Kamis Gokil, Gagak Keparat (KGGK)
Percaya atau tidak, tiga hari setelah kejadian itu, layaknya jelangkung, nyengir itu datang tak diundang, pulang tak diantar.
Setiap kali mengingat acara itu, saya nyengir sendiri. Ingat lagi, nyengir lagi.
Sungguh, acara yang sangat super duper gokil.
Kamis, 26 Januari 2012, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa setiap ada usaha, di situ ada jalan—sekalipun usahanya minim.
Segelintir orang pun ikut terlibat, dan di akhir acara mereka kompak mengucapkan:
“Ini acara paling gokil yang pernah ada.”
Siang itu, saya disibukkan dengan acara pementasan seni Gerak dan Tawa—istilah ini muncul tepat saat penulisan catatan ini.
Meskipun yang akan diperagakan adalah puisi yang sangat tragis, karena tanpa persiapan, ujung-ujungnya tergolong ke genre komedi.
Acara dimulai pukul 19.00, sekarang pukul 12 siang.
Walaupun saya bukan ketua acara, saya dibingungkan oleh beberapa hal luar biasa:
- MC belum pasti.
- Aktor untuk puncak acara belum jelas.
- Sound belum dikonfirmasi ulang.
- Tempat baru bisa dikosongkan pukul 16.00, artinya hanya tiga jam sebelum acara dimulai.
- Properti lainnya belum jelas keberadaannya.
SMS masuk dari Pak Ketu, menanyakan posisi saya.
Saya beri tahu bahwa saya sedang di kosan, mengedit suara seseorang yang akan membacakan puisi untuk acara puncak—seseorang yang kami segani sekaligus takuti (saya, Pak Ketu, dan Pak Ketua ASSAA).
“Sudah saja, edit suaranya di sini, di kampus,” pinta Pak Ketu.
Tanpa pikir panjang, saya langsung meluncur ke TKP.
Sebenarnya, pukul 9 pagi, saya dan teman saya, Koko, sudah pergi ke rumah beliau—si Ibu yang kami takuti—hanya untuk menyampaikan bahwa yang akan tampil di acara puncak bukanlah saya.
Awalnya, si Ibu menolak, masih menawar-nawar, tapi akhirnya mempersilakan dengan formasi baru:
Koko yang awalnya direncanakan jadi aktor, berubah jadi MC.
Putranto diusahakan jadi aktor.
Saya jadi teknisi suara—alias bekerja di belakang panggung, walaupun akhirnya berdiri di samping panggung.
Oke, urusan dengan si Ibu sudah selesai.
Sstt... rahasia: si Ibu ternyata tidak bisa hadir karena kakaknya sedang sakit.
Sekarang saya dalam perjalanan menuju kampus memenuhi panggilan Pak Ketu.
Setengah bingung karena Koko masih butuh partner MC.
“Enggak bisa, Ga, kalau MC sendirian... butuh satu orang lagi,” ucapnya serius.
Kami pun sibuk mencari partner yang bisa membuat Koko lebih hidup, dan akhirnya menemukan teman kelas yang sangat super duper baik: Puspita, calon MC masa depan.
Kembali ke urusan aktor puncak.
Putranto belum datang dari Salatiga (katanya masih dalam perjalanan).
Pertanyaan yang masih menggelayut di benak saya:
Apakah dia mau latihan untuk performance yang akan digelar tujuh jam lagi?
Dengan durasi puisi sekitar 14 menit, apakah Putranto tidak akan mual dengan improvisasinya sendiri?
Pucuk dicinta ulam pun tiba.
Putranto datang ke kampus pukul 13.00.
Dengan iming-iming kemudahan yang akan ia dapatkan saat memerankan puisi itu, ia bersedia jadi aktor.
Saya lega, begitu juga Pak Ketu.
Mulai saat itu, saya tidak lagi memanggilnya Putranto.
Kini dia: Aktor.
Hahaha... sampai sekarang saya kadang masih nyengir sendiri.
Entah stres, ogah, atau gelisah, sang Aktor enggan latihan serius.
Mungkin pikirnya, dengan berbagai gambaran yang saya sampaikan, aktingnya akan mudah.
Atau mungkin, panjang puisi yang empat lembar membuatnya malas latihan.
Sesekali saya bertanya, “Nanti pas acara kamu mau bawa skrip-nya?”
Dengan tegas ia menjawab, “Ya pasti dong, gila aja saya udah baca skrip ini dua bulan dan dibaca tiap hari, masa enggak dibawa...”
Saya tertawa tertahan.
Saya tahu maksudnya: ia bersindir gurau.
Latihan puisi empat lembar dalam waktu tiga jam, bercampur resah, gelisah, dan ogah, lalu harus tampil selama 14 menit.
Tanpa skrip? Bisa hafal dari mana, Ozannn?! Hahaha.
Oke, sang Aktor sudah selesai latihan dan yakin sudah hafal.
Walaupun skrip tetap di tangan saat tampil.
Sekarang pukul 16.00.
Masalah belum berhenti.
Tempat acara masih dikunci, baru bisa dibuka pukul 17.00.
Artinya, hanya dua jam lebih untuk menata panggung, mengatur posisi sound dan proyektor yang baru datang pukul 18.00.
Padahal acara dimulai satu jam kemudian.
Saya masih sibuk mengatur setiap segmen stanza sesuai penampilan sang Aktor.
Rahasia kedua setelah si Ibu tidak hadir:
Jujur, saya belum terampil mengoperasikan pembacaan bait puisi yang panjang.
Saya biasa mengoperasikan suara pendek—sound effect atau ambience—bukan suara yang berlangsung 14 menit.
Saya pun makin resah.
Singkat cerita, detik-detik acara akan dimulai.
Sang Aktor mulai gelisah.
Tak seperti siang tadi, atmosfer sudah berubah.
Para tamu mulai berdatangan.
Nampaknya, acara ini bukan main-main.
Ia sibuk meminta saya menggelar gladi resik saat itu juga.
Bukannya saya tidak mau membantu, saya pun kelabakan.
Terhanyut dalam dekapan sahri—resah dan grogi.
Sampai detik itu, saya belum mahir mengoperasikan sound untuk acara puncak.
Sedikit ingin menenangkan sang Aktor, saya hanya memberikan briefing singkat (sudah briefing, singkat pula = intinya tidak jelas... hahaha).
Contohnya: saat mendengar suara gagak, sang Aktor harus melempar gelas ke arahnya.
Tapi saya lupa: suara gagak hanya akan keluar satu kali.
Ya, hanya satu kali.
Saat puisi akan berakhir, gagak muncul, gelas dilempar, gagak pun pergi.
Tak perlu ditebak, acara pasti molor.
Kini pukul 19.30.
Para tamu undangan sudah duduk manis.
Ternyata bukan hanya saya dan sang Aktor yang gelisah melebihi batas kuota maksimum.
Koko sang MC, di sela kesibukannya meminta susunan acara, sempat berkata:
“Sumpah, Ga, aku enggak mau ada di acara ini...”
Hahaha... atmosfer gokil sudah menyeruak ke semua orang yang ingin acara ini berjalan sesuai rencana.
Ada satu lagi: Pak Ketu.
Ia tidak terlihat stres.
Diam. Sunyi. Senyap.
MC sudah membawakan acara sekitar setengah jam.
Pak Ketu sudah menyampaikan artikel gokil-nya.
And here we go... acara puncak dimulai.
Lampu ruangan dimatikan.
Degup jantung saya mulai berdetak kencang.
Saya tak bisa membayangkan jantung sang Aktor.
Ia masuk ke panggung.
Saya memainkan musik pembuka.
Sang Aktor mulai berperan.
Belum sampai tiga menit, saya memainkan suara gagak keparat itu.
Bagaikan remote kontrol dan robot, saat suara gagak menyala, sang Aktor langsung melempar gelas ke arah gagak.
Padahal masih ada 10 menit lagi.
Gelas dilempar = gagak pergi.
HAHAHAHA... akhirnya saya menyalakan suara gagak lebih dari 10 kali.
Sang Aktor pun kebingungan.
Saya bisa melihat dari raut wajahnya.
Saya tak berani tertawa.
Jangankan tertawa, tersenyum pun tak boleh.
Itu kesepakatan saya dengan sang Aktor:
“Kalau kamu tertawa, aku sumpah, SUMPAH bakal tertawa!”
Suara semrawut entah ke mana.
Saya pun bingung mengoperasikannya.
Sang Aktor sudah muak dengan improvisasinya sendiri.
Saya sangat khawatir, kalau kehabisan akting, ia akan berjoget meniru Trio Macan.
Untungnya, ia tidak senekat itu.
Hanya saja, ia melakukan hal yang lebih nekad dan mengundang tawa saya terus-menerus.
Dengan posisi saya di samping panggung, ia lebih mudah berbisik:
"Aku harus bagaimana lagi, Ga...?"
Comments
Post a Comment