Asmarandana

Eling-eling mangka eling
Rumingkang di bumi alam
Darma wawayangan bae
Raga taya pangawasa
Lamun kasasar lampah
Nafsu nu matak kaduhung
Badan anu katempuhan

Kalimat di atas adalah penggalan pupuh Asmarandana.
Pupuh adalah bentuk puisi tradisional Sunda yang memiliki aturan metrum dan makna tertentu.
Jenisnya pun beragam, ada sekitar 17 macam pupuh dengan nama dan ciri khas masing-masing.
Misalnya, pupuh Kinanti yang berisi impian dan harapan, atau pupuh Gambuh yang menggambarkan kebingungan dan suasana hati yang samar.
Sedangkan pupuh Asmarandana, seperti yang saya kutip di atas, mengangkat tema kasih sayang, saling mengasihi, dan saling mengingatkan.

Cukup berwawasan, ya, pembukaan catatan ini. Hahay.
Pupuh jugalah yang membuka alur cerita saya hari itu—satu hari bersama seseorang yang sangat spesial.
Seseorang yang tindak-tanduknya diam-diam menjadi perhatian saya.
Memang saya belum bisa memperhatikan semua aktivitasnya di luar sana, tapi bahkan lewat Facebook pun tak jadi soal.
Saya mengikuti hampir semua aktivitasnya di dunia maya.
Lebih dari itu, dialah yang sering saya hadirkan dalam doa-doa tentang masa depan.
Tak ada yang lain. Witwiw!

Malam itu, saya masih bingung menyusun agenda untuk esok pagi.
Satu agenda yang saya buat dengannya: jalan-jalan.
Bagi saya, mengajak seseorang jalan bukan hal sulit.
Itulah sebabnya saya membuat janji yang mudah ditepati.
Justru yang membuat saya bingung adalah isi acaranya: mau ke mana, ngapain, dan apakah akan berkesan.
Memang terdengar formal, tapi untuk pasangan yang jarang bertemu seperti kami, membuat momen berkesan bukan hal sepele.
Saya menginginkan itu—acara yang lebih berkesan dari yang lain.

Kami janjian pukul 09.00 pagi.
Seperti biasa, saya terlambat.
Jam sembilan saya masih di rumah dan belum mandi.
Tapi rencana jalan-jalan sudah tergambar jelas di kepala.
Saya pun bergegas menuju tempatnya bekerja, karena kami janjian di sana.

Sekitar pukul 09.30 saya sudah berada di depan sekolah bercat merah hati.
Saya tidak mengerti mengapa sekolah SMP dicat merah.
Kini saya berdiri di seberang jalan, di depan supermarket.
Saya kirimkan SMS, mengabarkan bahwa saya sudah tiba.

Tak lama, dia keluar dari gerbang sekolah.
Wajahnya putih berseri, mudah dikenali.
Mungkin inilah sebabnya hampir semua iklan kecantikan menonjolkan kulit putih.
Ternyata standar kecantikan di Indonesia masih begitu: putih itu cantik.
Yang tidak putih? Tidak cantik. Diskriminatif sekali.

Dia menoleh ke kiri dan kanan, lalu sekilas melihat ke arah saya.
Saya pun mengangkat tangan, memberi isyarat: “Hei, saya di sini!”
Saya mendekatinya.
Wajahnya serius—seperti biasa.
Kami pun pergi dari SMP itu.

Di awal perjalanan, dia meminta mampir sebentar ke alun-alun Garut untuk menyerahkan berkas kepada temannya.
SMP-nya sedang mengikuti lomba pupuh antar sekolah.
Topik itu pun langsung jadi bahan obrolan kami: tebak-tebakan nama pupuh, ciri-cirinya, dan sebagainya.
Setidaknya, saya berhasil membuat wajahnya yang serius berubah menjadi lebih santai.

Kembali ke rencana kami.
Walaupun dia belum tahu pasti rute perjalanan yang saya buat, yang jelas pagi itu kami akan menempuh perjalanan cukup jauh.
Petualangan pun dimulai.
Saya sudah siapkan jaket untuknya, karena saya yakin dia tidak membawa jaket dari rumah.
Jaket “berpangkat” yang saya bawa kini sudah dipakainya.
Dia terlihat sangat menarik.
Tapi saya hanya diam—tidak memuji, tidak mengomentari.
Seolah cuek.

Saya ajak motor membelah jalanan menuju barat daya kota Garut, ke arah Samarang.
Dia duduk tepat di belakang saya.
Saya terdiam sejenak, berpikir membuka obrolan yang ringan.
Akhirnya, semua hal yang kami lewati tanpa kesepakatan pun jadi bahan pembicaraan.
Seperti mengapa kami selalu berada di belakang bus berbahan bakar batu bara—asap hitam pekat menjadi teman perjalanan.
Tapi suasana tetap hangat.

Kami tiba di tujuan: BRI, Bukit Rejeng Indah.
Ini bukan kali pertama saya ke sana.
Kolam renang belerang menjadi daya tarik tersendiri.
Tentu kami ke sana bukan untuk berenang.
Di atas bukit terdapat saung-saung dengan panorama perkebunan.
Di sanalah kami melepas penat, mengobrol santai, bermain hal-hal remeh yang ternyata bisa membuat kami lebih jernih dalam berpikir dan bersikap.

Dan tentu saja, acara paling penting: makan siang.
Saya membawa nasi dan lauk untuk dua orang, dibungkus dalam tempat plastik beralas daun pisang.
Dia tertawa lepas saat saya mengeluarkan bekal dari tas.
Saya tak menghiraukannya.
Langsung saya ajak menyantap nasi yang sudah dihidangkan.
Kami mengobrol ngalor-ngidul, diselingi candaan yang wajib hadir saat bersama saya.
Indah sekali suasana saat itu.

Subhanallah, dia cantik, Tuhan.
Tapi saya tak akan pernah mengatakan itu padanya—karena itu bukan urusan saya.
Kalaupun dia tidak cantik, saya juga tak akan bilang.
Itu pun bukan urusan saya.
Saya tidak pernah, dan tidak akan mencampuri urusan dia dan kosmetiknya.
Yang saya perhatikan adalah bagaimana dia bisa berbeda dari perempuan lain setelah berinteraksi dengan saya—dalam perilaku, ucapan, dan cara berpikir.
Seperti halnya dia yang ternyata juga telah mengubah saya.
Soal rias-merias, menurut saya semua perempuan sama saja.

Acara makan-makan diselingi tawa dan obrolan pun selesai.
Kini saatnya pulang, menyusuri rute yang tak biasa.
Sungguh tak biasa.
Kami melewati perkampungan dan perkebunan jagung hingga akhirnya muncul di lapangan golf Garut.
Itulah penutup dari perjalanan hari itu.

Semoga perjalanan ini dan catatan ini seperti pupuh Asmarandana—yang mengingatkan kami untuk tetap hati-hati dalam melangkah.
Hubungan yang penuh kasih, rawan sayang, dan saling mengingatkan satu sama lain akan menjadi titik perubahan ke arah yang lebih baik.
Insya Allah.

Bagi saya, ini sangat menyenangkan.
Penyegaran yang luar biasa.
Semoga dia pun merasakan hal yang sama—bahwa seharian itu, dia bersama seseorang yang tak biasa.

Tiga bulan setelah catatan ini ditulis, kami tidak pernah berkomunikasi lagi.
Sampai kapan pun.

Terima kasih, Nindia.