Mata-Mata Gadungan

Jogja sudah empat hari terakhir cerah.
Langit malam pun terlihat begitu indah.
Bukan hanya taburan bintang yang tak terhitung,
rembulan tergantung gagah meski ia terbelah.

Indah benar Jogja yang saya gambarkan.
Memang seperti itu.
Pagi-pagi betul, saya pastikan pagi ini pun matahari akan berani menyelinap ke tempat-tempat yang ia inginkan.
Terserah dia.
Ia ingin menyinari jendela si Fulan, atau mengintip dari genteng yang bolong, atau mungkin menularkan sedikit hangatnya kepada triliunan pakaian basah—biarkan saja.

Duhai mata dari tiap-tiap hari,
Engkau pasti sudah melihat aneka aktivitas selama berhari-hari.
Mungkin beribu, berjuta, bermiliar, atau bahkan bertriliun hari.
Saya yakin itu.
Engkau sudah menyaksikannya.
Matamu tidak karatan, apalagi buta.

Saya ingin bertanya:
Pernahkah engkau melihat satu hari di mana seseorang tersinari cahayamu, tetapi ia tetap gelap?
Pernahkah ada seseorang yang panas hatinya melebihi panas matamu?
Ataukah mungkin ada orang yang merasa dapat memberikan cahaya lebih besar daripada cahayamu?

Saya yakin pasti ada.
Ada yang tersinari cahayamu, tetapi tetap muram.
Ada yang panas hatinya melampaui panasmu.
Ada pula yang yakin dapat memberi cahaya kepada orang lain melebihi cahayamu.

Padahal, pikir saya, cahayamu adalah cahaya kesempurnaan—anugerah dari Yang Maha Sempurna, Allah Azza wa Jalla.
Jika ada orang-orang yang mengaku lebih sempurna dari cahayamu dan cahaya Tuhanmu, sirnakanlah. Musnahkan.

Orang yang sudah mendapatkan cahayamu, tetapi malah menurun cerah hidupnya, adalah orang yang tidak pandai bersyukur.
Bagaimana bisa engkau, yang sudah petantang-petenteng keluar dari kungkungan awan hitam, membuat hari terlihat bersih, cerah, dan penuh gairah, justru diperlakukan oleh orang yang menurun semangat hidupnya, memudar pancaran ghirahnya?
Sapu murungnya. Hanguskan muramnya.

Bagaimana mungkin ada orang yang hatinya panas melebihi panas matamu?
Orang seperti ini bukan hanya keterlaluan, tapi juga kurang ajar.
Hatinya selalu panas saat melihat orang lain memiliki kelebihan.
Hatinya panas saat merasa serba kekurangan.
Bukankah engkau tidak pernah murka dengan berbagai kondisi, duhai mata yang selalu menatap hari?

Engkau tidak lantas bergejolak saat melihat hujan lebat di ujung sana.
Engkau tidak ingin beradu badai atau menghilang.
Walaupun di sana hujan lebat, dengan matamu yang panas, kau ciptakan pelangi dengan berjuta keindahan.

Ajarkan mereka bagaimana mengelola panasnya hati.
Ajarkan, duhai mata dari tiap-tiap hari.
Ajarkan bagaimana jika di ujung sana terlihat kelebihan si Fulan, kau olah, kau racik, hingga menjadi sesuatu yang indah bagi dirimu.
Tolong... ajarkan mereka.

Ajarkan juga kepada orang-orang yang merasa dirinya mampu memberikan cahaya melebihi cahayamu.
Cahayamu adalah cahaya keikhlasan.
Engkau ikhlas cahayamu digunakan untuk berbagai lahan—industri, teknologi, bahkan seni.
Kau ikhlas dengan itu.
Saya yakin cahayamu sudah mendunia, sudah go international.

Lantas, bagaimana dengan orang yang merasa mampu memberi cahaya kepada orang lain, tetapi begitu sombong?
Sedikit pun tak terlihat gurat keikhlasan.
Bagaimana mungkin cahayanya, yang tak lebih dari sinar lentera, dapat mengalahkan teriknya cahayamu—matamu yang sudah melihat beribu pulau, berjuta tempat, bermiliar sudut?

Saya mohon, ajarkan mereka.

Mereka adalah mata-mata gadungan.


Comments