Wanita di Senja Hari

Di catatan saya yang ke-100 ini, saya ingin keluar sejenak dari riuhnya pemberitaan media.
Baik itu tentang Pak Dahlan yang ‘heroik’ di gerbang tol Semanggi, kunjungan Ban Ki Moon ke Indonesia, para teroris yang kembali menghiasi layar berita, atau para calon Gubernur DKI yang mulai unjuk gigi dan tebar janji.
Ah, membosankan.
Bagi saya, itu sangat amat super membosankan.

Saya ingin bercerita tentang seorang wanita yang selalu saya banggakan.
Yang selalu saya syukuri kehadirannya, atas segala kebaikan dan pelajaran hidup yang ia berikan.
Wanita yang sudah terlatih mewarnai hari-harinya dengan keteguhan dan kelembutan.

Suatu sore dalam perjalanan menuju Jakarta, saya merasa senang karena kali ini saya ditemani oleh seorang wanita berjilbab, mengenakan baju bermotif bunga-bunga.
Bukan dia yang mendekati saya, tapi saya yang memilih mendekatinya.
Saat pertama kali naik bus, saya melihat bahwa bus tidak terlalu penuh.
Banyak kursi kosong, namun saya memilih duduk di dekat wanita itu.
Menurut saya, perjalanan lima jam ke depan akan lebih seru dan penuh cerita.

Dengan jilbab yang pantas dikenakan oleh wanita seusianya, ia tampak anggun dan santai duduk di dekat jendela.
Baju bermotif bunga-bunga mungkin tak lagi cocok di zaman sekarang, tapi menurut saya, itu sangat pas untuknya.
Wanita itu kira-kira berusia 60 tahun... atau lebih.

Ia bepergian ke Jakarta sendirian.
Mungkin ia sudah hafal seluk-beluk kota Jakarta, atau mungkin sudah lihai menggunakan ponsel.
Yang menarik perhatian saya adalah semangat dan keyakinannya menjalani aktivitas itu sendiri.
Perjalanan menuju Jakarta yang insya Allah akan tiba saat senja.

Berbicara dengan para manuja (manusia usia senja) adalah kesenangan tersendiri bagi saya.
Itu membuat saya tetap semangat memelihara keyakinan, gemar memupuk harapan, dan bersiap siaga menghadapi rintangan hidup.
Berbeda rasanya jika berbicara dengan orang sebaya atau yang seumuran.
Topik yang dibicarakan sering kali seputar cara mengalahkan satu sama lain, menjatuhkan sesama, pura-pura mendukung, atau mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya.
Entah mengapa, saya tidak berselera... atau mungkin belum berselera.

Singkat cerita, saya mulai mengajaknya berbicara.
Mulai dari kisah jalan Garut–Jakarta zaman dulu yang kini sudah berubah, hingga tujuan ia ke Jakarta: menjenguk anak cucunya yang sudah lama bermukim di ibu kota.
Baginya, bepergian jauh sendirian itu menyenangkan.
Ia berharap tetap kuat, mandiri, dan tidak menyusahkan orang lain meski di usia paling renta sekalipun.

Ia percaya bahwa senja hari membuat banyak orang khawatir akan keselamatan dirinya.
Bahwa di usia senja, seseorang cenderung membutuhkan bantuan melebihi batas normal.
Tapi ia sangat siap.
Saya salut sekali.
Semoga saja ia tidak takut dengan seorang pemuda yang tiba-tiba bertanya layaknya wartawan.

Dengan mereka, saya merasa bisa tahu banyak hal tentang dunia ini.
Layaknya Google yang menyajikan berbagai informasi, mereka pun punya cerita yang sangat beragam.

Cerita lainnya, saya pernah mendengarkan kisah hidup seorang nenek yang jaya di masa mudanya.
Bukan dia yang mencari beasiswa, tapi beasiswa yang datang mencarinya.
Benar kata Bung Rhoma, masa muda adalah masa berapi-api.
Ia pun pernah dengan semangat melakukan ‘tikam-menikam’ demi berbagai kepentingan.
Gelar tertinggi sudah ia raih, wawasan keilmuan melebihi para manuja seusianya.
Ia begitu cemerlang.

Namun pada akhirnya, ia belum sanggup memahami arti hidup ini—arti tanggung jawab akan hidup.
Memang hidupnya adalah miliknya, dan hidup saya adalah milik saya.
Kurang ajar rasanya jika saya mencampuri urusan hidupnya.
Tapi menurut saya, hidup adalah tanggung jawab.

Seperti halnya setelah sebuah acara besar, tentu ada laporan pertanggungjawaban kepada pihak tertentu.
Atau saat seorang pemimpin selesai menjabat, pasti ada laporan kepada pihak yang lebih tinggi.
Begitulah hidup.
Akan tiba saatnya acara ini usai.
Pasti datang masanya jabatan berakhir, dan wajib hukumnya menyerahkan segala bentuk pertanggungjawaban kepada Yang Maha Tinggi.

Nenek itu ragu, bimbang saat senja berakhir.
Saat teman-temannya sudah melewati masa itu, ia bertanya-tanya:
Akan ada apa lagi setelah senja berakhir?
Mungkin ia berharap akan tiba masa pagi lagi.
Tapi apakah masih sama dengan pagi yang biasa ia lewati?
Apakah urusan kemarin sudah selesai?
Kalau belum, apakah akan diselesaikan di pagi itu?

Saya bisa mendengarkan kebimbangan hatinya, merasakan keraguan nuraninya.
Saya tidak bisa berbuat banyak saat mendengar kisah hidupnya.
Saya hanya menyemangatinya:
Bahwa setiap laporan pertanggungjawaban pasti ada revisi, sampai akhirnya diterima.
Hanya saja, kita tidak tahu apakah revisi di sini sama dengan revisi di sana...
Hufft.
Semoga cerita ini mudah dipahami.

Ah, beralih ke wanita selanjutnya.
Inilah wanita jagoan saya.
Menurut saya, tidak ada kisah yang semenarik kisah nenek saya.
Saya biasa memanggilnya si Emak.

Emak hobi membaca.
Jangankan bungkus gorengan yang penuh tulisan, koran sobek di jalan pun ia pungut dan dibaca.
Tak heran, setiap selesai salat, ia membaca Al-Qur’an lengkap dengan terjemahannya.
Beliau sangat pintar.
Mungkin karena tuntutan sebagai aktivis keagamaan.

Ia sangat mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Setidaknya itu yang saya dengar saat saya bercerita tentang kejelekan orang-orang.
Ia hanya berucap, “Ya sudah, lupakan…”

Saat Emak masih ada, kapan pun saya pulang dari Jakarta, saya selalu bercerita dengannya.
Tentang masa depan, masa lalu, tentang agama, tentang kesibukan saya, bahkan tentang jalinan kasih saya dengan para Hawa.
Emak mendengarkan dan memberikan nasihat yang sarat hikmah.

Di depan tungku perapian, kami biasa bercerita.
Perapian yang selalu menyala, meski tak ada yang penting untuk dimasak.
Memang hobinya duduk di depan perapian.

Saya pernah berdiskusi dengannya tentang pentingnya hidup berjamaah.
Menurut saya, hidup itu sendirian saja.
Kita lahir sendiri, dan perjalanan hidup pun harus dijalani sendiri.

Emak tidak setuju.
Dengan mengutip berbagai dalil, ia berkata:
“Hidup akan jauh lebih indah kalau berjamaah.
Bahkan kelak, setelah senja usai, manusia akan dikumpulkan berdasarkan jamaah masing-masing.
Masa kamu akan sendirian saat semua punya kelompoknya masing-masing?
Kalau itu terjadi, mungkin itu saat yang paling menyedihkan.”

Fyuuh... banyak sekali kisah dengannya.
Satu hal yang saya perhatikan:
Ia jarang sekali tertinggal waktu salat.
Setiap azan berkumandang, ia langsung mengambil air wudhu.
Mungkin menurutnya, tak ada yang tahu kapan hidup akan berakhir.

Dan benar saja.
Di usianya yang mendekati 70 tahun, saat azan senja berkumandang, Emak seperti biasa sudah mengambil air wudhu untuk salat Magrib.
Raganya roboh seketika, setelah menutup gorden rumah.
Tak dinyana, masa hidupnya usai juga.
Masa senjanya terlewati tanpa banyak menyusahkan orang di sekitarnya.

Mengenang empat tahun kepergian Emak, Maret 2008.


Comments