Tertimpa Durian: Sakit.

Wah, sudah lama saya tidak menulis lagi.
Sebenarnya tidak terlalu sibuk.
Terbukti, saya tidak pernah absen menuliskan status di Facebook.
Hanya saja, saya menunggu waktu seperti ini—saat hujan turun deras di luar, dan di dalam kosan ada yang sakit: saya sendiri.

Benar adanya saat orang mengatakan, jangankan untuk berpikir, untuk makan saja orang sakit begitu malas.
Lantas, apa yang saya kerjakan sekarang ini kalau bukan berpikir?

Bagi saya, menulis membuat suasana menjadi lebih rileks.
Pikiran tidak tegang, dan segala bentuk unek-unek tersalurkan.
Lega.

Hujan di luar masih deras.
Saya mencoba mengimbangi suara hujan dengan lantunan murotal Al-Ghomidi dari pemutar MP3.
Begitu nikmat suaranya.
Tangan saya tak henti-hentinya menyeka cairan yang terus mengalir dari lubang hidung.
Ah, bagaimana mungkin manusia seperti saya ingin berlaku sombong terhadap sesama—berlagak paling bisa, paling tahu, paling hebat?
Ingus saya sendiri saja tak bisa saya kendalikan.
Saya kewalahan.

Bak seorang pawang, lantunan murotal terus menjinakkan derasnya hujan di luar.
Mengapa saya terpikir untuk menyalakan murotal saat hujan deras?
Entahlah... mungkin karena saya sedang terkulai lemas.

Almarhum Zainudin MZ pernah mengatakan:
Orang yang putus cinta, mendengar lantunan kalam ilahi tidak akan bertambah sakit hatinya.
Orang yang sedang sakit gigi, mendengar bacaan Al-Qur’an tidak akan lantas marah karena merasa terganggu.
Saya suka Zainudin MZ.
Saya suka bagian itu.

Sekarang saya sedang sakit, dan terbukti:
Saya begitu nyaman mendengar ayat demi ayatnya.
Seolah diajak untuk melupakan sejenak urusan dunia.
Seperti kata stiker yang terpampang di cermin kosan teman:
“Daripada banyak pikir, mending banyak zikir.”

Hmmm... curhat, ya Kakak.

Sakit ini bermula saat saya disibukkan dengan hal-hal yang sebenarnya tidak membutuhkan banyak pikir.
Saya yakin, semua orang di sekitar saya pun mengalami kesulitan yang setimpal dengan kemampuannya.
Tapi mengapa saya payah?
Kalah dengan sesuatu yang bahkan belum menimpa saya.

Saya sibuk memikirkan UAS, tapi tidak mengerjakannya.
Saya cemas dengan penampilan saya malam Jumat nanti.
Saya kikuk dengan tesis yang jelas-jelas sudah didukung oleh semua dosen.
Dan yang paling menyita kapasitas pikiran saya adalah akhir Februari ini.
Tak disangka, saya mendapatkan durian runtuh yang luar biasa:
Saya terpilih menjadi salah satu keynote speaker dalam seminar nasional yang insya Allah akan diadakan oleh jurusan saya.

Saya pun bingung.
Di satu sisi, saya suka durian.
Di sisi lain, saya duka saat durian itu jatuh menimpa saya.

Apalagi sebenarnya yang saya pikirkan?
Toh semuanya sudah mendapatkan porsi yang pas untuk masing-masing.
Ini adalah nikmat dari Yang Maha Memberi Nikmat.

Apalagi sebenarnya yang saya takutkan?
Toh kini saya dikelilingi oleh orang-orang yang sangat mencintai dan menyayangi saya:

  • Orang tua yang tak henti-hentinya mendoakan yang terbaik untuk saya.
    Mereka adalah perisai dari segala hal buruk yang mungkin menimpa.
  • Sahabat-sahabat yang selalu menghibur.
    Dahulu, sebelum saya membulatkan niat untuk kuliah jenjang master (S2), ketakutan menyeruak.
    Mampukah saya kuliah S2?
    Bagaimana saya yang pemalas menghadapi seriusnya kuliah pascasarjana?
    Ternyata ketakutan itu berhenti di semester awal.
    Sahabat-sahabat saya yang menghilangkannya.
    Mereka sangat membantu.
    Mereka selalu mencairkan ketegangan.
  • Seseorang yang selalu mendukung saya.
    Kapan pun dan di mana pun, hampir semua bibit-bibit “barbar” saya, ia pahat menjadi sesuatu yang elok untuk dilihat, enak untuk didengar.
    Ia dengan senang hati mendengarkan celoteh saya.
    Dengan penuh canda, ia menjadi wadah ketidakjelasan saya.
    Singkat kata, ia mampu mengimbangi derasnya ketidakwarasan saya dengan tenangnya pengertian.

Ooohh... sungguh tidak ada cara menghitung nikmat yang berlimpah kecuali dengan mensyukurinya.
Saya bersyukur memiliki semua itu.
Semoga sakit ini menjadi teguran dari-Nya karena mungkin saya lalai dalam bersyukur.

Tepat saat saya menulis baris ini, hujan di luar sudah reda.
Murotal Al-Ghomidi masih terdengar.
Suasana semakin sejuk.


Comments