Tak Akan Melangkah Lebih Jauh Lagi
Hati kita sering terbeli oleh orang yang berbuat baik kepada kita.
Timbullah cinta—cinta yang membuat kita ringan berbuat, bahkan rela berkorban.
Kita mencintai orang tua yang telah banyak memberi kebaikan.
Kita pun mencintai siapa saja yang membuat kita merasakan nikmatnya kebaikan.Namun sesungguhnya, semua sumber kebaikan hanyalah dari Allah.
Sedangkan makhluk hanyalah jalan nikmat yang Dia berikan kepada kita.
Maka cinta sejati kita adalah cinta kepada sumber segala kebaikan, sumber kenikmatan dan kebahagiaan yang sampai kepada kita.
Dialah... Allah.Sudah tiga hari belakangan ini, pikiran saya melanglang entah ke mana.
Kadang saya mencoba menerka hampir setiap isi kepala orang.
Saya memikirkan gagasan Elliot tentang antropologi, kepala Aarseth tentang video gim, Homerin tentang agama, pikiran teman-teman, orang tua, dia, dosen, dan semuanya.Tololnya saya!
Seolah ingin menggeser peran malaikat Atid, saya sibuk mencatat semua amalan buruk dari setiap manusia.
Dan lebih tolol lagi saat saya ingin membalas semua orang yang berbuat baik dengan kesempurnaan.
Padahal, semua itu sudah ada yang mengatur.
Allah yang Maha Sempurna memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya tanpa pilih kasih kepada seluruh makhluk-Nya.Manusia, sudah jelas, tidak masuk ke dalam kategori sempurna.
Seadil-adilnya manusia, tetap ada celah untuk berkhianat.
Entah kepada siapa, tapi saya yakin, mereka pasti pernah berkhianat—bahkan kepada diri mereka sendiri.Seperti ucapan Aa Gym di atas, hampir semua orang rela berkorban hanya karena menerima kebaikan dari sesama makhluk.
Sudah jelas, mereka akan pilih kasih.Kita terlalu sibuk memikirkan kebaikan orang tua, lebih sibuk lagi memikirkan balasan apa yang akan kita berikan kepada mereka.
Kita pusing dengan kebaikan seseorang, dan jauh lebih pusing saat ingin membalasnya dengan sesuatu yang lebih berharga.
Bayangkan, kita sibuk memikirkan balasan atas kebaikan orang.
Itulah yang dinamakan cinta.Karena kita cinta kepada orang tua yang telah memberikan kebaikan, kita rela berkorban demi apa yang mereka idamkan.
Kita cinta kepada seseorang yang telah mencurahkan kebaikan, maka kita pun berkorban—bukan sekadar ingin membalasnya, tapi juga mencatatnya dalam hati.Namun, beranikah kita berkorban untuk Dia yang senantiasa memberikan kebaikan kepada seluruh makhluk-Nya?
Catat: itu baru soal kebaikan.
Kita sudah sibuk dan pusing memikirkan balasannya.
Tak terbayangkan saat manusia dihadapkan dengan kejelekan seseorang.Stop sampai di sini.
Saya tidak akan turut campur dalam tugas malaikat Atid.
Saya tidak akan mencatat, apalagi mengingat kejelekan seseorang.
Stop sampai di sini.
Saya tidak akan mampu memberikan kesempurnaan kepada mereka yang telah berbuat baik.
Biarlah Allah, sumber segala kebaikan, yang menyempurnakannya.
Yang akan menutup aib saya.
Saya yakin itu, karena Dia sebaik-baiknya Pengasih, sebaik-baiknya Penyayang.Pikirkanlah, apakah setiap gerakmu akan dibalas baik atau buruk oleh Sang Maha Meliputi?
Saat kita khawatir bahwa langkah kita tidak diganjar kebaikan, itulah bentuk cinta kita kepada-Nya.Hitunglah kebaikan orang.
Kau akan tahu betapa banyak keburukan dalam dirimu.
Dan lupakanlah keburukan orang.
Segera kau akan sadar, itulah kebaikanmu.
Comments
Post a Comment