Tengkibing Day

Kamis, 24 November kemarin,
entah saya mimpi apa...
Selain bertepatan dengan Thanksgiving Day, hari itu juga saya sebut sebagai Tengkibing Day—Hari Nengteng Kaki Kambing.

Ya, selama hampir setengah jam perjalanan, saya menggendong seekor kambing dari daerah Prambanan sampai Gejayan.
Awalnya, rencana saya hanya menemani seorang teman membeli kambing di pasar kambing depan Candi Prambanan.
Tapi nasib berkata lain.
Setelah obrolan sana-sini, telepon sana-sini, si kambing harus ikut naik motor bersama kami.

Saya kikuk, tidak tahu harus berbuat apa.
Teman saya hanya tersenyum simpul—entah malu, entah GR—tapi yang jelas, kami grogi.
Khususnya saya.
Saya harus membantu si kambing duduk tenang di pangkuan, karena sempat terpikir: biarlah kami yang dibonceng oleh si kambing.
Tapi ternyata, di pasar, puluhan orang membawa kambing, dan tak satu pun dari mereka dibonceng oleh kambing.
Yang ada, kambingnya dibonceng manusia—lebih tepatnya, digendong.

Si kambing dijatuhkan. Buk!
Kedua kaki dan “tangannya” diikat layaknya tawanan.
Satu buah karung disediakan.
Tubuhnya yang kurus dimasukkan ke dalam karung, hanya kepalanya yang dibiarkan keluar.
Tujuannya: menghindari tilang atau razia dari bapak polisi.
Bahwa dengan ini, kami sungguh-sungguh sedang membawa kambing.

Embeeee!
Si kambing berteriak.
Mata saya tak henti-henti melotot ke arah wajahnya yang hanya sekitar dua jengkal dari wajah saya.
Ini dilakukan agar saya bisa sigap saat si kambing nyosor mencium saya.
Saya tidak rela!

Embeeee!
Lagi-lagi ia berteriak.
Entah memuji: “Yoga cakep!”
Tapi rasanya tidak mungkin.
Dia hanya bilang “Embeee”—itu satu kata.
Sedangkan “Yoga cakep” dua kata.
Halaaahhh...

Embeeee!
Setiap lampu merah, ia berteriak.
Orang-orang di kanan-kiri, depan-belakang, tak ada yang menghiraukan.
Karena yang kami bawa adalah kambing, dan bunyinya memang “Embeee”.
Tak usah heran.
Lain cerita kalau kami membawa kambing, tapi bunyinya “anjing...”
Tentu akan sangat kasar.

Tangan saya merekat erat.
Takut ia loncat, tidak mau naik motor, maunya naik travel.
Saya tidak rela.

Saya pun berteriak:
“Wooyyy... jalannya cepetan, Mas! Biar cepat sampai!”
Saya sudah tidak kuat.
Paha saya panas.
Oowww noooo...

Sesaat si kambing memang terdiam.
Tapi ternyata, ia ingin memberi saya sesuatu.
Ia kencing di atas pangkuan saya.
Sesuatu banget, ya, Kakak!
Saya tak tahan.

Hati saya berbicara:

  • Biarlah teman saya ini menjadi teman terakhir dalam hidup sial saya.
  • Biarlah kambing ini menjadi saksi, agar baju, celana, dan sweater saya bisa saya berikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
  • Biarlah ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan—antara saya dan kamu, Mbing!

Cerita ini untukmu, Mbing, yang hari ini akan dipotong.
Karena kesalahanmu sendiri.
Percayalah akan karma, Mbing.
Saya teraniaya menggendongmu, dikencingi olehmu.
Doa orang yang teraniaya diijabah.

“Semoga kau tenang di sana...”
Happy Thanksgiving Day.


Comments