Sembilan Sembilan

Satu lagi catatan saya menginjak angka 100.
Tanpa disadari, suka duka, keluh kesah, resah, dan gelisah telah tertuang dalam catatan-catatan yang kadang tidak jelas dan tidak bertujuan.
Semuanya saya tulis karena memang ingin menulis.
Ini adalah catatan ke-99.
Mungkin tidak semua catatan saya bernarasi—menceritakan urutan kejadian, waktu, atau tokoh.
Dari 99 catatan, saya bisa pastikan kurang dari 10 di antaranya berisi lirik lagu atau kisah penuh hikmah hasil kopi-paste.

Angka 99 menurut saya unik.
Entah mengapa, bentuknya saja sudah menarik.
Mungkin karena angka ini adalah ujung dari rentetan dua digit, atau mungkin karena angka ini populer sebagai jumlah nama-nama baik bagi Sang Maha Baik, yang otomatis membuatnya terasa istimewa di kepala saya.
Entahlah... saya memang menyukai angka itu.
Bahkan sebelum kejadian yang membuat saya semakin kesengsem dengan angka ini.

Saya punya cerita istimewa di hari ke-9, bulan ke-9, tahun lalu.
Cerita yang menjadi asal muasal lahirnya catatan saya berjudul Proposal, yang saya posting tanggal 12, tepat tiga hari setelah tanggal 9 bulan 9 tahun 2011.

Tanggal 9 bulan 9 (9/9), saya bertemu dengannya.
Dia yang sudah hampir empat bulan saya kenal lewat jejaring sosial Facebook.
Judulnya saja Facebook—buku muka.
Jadi yang terpampang di buku itu ya mukanya, saja.

Namanya Nindia Arundia. Sunda banget, ya?
Kalau kalian memperhatikan sebagian nama Sunda, ciri yang paling mencolok adalah pengulangan suku kata: Lili Sutarli, Ajat Sudrajat, Ana Mulyana, Dadah Zubaedah, sampai Ice Juice.
Katanya, itulah ciri khas nama-nama orang Sunda.
Dan kini saya bertemu dengan Nindia Arundia.
Sudah bisa dipastikan: ini orang Sunda.

Pagi itu, 9/9 sekitar pukul 09.00, kami seharusnya bertemu di kampus tempat ia kuliah.
Setelah sebelumnya berkomunikasi via inbox Facebook dan terakhir lewat telepon.

“Apakah tidak keberatan kalau kita bertemu?” tanya saya.
“Biar tidak penasaran satu sama lain. Mungkin kamu penasaran siapa sebenarnya saya, karena saya begitu penasaran siapa sebenarnya kamu,” lanjut saya, agak aneh.
Di ujung telepon ia menjawab,
“Tak masalah. Kalau mau bertemu, datang saja ke rumahku.”

Apa?! Ke rumahnya?!
Saya belum pernah datang ke rumah perempuan dengan tujuan yang kurang jelas.
Menurut saya, kasus ini masih samar.
Saya siapa, dia siapa?
Dan di bayangan saya nanti akan ada seseorang yang bertanya:
“Siapa kamu dan mau apa datang ke rumahnya?”

Oh tidak.
Saya tidak akan berani datang ke rumahnya untuk pertemuan pertama.
Saya alihkan obrolan ke arah lain.
Sampai akhirnya saya kembali memastikan bahwa kami bisa bertemu.
“Memangnya kamu tidak ada acara keluar?”
“Ada. Saya ke kampus jam 9, mau ngurus berkas skripsi,” jawabnya.
“Oh, baiklah. Kita ketemu di kampus saja,” lanjut saya, sedikit lega.

Jam 9 saya berangkat ke kampusnya.
Saya menunggu di sana.
Saya merasa asing.
Waktu terus berjalan.
Begitu lama saya menunggu.
Saya kirim SMS, mengabari bahwa saya sudah di kampus dan bertanya posisi dia.
Jawabnya tenang:
“Saya masih di rumah, masih nyuci... sebentar lagi ke kampus.”

Sungguh T-E-R-L-A-L-U, hati saya berbisik.
Saya tancap gas motor ke tempat teman saya di daerah Pasar Garut.
Berniat menunggu di sana saja.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, saya kembali dikabari: dia sudah ada di kampus.

Setelah mengambil segenggam air untuk membasahi rambut saya yang selalu kering—biar kelihatan oke—saya langsung pamit dan kembali ke kampus.

Kurang dari 15 menit, saya sudah tiba kembali di kampus itu.
Kampus yang sudah saya sambangi bahkan sampai mengelilinginya hampir satu jam lebih.
Akhirnya kami bertemu di gerbang pintu masuk.

Sekilas, dia tampak seperti warga keturunan—maklum, matanya sipit dan kulitnya putih cerah.
Entah mungkin karena ia mengenakan jilbab putih.
Dia cantik.
Sedikit berbeda dengan foto muka yang terpampang di Facebook, menurut saya.

Kami berkenalan.
Ia menjulurkan tangan terlebih dahulu, kami bersalaman.
Saya begitu yakin, perempuan ini ceria dan ramai.
Tidak terlalu waspada untuk berkenalan dengan orang asing.
Mungkin menurutnya saya tidak asing—puluhan status Facebook saya ia like, belasan di antaranya ia komentari.
Saya adalah Yoga Sudarisman, teman dari salah satu temannya di kampus.
Saya mungkin bukan orang asing baginya.

Kami cukup lama berbincang.
Ternyata benar, dia ceria dan keturunan Tionghoa Garut.
Setelah ngobrol seputar kampus dan menguraikan sebagian isi Curriculum Vitae masing-masing, tak terasa waktu sudah mendekati Zuhur.
Kami harus mengakhiri percakapan karena saya harus pergi Jumatan.

Kami sudah berkenalan.
Ia tahu saya dan saya tahu dia—walaupun belum terlalu mendalam.
Tapi setidaknya, masing-masing dari kami tahu bahwa saya ganteng dan dia cantik.
Katanya saya ramah, menurut saya ia baik.
Katanya saya santun, menurut saya ia sopan.
Begitulah kalimat yang muncul beriringan setelah pertemuan pagi 9/9.

Entah apa yang terjadi setelah itu...
Hingga akhirnya saya menuliskan catatan sambungan dari ini, yang saya beri judul Proposal.

Jumat minggu kemarin, dan kebetulan tepat bertanggal 9, enam bulan sudah saya mengenalnya.
Dan dia pun sudah mengenal saya.
Menjalani proses yang lebih mendalam dari sebelumnya...
Kami menjalin sebuah ikatan.


Comments