Wanita di Senja Hari

Di catatanku yang ke-100 ini, aku ingin keluar sejenak dari ramainya pemberitaan media. Baik itu pak Dahlan yang ‘heroik’ di gerbang tol Semanggi, atau kunjungan Ban Ki Moon ke Indonesia, atau para teroris yang kembali hadir di ranah media, atau mungkin juga para calon Gubernur DKI yang mulai unjuk gigi, tebar janji. Ah bosen. Bagiku itu sangat amat super membosankan. Aku ingin bercerita tentang wanita yang selalu aku banggakan. Yang selalu aku berterima kasih atasnya, untuk segala kebaikan dan pelajaranya. Wanita yang sudah terlatih mewarnai hari-harinya…
                                                                    ***

Suatu sore dalam perjalananku menuju Jakarta, aku senang karena perjalananku kali ini ditemani seorang wanita berjilbab dengan memakai baju motif bunga-bunga. Bukan dia yang mendekati aku, tapi aku yang mendekatinya. Saat pertama aku naik bus, terlihat bus memang tidak sesak penumpang. Lantas aku melihat wanita itu. Banyak kursi kosong sebetulnya, tapi aku memilih duduk dekat wanita itu. Menurutku, perjalanan 5 jam ke depan akan lebih seru dan penuh cerita. Dengan memakai jilbab yang memang pantas dipakai oleh seorang wanita seumurannya, dia begitu anggun dan juga santai duduk di dekat jendela bus. Baju motif bunga-bunga pun kiranya tak akan cocok di zaman kekinian. Tapi menurutku itu sangat pas untuknya. Wanita itu kira-kira berusia 60 tahunan…atau lebih.

Ia ke Jakarta sendirian. Mungkin ia sudah hafal kota Jakarta atau mungkin ia sudah lihai bermain handphone. Lebih dari itu yang menarik perhatianku, ia tetap semangat dan yakin melakukan aktivitas itu sendirian. Bepergian ke Jakarta yang insya Allah akan sampai di sana waktu senja. Berbicara dengan para manuja (manusia usia senja) adalah kesenangan tersendiri bagiku. Itu membuatku tetap semangat memelihara keyakinan, gemar memupuk semangat dan bersiap siaga dengan halangan rintangan dalam menjalani hidup. Lain halnya kalau berbicara dengan sebaya, atau mungkin separu baya atau kira-kira seumuran segitu, topik yang dibicarakan pasti sekitar bagaimana cara mengalahkan satu sama lain, menjatuhkan sesama, pura-pura mendukung atau menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Entah mengapa, aku tidak berselera...atau mungkin belum berselera :’(

Singkat cerita, aku sudah mengajaknya berbicara. Mulai dari kisah jalan Garut-Jakarta zaman dulu yang kini sudah berubah. Bercerita tentang daerah-daerah yang terlewati, sampai tujuan ia ke Jakarta yang berniat menjenguk anak cucunya yang sudah lama bermukim di ibukota. Baginya, bepergian jauh sendiri itu sangat menyenangkan, ia berharap akan tetap kuat, mandiri dan tidak menyusahkan orang lain ketika ia berada di usia paling renta sekalipun. Ternyata ia percaya senja hari akan membuat kebanyakan orang khawatir akan keselamatan dirinya. Orang akan membutuhkan bantuan dari orang lain melebihi batas normal (baca: menyusahkan). Ahhhh…dia sangat well-prepared ternyata, aku salut sekali. Semoga saja ia tidak takut dengan seorang pemuda yang ujug-ujug bertanya layaknya wartawan

Dengan mereka, aku akan tahu segala hal tentang dunia ini. Layaknya Google yang menyajikan berbagai informasi, mereka pun sama mempunyai cerita yang sangat beragam. Cerita lainnya, pernah aku mendengarkan kisah hidup seorang nenek yang jaya ketika masa mudanya, bukan dirinya yang mencari beasiswa pendidikan, tapi beasiswa yang mencari dirinya, banyak sekali beasiswa yang mampir di hidupnya. Benar kata bung Rhoma, masa muda adalah masa berapi-api, ia pun pernah dengan bersemangat melakukan ‘tikam-menikam’ untuk berbagai kepentingan. Gelar tertinggi ia sudah raih, wawasan keilmuan sudah melebihi para manuja seusianya, ia begitu cemerlang.

Namun pada akhirnya ia belum sanggup memahami arti hidup ini, arti tanggung jawab akan hidup. Memang hidupnya adalah miliknya dan hidupku adalah milikku. Kurang ajar sekali kalau aku mencampuri urusan hidupnya. Tapi bagaimana pun juga menurutku hidup adalah tanggung jawab. Seperti halnya usai melakukan acara besar, tentu ada laporan pertanggung jawaban bagi pihak tertentu, ataupun ketika seorang pemimpin usai menjabat, pasti ada laporan pertanggung jawaban ke pihak yang lebih tinggi. Seperti itulah hidup. Akan tiba saatnya acara ini usai. Pasti datang masanya jabatan berakhir, dan wajib hukumnya menyerahkan segala bentuk pertanggung jawaban pada pihak yang jauh lebih tinggi.

Nenek itu ragu, bimbang ketika waktu senja berakhir, ketika teman-temannya sudah melewati masa itu, akan ada apalagi selepas masa senja berakhir?. Mungkin ia sempat berpikir akan tiba masa pagi lagi. Tapi apakah masih sama dengan pagi yang biasa dilewatinya? apakah urusan di hari kemarin sudah selesai? Ataukah belum selesai? Kalau belum selesai berarti akan diselesaikan di pagi hari itu? Aku bisa mendengarkan kebimbangan hatinya, merasakan keraguan nuraninya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika mendengar kisah hidupnya. Aku hanya tetap menyemangatinya dengan setiap laporan pertanggung jawaban tentu ada revisi sampai akhirnya diterima. Hanya saja kita tidak tahu apakah revisi di sini sama dengan revisi di sana…hufft, semoga cerita ini mudah dipahami.

Ahhh beralih ke wanita selanjutnya. Inilah wanita jagoanku. Menurutku tidak ada kisah yang semenarik dari kisah nenekku. Aku biasa memanggilnya si Emak. Emakku hobi membaca. Jangankan bungkus gorengan yang banyak sekali rangkaian hurufnya, koran sobek kotor di jalanan pun ia pungut, ia membacanya. Tak heran setiap beres salat ia membaca Qur’an lengkap dengan terjemahannya. Beliau sangat pintar. Mungkin itu tuntutan karena si emak seorang aktivis keagamaan. Ia sangat mudah sekali memaafkan kesalahan orang lain. Setidaknya itulah yang kudengar saat aku bercerita tentang kejelekan orang-orang, ia hanya berucap: ‘ya sudah lupakan…’

Ketika si Emak masih ada, kapan pun aku pulang dari Jakarta, aku selalu bercerita dengannya. Tentang masa depan, masa lalu, tentang agama, tentang kesibukanku, bahkan sampai jalinan kasihku dengan para Hawa, aku ceritakan. Si Emak mendengarkan dan memberikan nasihat-nasihat yang sarat akan hikmah. Di depan tungku perapian itu kita biasanya bercerita. Perapian yang selalu menyala sekali pun tidak ada yang penting untuk dimasak. Memang hobinya duduk di depan perapian. Aku pernah berdiskusi tentang pentingnya hidup berjama’ah. Menurutku hidup itu sendirian saja, kita lahir sendiri, dan perjalanan hidup pun harus dilakukan sendiri. Si Emak tidak setuju, dengan mengeluarkan berbagai dalil, aku masih ingat, hidup itu akan jauh lebih indah kalau berjamaah. Bahkan sampai kelak di hari setelah senja usai, manusia akan dikumpulkan berdasarkan jamaah (kelompok) masing-masing. ‘Masa kamu akan sendirian di saat semua punya kelompoknya masing-masing? kalau itu terjadi, mungkin itu saat yang paling menyedihkan’ si Emak bertutur.

Fyuuh…banyak lagi kisah dengannya. Satu yang aku perhatikan, ia jarang sekali sedetik pun tertinggalkan oleh waktu salat. Setiap azan berkumandang, ia langsung mengambil air wudhu. Mungkin menurutnya tidak akan ada yang tahu kapan hidup akan berakhir. Dan benar saja, di usianya yang mendekati 70 tahun, di hari saat azan senja berkumandang, si Emak pun seperti biasa sudah mengambil air wudhu untuk salat Magrib. Raganya roboh seketika, setelah dirinya menutup gordin rumahnya. Tak dinyana, masa hidupnya usai juga, masa senjanya terlewati tanpa banyak menyusahkan orang di sekitarnya. 

                                                                         -Mengenang 4 tahun kepergian Emak, Maret 2008-

0 comments:

Post a Comment

Back to top