Salam dari Hujan [1]

Mari kita buka catatan ini dengan bacaan basmalah...

Ba’da Zuhur, saya dan adik saya, Cipto, bergegas menuju Stasiun Garut.
Keputusan untuk pergi ke sana tentu bukan tanpa pertimbangan.
Langit kota Garut tampak bingung.
Sebelah timur masih berawan putih, tetapi arah yang akan kami tuju terlihat kelam.
Saya tidak ragu, kami akan menembus hujan.
Sip. Saya sudah siap.

Sejak pagi, saya diliputi keraguan untuk berangkat ke Jogja. Entah mengapa.
Namun akhirnya, saya bulatkan tekad: malam ini saya akan pergi.

Alasan untuk tidak pergi sebenarnya cukup kuat.
Saya tak sanggup menanggalkan janji:
“Hari Senin esok, saya akan membawa sesuatu untuk kawan-kawan.”
Namun, rencana sedikit berubah.
Sesuatu itu tidak bisa saya bawa tepat waktu.

Di sisi lain, saya sangat ingin menghadiri acara teman-teman bersama seorang dosen—acara yang saya yakin tidak akan terulang tahun depan.
Saya berharap bisa hadir dalam kemeriahan itu.
Dan saya yakin, hanya saya satu-satunya yang tidak bisa hadir karena kronologi berikut ini:

Melihat langit Garut bagian barat tampak ‘sedih’, saya menyiapkan dua jas hujan—masing-masing untuk saya dan Cipto.
Perkiraan saya benar.
Sesampainya di Simpang Lima Garut, kami langsung mengenakannya.
Hujan turun deras.
Perjalanan tetap berlanjut.
Saya sudah siap menempuh setengah jam ke depan di bawah hujan.

Dan benar saja, sesampainya di stasiun yang dituju, saya dan adik saya bak tukang sulap: hujan begitu deras, namun pakaian kami tetap kering.
Saya memarkir motor di tempat yang agak teduh, merapikan jas hujan dengan tenang.
Namun ketenangan itu segera hilang setelah melihat pengumuman di loket karcis:

“Pemesanan Tiket:
Pagi: 07.30–11.00
Sore: 17.30–20.30”

Saya melihat jam di ponsel.
Pukul 14.15.
Suara hujan semakin deras.
Loket tertutup rapi dengan gorden.

Stasiun sepi.
Bingung saya belum habis.
Kalau saya kembali ke rumah, jaraknya jauh dan hujan masih deras.

Stasiun lengang.
Cemas saya belum reda.
Kalau saya menghubungi seseorang di rumah, beliau akan berbeda—ibu saya akan lebih “menyayangi” saya.

Stasiun sunyi.
Kekhawatiran belum pergi.
Kalau saya berharap pada makhluk, mereka jelas tak berdaya.
Manusia tak pantas dijadikan sandaran utama.

Stasiun senyap.
Ragu saya mulai luruh.
Sesaat setelah saya memohon pada Sang Pengutus Hujan:
“Berikan ketenangan diri, jauhkan dari hal-hal yang meragukan.”

Lalu datanglah pesan di balik derasnya hujan:
“Maaf, Mas. Tiket kereta untuk malam ini habis.”
Seseorang di balik loket akhirnya memberitahu.

Saya menerobos kembali hujan menuju rumah.
Dalam perjalanan setengah jam itu, saya berpikir matang-matang.
Kini hanya ada dua pilihan: berangkat ke Tasik atau ke Bandung, atau menunda keberangkatan ke Jogja hingga esok hari.

Saya membuka jadwal kereta dari Bandung dan Tasik secara daring.
Tampaknya saya sudah tertinggal waktu.
Terlambat.

Hujan masih mengguyur sebagian kota Garut, termasuk kampung saya... pada akhirnya.
Saya tersenyum dalam kedinginan.

Tatapan saya menembus hujan, tepat di depan layar tempat saya mengetik.
Saya mencoba memperhatikan rintik hujan yang jatuh di kolam ikan belakang, satu per satu.

Langit memekik:

Tangisanku hari ini bukan untuk menghancurkan rencanamu.
Tangisanku akan berhenti, tapi bukan hari ini.
Cukup sudah satu jam kamu berada di bawah tangisanku... tunggu.
Kalau tidak malam ini, aku berjanji, tangisanku akan berhenti esok hari.
Karena cerahku selalu ada di atas tangisku.
Tangisku hanya sesaat, diseka oleh ceriaku.

Esok akan ceria. Ini janjiku.
Janjiku tak kuucap sendirian.
Juga salam dari tangisku...
Salam dari hujan.


Comments