Asmarandana
September 10, 2012
Posted by
yogaptek
| Waktu baca:
Eling eling mangka eling
rumingkang di bumi alam
darma wawayangan bae
raga taya pangawasa
lamun kasasar lampah
nafsu nu matak kaduhung
badan anu katempuhan
Kalimat di atas adalah penggalan pupuh Asmarandana. Pupuh adalah bentuk puisi tradisional Sunda yang mempunyai hmmm bla-bla-bla...(lupa lagi), penggalan di atas pun saya dapat dari copy paste. Macamnya pun banyak sekali, ada sekitar 17 macam pupuh dengan nama yang berbeda-beda, dan dengan ciri yang berbeda pula. Ada pupuh Kinanti, cirinya berisikan impian, keinginan, harapan. Pupuh Gambuh berisikan kebingungan, samar-samar, dst. dan masih banyak lagi. Yang saya copy di atas, adalah pupuh Asmaranda yang berisikan tema saling mengasihi, saling menyayangi ataupun saling mengingatkan.
Hmmm cukup berwawasan yak pembukaan pada note ini, hahay. Pupuh jugalah yang akan membuka alur cerita saya pada hari itu. Satu hari dengan seseorang yang sangat spesial, seseorang yang segala tindak-tanduknya menjadi perhatian saya ternyata. Memang belum bisa saya perhatikan semua aktivitasnya di luar sana. Namun dalam Facebook pun tak jadi masalah. Saya perhatikan hampir semua aktivitas jaringan sosialnya, walaupun dalam versi maya. Lebih dari itu, dialah yang sering saya hadirkan dalam impian kehidupan masa depan via doa-doa yang saya bisikkan kepada-Nya. Tak ada yang lain. Witwiw!!
Malam itu, saya masih kebingungan dengan susunan acara untuk besok pagi. Satu acara dari agenda yang saya buat dengannya. Acara jalan-jalan. Bagi saya, mengajak jalan seseorang bukanlah hal yang sulit, itulah sebabnya saya membuat agenda (baca: janji) yang mudah untuk dilakukan dan saya sendiri mampu untuk menepatinya. Justru yang membuat saya kebingungan adalah susunan acara di dalamnya. Acaranya apa, di mana tempatnya, bermanfaat atau tidak. Memang terkesan formal, tapi itulah… untuk pasangan yang jarang ketemu seperti kami, bukan hal yang mudah untuk membuat acara menjadi lebih berkesan. Saya menginginkan itu. Ingin acara dengannya jauh lebih berkesan dari acara apapun.
Ketemuan jam 9 pagi. Seperti biasanya, saya terlambat. Jam 9 saya masih di rumah dan tentunya belum mandi, tapi acara jalan-jalannya sudah tergambar di sini, nih: di kepala ini. Saya pun bergegas menuju tempatnya bekerja, karena kami janjian di sana. Sekitar jam setengah 10 saya sudah berada di depan sekolah bercat merah hati, saya tak mengerti mengapa sekolah SMP catnya merah. Kini saya berdiri di seberang jalan, depan supermarket. Pesan SMS pun saya kirimkan. Mengabarkan saya sudah di depan sekolah. Tak lama, dia pun keluar dari gerbang sekolah. Wajahnya yang putih berseri membuat mudah untuk dikenali. Oh mungkin itulah sebabnya mengapa hampir semua iklan produk kecantikan bertujuan agar semua pemakainya berkulit putih. Ternyata standar kecantikan di Indonesia adalah wanita berkulit putih…yang tidak putih, tidak cantik, begitulah kesimpulannya mungkin. Diskriminatif syekalih.
Dia larak-lirik kiri kanan. Sekilas melihat ke arah sini, saya pun balas mengacungkan tangan, pertanda Hei saya disini!. Saya langsung mendekatinya. Mukanya serius, dan dia memang selalu serius. Kami pun pergi dari SD itu, eh maksud saya SMP. Di awal perjalanan, dia meminta untuk mampir sebentar ke alun-alun Garut menyerahkan berkas kepada temannya. SMPnya sedang ikut perlombaan pupuh antar tingkat SMP. Tak ayal itu pun langsung dijadikan topik pembicaraan kami. Tebak-tebakan nama pupuh, ciri-cirinya dan yang lainnya. Setidaknya saya sudah membuat wajahnya yang serius, berubah berangsur menjadi santai.
Kembali ke rencana kami. Walaupun dia belum sepenuhnya mengetahui arah pasti rute perjalanan yang saya buat. Tapi yang jelas, perjalanan pagi ini akan lumayan jauh. Dan petualangan pun akan segera dimulai. Saya siapkan jaket untuknya, karena saya berpikir dia tidak akan membawa jaket ke sekolah. Jaket berpangkat yang saya bawa sudah dipakainya. Sungguh dia terlihat sangat menarik. Tapi saya hanya diam, tak memuji, tak mengoreksi. Seolah cuek.
Saya ajak motor membelah jalanan menuju barat daya kota Garut, Samarang. Kini dia berada tepat di belakang saya. Saya pun terdiam sejenak, berpikir untuk membuka pembicaraan yang santai, sangat santai. Akhirnya semua hal yang kami lewati, tanpa kesepakatan diangkat menjadi topik pembicaraan. Seperti halnya mengapa nasib kami selalu berada di belakang bis berbahan bakar batu bara, asap hitam pekat menjadi teman dekat, dan suasana perjalanan pun penuh cerita hangat.
Kami pun sampai di tempat tujuan, di BRI, Bukit Rejeng Indah. Ini bukan kali pertama saya ke sana. Kolam renang belerang menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Tentu kami kesana bukan untuk berenang. Di sana terdapat saung-saung yang berada di atas bukit. Panorama perkebunan dapat terlihat dari saung-saung tersebut. Di sanalah kami akan melepas penat, mengobrol yang tak jelas, bermain hal-hal yang sebenarnya remeh namun kalau dipikir 2 atau 3 kali, interaksi kata-kata itu dapat membuat kami lebih cemerlang dalam berpikir dan bersikap.
Dan tentunya acara paling penting adalah menghajar makanan yang sudah saya bawa dari rumah. Yaa, saya membawa nasi dan lauk untuk dua orang ke dalam tempat makanan plastik dengan daun pisang sebagai alasnya. Seketika dia tertawa lepas setelah nasi yang saya bawa dikeluarkan dari tas. Ah, saya tak menghiraukan tawanya. Langsung saja saya ajak menghabisi nasi yang sudah dihidangkan di atas daun. Kami pun mengobrol ngalor-ngidul tak tentu topik diselingi candaan yang wajib hadir saat bercengkrama dengan saya tentunya. Indah sekali suasana saat itu.
Subhanallah, dia cantik, Tuhan. Saya tak akan berani mengatakan kepadanya. Karena itu bukan urusan saya. Dan kalaupun dia jelek, saya juga tak akan berani mengatakannya, sama, itu bukan urusan saya. Tak pernah dan tak akan pernah saya mencampuri urusan dia dan peralatan kosmetiknya. Itu urusan dia. Tapi yang sangat saya perhatikan adalah bagaimana agar dia berbeda dari perempuan-perempuan lainnya setelah berinteraksi dengan saya, baik dalam berprilaku, berucap, dan berpikir, seperti halnya saya. Dia pun telah merubah saya ternyata. Kalau urusan rias merias, menurut saya semua perempuan sama saja.
Acara makan-makan diselingi canda tawa dan ngobrol sana-sini pun sudah selesai. Kini saatnya pulang dengan menyusuri rute yang tak biasa. Sungguh tak biasa. Menyusuri perkampungan dan perkebunan jagung hingga akhirnya muncul di lapangan golf Garut adalah acara pamungkas dari acara jalan-jalan tersebut. Semoga perjalanan itu dan catatan ini seperti pupuh Asmarandana yang dapat mengingatkan kami untuk tetap hati-hati dalam melangkah. Hubungan yang penuh kasih dan rawan sayang, serta saling mengingatkan satu sama lain tentu akan menjadi titik perubahan ke arah yang lebih baik. Insya Allah.
Bagi saya itu sangat menyenangkan, refreshing yang sungguh luar biasa. Semoga dia pun sama, merasakan dan menyadari bahwasannya seharian dia bersama orang yang tak biasa.
rumingkang di bumi alam
darma wawayangan bae
raga taya pangawasa
lamun kasasar lampah
nafsu nu matak kaduhung
badan anu katempuhan
Kalimat di atas adalah penggalan pupuh Asmarandana. Pupuh adalah bentuk puisi tradisional Sunda yang mempunyai hmmm bla-bla-bla...(lupa lagi), penggalan di atas pun saya dapat dari copy paste. Macamnya pun banyak sekali, ada sekitar 17 macam pupuh dengan nama yang berbeda-beda, dan dengan ciri yang berbeda pula. Ada pupuh Kinanti, cirinya berisikan impian, keinginan, harapan. Pupuh Gambuh berisikan kebingungan, samar-samar, dst. dan masih banyak lagi. Yang saya copy di atas, adalah pupuh Asmaranda yang berisikan tema saling mengasihi, saling menyayangi ataupun saling mengingatkan.
Hmmm cukup berwawasan yak pembukaan pada note ini, hahay. Pupuh jugalah yang akan membuka alur cerita saya pada hari itu. Satu hari dengan seseorang yang sangat spesial, seseorang yang segala tindak-tanduknya menjadi perhatian saya ternyata. Memang belum bisa saya perhatikan semua aktivitasnya di luar sana. Namun dalam Facebook pun tak jadi masalah. Saya perhatikan hampir semua aktivitas jaringan sosialnya, walaupun dalam versi maya. Lebih dari itu, dialah yang sering saya hadirkan dalam impian kehidupan masa depan via doa-doa yang saya bisikkan kepada-Nya. Tak ada yang lain. Witwiw!!
Malam itu, saya masih kebingungan dengan susunan acara untuk besok pagi. Satu acara dari agenda yang saya buat dengannya. Acara jalan-jalan. Bagi saya, mengajak jalan seseorang bukanlah hal yang sulit, itulah sebabnya saya membuat agenda (baca: janji) yang mudah untuk dilakukan dan saya sendiri mampu untuk menepatinya. Justru yang membuat saya kebingungan adalah susunan acara di dalamnya. Acaranya apa, di mana tempatnya, bermanfaat atau tidak. Memang terkesan formal, tapi itulah… untuk pasangan yang jarang ketemu seperti kami, bukan hal yang mudah untuk membuat acara menjadi lebih berkesan. Saya menginginkan itu. Ingin acara dengannya jauh lebih berkesan dari acara apapun.
Ketemuan jam 9 pagi. Seperti biasanya, saya terlambat. Jam 9 saya masih di rumah dan tentunya belum mandi, tapi acara jalan-jalannya sudah tergambar di sini, nih: di kepala ini. Saya pun bergegas menuju tempatnya bekerja, karena kami janjian di sana. Sekitar jam setengah 10 saya sudah berada di depan sekolah bercat merah hati, saya tak mengerti mengapa sekolah SMP catnya merah. Kini saya berdiri di seberang jalan, depan supermarket. Pesan SMS pun saya kirimkan. Mengabarkan saya sudah di depan sekolah. Tak lama, dia pun keluar dari gerbang sekolah. Wajahnya yang putih berseri membuat mudah untuk dikenali. Oh mungkin itulah sebabnya mengapa hampir semua iklan produk kecantikan bertujuan agar semua pemakainya berkulit putih. Ternyata standar kecantikan di Indonesia adalah wanita berkulit putih…yang tidak putih, tidak cantik, begitulah kesimpulannya mungkin. Diskriminatif syekalih.
Dia larak-lirik kiri kanan. Sekilas melihat ke arah sini, saya pun balas mengacungkan tangan, pertanda Hei saya disini!. Saya langsung mendekatinya. Mukanya serius, dan dia memang selalu serius. Kami pun pergi dari SD itu, eh maksud saya SMP. Di awal perjalanan, dia meminta untuk mampir sebentar ke alun-alun Garut menyerahkan berkas kepada temannya. SMPnya sedang ikut perlombaan pupuh antar tingkat SMP. Tak ayal itu pun langsung dijadikan topik pembicaraan kami. Tebak-tebakan nama pupuh, ciri-cirinya dan yang lainnya. Setidaknya saya sudah membuat wajahnya yang serius, berubah berangsur menjadi santai.
Kembali ke rencana kami. Walaupun dia belum sepenuhnya mengetahui arah pasti rute perjalanan yang saya buat. Tapi yang jelas, perjalanan pagi ini akan lumayan jauh. Dan petualangan pun akan segera dimulai. Saya siapkan jaket untuknya, karena saya berpikir dia tidak akan membawa jaket ke sekolah. Jaket berpangkat yang saya bawa sudah dipakainya. Sungguh dia terlihat sangat menarik. Tapi saya hanya diam, tak memuji, tak mengoreksi. Seolah cuek.
Saya ajak motor membelah jalanan menuju barat daya kota Garut, Samarang. Kini dia berada tepat di belakang saya. Saya pun terdiam sejenak, berpikir untuk membuka pembicaraan yang santai, sangat santai. Akhirnya semua hal yang kami lewati, tanpa kesepakatan diangkat menjadi topik pembicaraan. Seperti halnya mengapa nasib kami selalu berada di belakang bis berbahan bakar batu bara, asap hitam pekat menjadi teman dekat, dan suasana perjalanan pun penuh cerita hangat.
Kami pun sampai di tempat tujuan, di BRI, Bukit Rejeng Indah. Ini bukan kali pertama saya ke sana. Kolam renang belerang menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Tentu kami kesana bukan untuk berenang. Di sana terdapat saung-saung yang berada di atas bukit. Panorama perkebunan dapat terlihat dari saung-saung tersebut. Di sanalah kami akan melepas penat, mengobrol yang tak jelas, bermain hal-hal yang sebenarnya remeh namun kalau dipikir 2 atau 3 kali, interaksi kata-kata itu dapat membuat kami lebih cemerlang dalam berpikir dan bersikap.
Dan tentunya acara paling penting adalah menghajar makanan yang sudah saya bawa dari rumah. Yaa, saya membawa nasi dan lauk untuk dua orang ke dalam tempat makanan plastik dengan daun pisang sebagai alasnya. Seketika dia tertawa lepas setelah nasi yang saya bawa dikeluarkan dari tas. Ah, saya tak menghiraukan tawanya. Langsung saja saya ajak menghabisi nasi yang sudah dihidangkan di atas daun. Kami pun mengobrol ngalor-ngidul tak tentu topik diselingi candaan yang wajib hadir saat bercengkrama dengan saya tentunya. Indah sekali suasana saat itu.
Subhanallah, dia cantik, Tuhan. Saya tak akan berani mengatakan kepadanya. Karena itu bukan urusan saya. Dan kalaupun dia jelek, saya juga tak akan berani mengatakannya, sama, itu bukan urusan saya. Tak pernah dan tak akan pernah saya mencampuri urusan dia dan peralatan kosmetiknya. Itu urusan dia. Tapi yang sangat saya perhatikan adalah bagaimana agar dia berbeda dari perempuan-perempuan lainnya setelah berinteraksi dengan saya, baik dalam berprilaku, berucap, dan berpikir, seperti halnya saya. Dia pun telah merubah saya ternyata. Kalau urusan rias merias, menurut saya semua perempuan sama saja.
Acara makan-makan diselingi canda tawa dan ngobrol sana-sini pun sudah selesai. Kini saatnya pulang dengan menyusuri rute yang tak biasa. Sungguh tak biasa. Menyusuri perkampungan dan perkebunan jagung hingga akhirnya muncul di lapangan golf Garut adalah acara pamungkas dari acara jalan-jalan tersebut. Semoga perjalanan itu dan catatan ini seperti pupuh Asmarandana yang dapat mengingatkan kami untuk tetap hati-hati dalam melangkah. Hubungan yang penuh kasih dan rawan sayang, serta saling mengingatkan satu sama lain tentu akan menjadi titik perubahan ke arah yang lebih baik. Insya Allah.
Bagi saya itu sangat menyenangkan, refreshing yang sungguh luar biasa. Semoga dia pun sama, merasakan dan menyadari bahwasannya seharian dia bersama orang yang tak biasa.
3 bulan setelah catatan di atas ditulis, kita tidak pernah berkomunikasi lagi. Sampai kapanpun. Terima kasih, Nindia.
Asmarandana Blog Garut Nindia