atau mungkin menyuruh orang lain untuk mengusirnya.
Hehe... ini tidak saya lakukan.
Harga diri mau ditaruh di mana, brai?!
Paling-paling saya menyuruh adik saya saat kodok itu ada di rumah.
Pokoknya banyak cara yang tepat untuk mengusirnya.
Mungkin Anda pernah dengar pertanyaan:
“Bagaimana cara mengusir setan, sedangkan mereka bisa melihat kita, dan kita tidak bisa melihat mereka?”
Banyak orang berpikir pergi ke dukun atau memberikan sesajen.
Padahal itu tidak masuk akal, bahkan sangat negatif dan primitif.
Pepatah mengatakan:
“Cara berlindung terbaik dari anjing galak adalah kepada pemiliknya.”
Begitu pula dengan setan.
Tak ada yang lebih kuat, lebih jago, lebih perkasa daripada Sang Maha Segalanya—Allah SWT.
Kita patut berlindung kepada-Nya.
Begitu juga dengan kodok—sesuatu yang tidak diharapkan kedatangannya.
Serahkan semuanya kepada-Nya.
Dan haruskah saya meludahi wajah mereka yang mengalami disorientasi seksual?
Menghinanya terang-terangan dengan berbagai cara (semoga tidak lewat catatan ini, hehe)?
Menyiksa secara keroyokan?
Pertama, mereka bukan kodok.
Kedua, ini penyakit, bukan fitrah.
Saya teringat tagline iklan HIV/AIDS:
“Jauhi penyakitnya, bukan orangnya.”
Iklan ini mengajarkan bahwa masih banyak hal positif yang bisa diperoleh dari mereka.
Ada banyak cara untuk membuat mereka lebih nyaman dengan ujiannya.
Karena bagaimanapun, orang sakit adalah orang yang sedang diuji.
Mereka tetap harus bersabar dan berusaha menepis penyakitnya demi hal-hal positif—mungkin kesembuhan.
Begitu pula dengan mereka yang mengalami disorientasi seksual.
Ini adalah penyakit.
Apa pun alasannya, dari mana pun datanya, sejelas apa pun sumbernya, saya tetap mengatakan: ini penyakit.
Tetap bersabar.
Tetap berusaha mengedepankan cara berpikir positif agar mereka sabar menghadapi ujian, sadar akan fitrah, dan tegar menuju kesembuhan.
Saat kodok itu berada di tempat yang sewajarnya, tidak mengganggu, biarkan saja.
Saat orang yang ‘berpenyakit’ berada di tempat yang semestinya, tidak ikut campur urusan kita, biarkan saja.
Biarkan saja...
Biarkan...
Biarlah.
Judul asli catatan ini: Let It Be.
Comments
Post a Comment