Aku, Kodim, dan Gada Kerjaan
Baru kali ini saya memiliki seseorang yang bisa diajak ngobrol tentang sesuatu yang sebenarnya sudah lama saya tahu: hobi memelihara burung.
Namun, saya belum pernah mengulik lebih dalam tentangnya.
Saya tidak pernah benar-benar memahami mengapa orang-orang begitu menggilai hobi ini.
Apakah karena mereka senang mendengarkan merdunya suara burung?
Atau terpikat oleh keindahan warna bulunya?
Atau sekadar hobi mengoleksi sangkar dengan berbagai bentuk, ukuran, dan warna?
Tapi bisa dibayangkan, saat pagi cerah, sebut saja namanya Kodim, harus naik ke pohon depan kosan untuk menggantungkan sangkarnya agar burung-burungnya bisa menikmati hangatnya sinar mentari.
Namun, setengah jam sebelum naik pohon, ada ritual khusus: memandikan burung dan memberinya makan.
Pakannya pun beragam, karena selera burung berbeda-beda.
Saya melihat wadah-wadah dengan isi yang berbeda:
Ada ulat yang ia beli seharga Rp1.000 untuk setengah ons (tentu bukan ulat bulu),
Ada wadah berisi 12 ekor jangkrik seharga Rp1.000,
Ada juga wadah berisi pelet seperti pakan ikan.
Banyak sekali jenis pakan untuk tiap burung.
Maklum, Kodim memelihara lima ekor burung.
Ia harus memandikan, memberi makan, mengeringkan, mengawasi, dan menurunkan mereka dari pohon saat Maghrib tiba.
Dulu, ia sempat bercerita bahwa jumlah burung peliharaannya pernah mencapai 12 ekor.
Namun, berbagai peristiwa membuat jumlah itu berkurang.
Salah satunya adalah kematian salah satu burungnya karena memakan ulat Hongkong.
“Jangan beli ulat Hongkong, Mas. Burung saya mati gara-gara organ tubuhnya dimakan dari dalam oleh ulat. Saya lihat sendiri, Mas. Pas tubuhnya dibuka, ulatnya masih hidup,” kata Kodim dengan nada serius.
Seolah saya benar-benar ingin memelihara burung.
Mungkin karena selain burung-burungnya mati, ia pun merasa terlalu repot menjalani ritual harian untuk 12 ekor burung.
Dua belas burung.
Kalau saya disuruh memilih antara memelihara 12 ekor burung, lebih baik saya memelihara tujuh orang untuk dijadikan boyband.
Kodim... Kodim...
Azan Maghrib berkumandang.
Langit mulai merangkak gelap.
Kodim masih terlihat di atas pohon, menurunkan burung-burungnya satu per satu.
Selintas saya melihatnya, gelagatnya begitu senang.
Karena begitu Maghrib datang, itu pertanda ia berhasil menjalankan tugasnya sebagai pemelihara burung teladan:
Memandikan, memberi makan, dan menurunkan burung dalam keadaan sehat walafiat.
Tentunya menjadi kebanggaan tersendiri.
Kodim bangga.
Satu jam berlalu sejak penurunan burung-burung.
Ia menutupi kelima sangkarnya dengan kain putih.
Dibungkus layaknya bingkisan, namun dengan kain.
Tujuannya agar burung tidak diincar oleh kucing.
“Tadi saja, Mas, kucing sudah ngintai mau nerkam burung ini...”
Lagi-lagi Kodim bercerita dengan serius.
Sambil tersenyum, saya mengetik di note Facebook:
“Siapa yang nanya?”
Seperti halnya Kodim, saya pun menulis tulisan ini karena memang...
—— nggak ada kerjaan. ——
Comments
Post a Comment