Melepas Payah

Ditemani alunan instrumen Kitaro, malam perlahan merangkak menuju sepi.
Meninggalkan keramaian siang hari, mengantar pulang segala urusan yang telah dijalani.
Di dinding ini, saya melihat dua ekor cicak sedang bermesraan—salah satu ekornya digigit penuh manja.
Ah, dasar cicak...
Tahu waktu, tak tahu tempat.

Kitaro kian memuncak, menggapai bagian reff.
Tak sepadan, memang.
Malam yang sepi dihiasi genderang Kitaro.
Oh, dasar aku...
Tahu tempat, tak tahu waktu.

Pernah mendengar lagunya yang berjudul Koi?
Belum?
Dengarkanlah...
Saya sudah mendengarnya sejak kecil.
Biasa diputar di waktu pagi, lewat radio.
Bukan di tempatmu, tapi di tempat saya.

Saya dengarkan berhari-hari, saya putar bertahun-tahun.
Tapi tetap saja, saya tak bisa menangkap apa yang ingin disampaikannya.
Yang saya tahu hanya gelitik suara suling Cina.
Pikiran saya membayangkan peristiwa sehabis perang...
Kebudayaan hancur dimakan hasil kebudayaan itu sendiri.
Peradaban musnah dilahap oleh hasil peradaban itu sendiri.
P A Y A H...

Menjelang akhir lagu, bayangan saya terhalau oleh alunan penuh kegembiraan.
Entah...
Entah apakah itu suatu pertanda,
Bahwa sebesar apa pun badai,
Toh nanti akan berganti, dan selalu berlalu.
L E P A S...


Comments