Versus

Kini mata saya menatap keluar jendela kereta Malabar.
Gelap. Sesekali lampu kecil mendekat, lalu menghilang.
Di luar, bayangan pepohonan dan rumah-rumah yang tertidur melintas seperti potongan mimpi yang tak sempat saya ingat.

Sekitar 20 menit lalu, Malabar meninggalkan Stasiun Tugu. Tak seperti biasanya—dari nama kereta, nama stasiun, hingga jadwal keberangkatan—semuanya berbeda dari yang biasa saya alami. Biasanya saya menaiki kereta ekonomi Kahuripan dari Stasiun Lempuyangan, dengan jadwal yang masih wajar: pukul 20.20 malam. Malabar justru berangkat pukul 23.57, tiga menit sebelum tengah malam. Nggak sehat!
Gerbong terasa lengang, hanya suara roda besi yang beradu dengan rel, sesekali terdengar dengkuran pelan dari penumpang yang tertidur.

Karena Malabar tidak berhenti di Stasiun Garut, baik Cibatu maupun Leles, saya harus bersiap turun di antara Tasikmalaya atau Bandung. Kereta dijadwalkan tiba di Bandung pukul 08.30 pagi, tapi nampaknya akan terlambat. Terbukti, laju kereta di Ciamis kalah cepat dari matahari. Kota itu sudah terlihat dari jendela, cahaya pagi mulai menyusup di sela-sela bukit. Saya yakin kereta akan tiba di Tasikmalaya sekitar pukul setengah tujuh. Butuh tiga jam lagi ke Bandung. Saya putuskan turun di kota santri: Tasikmalaya.

...

Saya kini berada di Stasiun Tasik. Ini kali kedua saya menginjakkan kaki di sini.
Langit masih pucat, udara pagi terasa dingin dan sedikit lembap.
Menghindari ajakan tukang ojek dan rayuan tukang becak, saya mempercepat langkah menuju kursi tunggu di depan stasiun. Deretan bangku besi berwarna hijau tua tampak kosong, hanya beberapa penumpang duduk sambil memeluk tas. Santai. Cukup mujarab—tak satu pun dari mereka mendekati saya. Beberapa menit kemudian, Malabar melanjutkan perjalanan ke Bandung, meninggalkan deru pelan dan jejak embun di rel.

Saya masih terdiam. Entah apa yang saya pikirkan. Tiba-tiba, suara berbisik di telinga kiri:
“Pintar lu, Ga! Gaya kayak orang Tasik, padahal nggak tahu apa-apa soal Tasik. Tapi gue setuju, jangan percaya tukang ojek atau becak. Mereka brengsek!”

Belum sempat saya mencerna, suara lain muncul dari arah kanan:
“Sssttt... Mereka sedang menjemput rezeki dari Tuhannya, Ga, buat keluarga mereka. Nggak salah kalau mereka naikkan harga, toh nggak tiap hari begini...” ucapnya tenang.

“Eh, anjing! Diem lu! Ngatur-ngatur rezeki, bawa-bawa nama Tuhan! Mereka lebih sombong dari teman-teman gue. Kita, para setan, cuma menggoda. Lha mereka, yang diciptakan sempurna—punya hati, otak, jasad—tetap ngawur! Gue yakin, yang nawarin tumpangan pagi ini, nggak ada yang salat subuh! Paling satu dua orang. Tuhannya aja dilupain demi rezeki-Nya. Songong!”
Kasar. Tengil.

Saya bergegas meninggalkan stasiun, membunuh suara-suara itu, mencari trayek ke terminal atau tempat menuju Garut. Jalanan masih sepi, hanya terdengar suara roda becak yang sesekali melintas dan aroma gorengan dari warung kecil di seberang jalan.

“Di depan ada tukang bubur, Ga. Sarapan dulu, sekalian tanya arah ke Garut...” suara halus muncul lagi.
“Heeeeyyy... Kayak nggak tahu aja tukang bubur. Lu makan di sini dengan gaya orang mudik, harga bisa selangit. Lu sering dikibulin tukang dagang dengan alasan jajan plus tanya-tanya. Sok akrab, ujung-ujungnya nyesel! Mau gitu lagi? Gueblog!”
Si tengil menimpali.

Kali ini saya ikuti suara yang tenang: saya menyantap bubur di pinggiran Stasiun Kota Tasik. Warungnya sederhana, meja plastik dan bangku kayu, aroma kaldu mengepul dari panci besar. Saya bertanya arah ke terminal dan tujuan sebenarnya...

“Tuh tuh tuh, lihat si anjing! Lu nanya cuma satu kalimat, arah terminal ke mana... Dia malah jawab ngalor-ngidul, sok akrab. Gue bisa lihat dia orangnya...”
“Ini, Bang,” saya beri uang lima ribu rupiah, karena tahu pembeli sebelumnya hanya bayar dua ribu.
“Iya, nuhun... makasih, sudah cukup,” jawab si Abang.
“Lha, kembaliannya?” tanya saya.
“Sudah kok, cukup. Kamu ke arah situ aja, ya, kalau mau ke terminal...” katanya, tanpa menghiraukan.

“Sabar, Ga... sabar, ikhlasin aja...” suara tenang kembali hadir.

“HAHAHAHA GOBLOG BANGET LU, GA!! Dikibulin lagi! GUOBLOG!” si tengil tertawa puas.
Kata gue juga, tukang bubur ini lebih picik dari tukang ojek atau becak. Hahaha, kasihan lu, Ga!
Orang musafir itu diringankan oleh Tuhan. Salat ada rukhsoh, bisa dijama’, shaum boleh dibatalkan saat perjalanan. Doa musafir sering diijabah. GILEEE, itu kompensasi dari Tuhan Yang Maha Baik buat yang bepergian.
Lha ini, tukang bubur, malah manfaatin! Tuhan aja ngeringanin, ini malah... haduuhh, dasar orang miskin!
Kalau bodoh ditambah miskin... ya gitu, bawaannya pengen ngegencet orang. Lu tahu kenapa orang miskin belagu? Karena nggak ada lagi yang bisa disombongin selain belagunya! INGAT!!”

Begitu nyaring ucapan si Tengil.

“Astagfirullahal’adzim... Masa cuma gara-gara tiga ribu rupiah, kamu hancurkan amal baikmu, Ga. Siapa tahu kamu kurang bersedekah, makanya ‘dipinta’ Tuhan lewat tukang bubur itu.
Hidupmu sudah jelas. Untung-ruginya sudah digoreskan dari dulu. Takdir baik, ya disyukuri. Jangan kufur.
Saat kufur, langsung nyambung ke takdir buruk. Saat berada di sana, ya sabar. Kalau nggak sabar... jangan salahkan siapa-siapa kalau kamu rugi.
Jangan bicara tesis dulu, Ga... Lulus SD aja ada ujiannya biar masuk ‘kualifikasi’. Masa hidup nggak ada ujian?”

“Eh, anjing! Laga lu udah kayak yang bener aja... Lu bikin si Yoga supaya ikhlas, tapi hatinya nyesek... Tetap nggak bakalan ada yang nerima!”
“Yoga sebagai manusia, wajar kalau nyesek. Punya hati ini... Di mana-mana, kena ujian, nguatin hati, nenangin sikap... Itu ada doanya. Berdoa saja, Ga. Dia Sebaik-baiknya Pendengar, Sebaik-baiknya Pengampun, dan Sebaik-baiknya Pemberi.”

Rugi saya tak berhenti di tukang bubur...
Tapi yang perlu dicatat: kini saya tak sendirian.
Perjalanan saya menuju Garut ditemani dua suara itu...
LUCU.


Comments